Menuju konten utama

Kemnaker Klaim Perppu Cipta Kerja untuk Lindungi Pekerja

Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja diklaim jadi bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha.

Kemnaker Klaim Perppu Cipta Kerja untuk Lindungi Pekerja
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan paparannya saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/3/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

tirto.id - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pada konteks ketenagakerjaan, Perppu ini diklaim jadi bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengatakan, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis," kata dia dalam pernyataannya, di Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perppu ini antara lain, Pertama, ketentuan alih daya (outsourcing). Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perppu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.

“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah," katanya.

Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam PP.

Pada Perppu ini ditegaskan gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi dari pada UMP.

“Kata 'dapat' yang dimaksud dalam Perppu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP," katanya.

Ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih.

Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Dia menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan Pemerintah di beberapa daerah antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan dan Jakarta. Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.

"Berdasarkan hal-hal tersebut Pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, pelindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha," tegasnya.

Disorot Pengusaha

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani, justru menyoriti beberapa pengaturan dalam klaster Ketenagakerjaan di Perppu berubah secara substansial. Formula penghitungan Upah Minimum (UM) yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu akan memberatkan dunia usaha, mengingat UU Cipta Kerja hanya mencakup 1 (satu) variabel yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

"Formula upah minimum yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu memberatkan dunia usaha," kata Haryadi dalam konferensi pers, Selasa (3/1/2023).

Mengacu pada pasal 88D Perppu Cipta Kerja, upah minimum yakni dihitung dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum. Formula yang dimaksud adalah dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indek tertentu.

"Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan upah minimum diatur dalam peraturan pemerintah," bunyi pasal 88D ayat 3.

Adapun upah minimum yang dimaksud berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Haryadi formula upah minimum dalam Perppu akan menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja. Karena upah minimum Indonesia berpotensi menjadi yang tertinggi di ASEAN dalam lima tahun mendatang.

Dalam kondisi penciptaan lapangan kerja yang semakin menurun berdasar data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di mana dalam tujuh tahun terakhir daya serap pekerja turun tidak sampai satu pertiganya. Sehingga kebijakan kenaikan upah berdasar formula Perppu akan semakin membebani dunia usaha.

"Proyeksi yang dilakukan APINDO dengan mengolah dari berbagai sumber menunjukkan bahwa di tahun 2025 upah minimum di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN," jelasnya.

Selain penetapan upah minimum, pasal menjadi sorotan APINDO yakni mengenai pengaturan alih daya. Dalam Perppu Cipta Kerja pemerintah membebaskan atau tidak mengatur tentang batasan jenis pekerjaan alih daya atau outsourcing.

"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis," bunyi Pasal 64 ayat 1 dikutip Tirto.

Dalam aturan itu, pemerintah mengharuskan perusahaan outsourcing merekrut pekerja alih daya lewat salah satu dari dua kontrak kerja, yaitu kontrak kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Ini berbeda dengan UU ketenagakerjaan yang lama, di amana pekerja outsourcing hanya menggunakan kontrak PKWT. "Hubungan Kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau PKWTT," bunyi Pasal 18 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021.

Selanjutnya, dalam kontrak PKWT dan PKWTT di semua pasal-pasal pada aturan baru tersebut, pemerintah tak menjelaskan secara rinci apakah pekerja alih daya masih tetap dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan tertentu atau sebaliknya diperluas.

Padahal, UU Ketenagakerjaan yang jelas bahwa pekerjaan outsourcing dibatasi untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.

"Mengenai aliih daya yang diperlukan adalah terciptanya ekosistem yang sehat dan fleksibel untuk menarik investor menciptakan lapangan kerja, maka pembatasan alih daya justru akan membuat tujuan tersebut sulit dicapai," jelas Hariyadi.

Baca juga artikel terkait PERPPU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang