tirto.id - Bagi kalangan sejarawan, Bandung mungkin bisa dikatakan kota “bungsu” dibandingkan dengan kota-kota lain di Tanah Priangan. Sebagaimana disebut oleh Ahmad Sobana Hardjasaputra dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat (2013), nama “Bandung” sebagai suatu daerah baru muncul sekitar abad ke-17.
Hal itu disebutkan dalam Piyagem Sukapura berangka tahun 1641 M yang dikeluarkan oleh Sultan Agung. Angka tahun inilah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal kelahirannya sebagai kabupaten oleh Pemerintah Kabupaten Bandung.
Sementara itu, Pemerintah Kota Bandung menggunakan tanggal yang lebih muda, yakni 25 September 1810. Titimangsa itu diambil dari peristiwa pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung dari daerah Dayeuhkolot ke titik nol baru yang dipilih oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Namun, Bandung sebenarnya telah menjadi daerah hunian manusia sejak masa yang sangat purba. Di sinilah, jejak terawal aktivitas manusia purba di Tanah Sunda ditemukan. Para ahli purbakala telah menemukan beberapa kerangka manusia dan perkakas batu kuno di Goa Pawon yang terletak di pegunungan karst Rajamandala—sebelah barat Kota Bandung saat ini.
Berdasarkan studi Lutfi Yondri dalam “Potensi Arkeologi di Gunung Pawon dan Sekitarnya: Permasalahan dan Peluangnya dalam Pengelolaan dan Pelestarian” (2012), hasil carbon dating C-14 tertua pada tinggalan-tinggalan di Goa Pawon berasal dari periode sekitar 9000 tahun yang lalu.
Temuan-temuan itu merupakan suatu kasus yang unik lantaran kondisi geologis wilayah Bandung saat itu cenderung ekstrim. Saat itu, bentang alam Bandung merupakan cekungan lahan basah hasil dari letusan Gunung Sunda Purba. Dalam logika modern, lokasi macam itu tentu sukar untuk ditinggali.
Eksistensi jejak aktivitas manusia purba di bentang alam ekstrem macam itu terang merupakan anomali. Lebih unik lagi, anomali macam itu juga terjadi di Bandung masa-masa kemudian. Bandung memiliki tinggalan-tinggalan masa Hindu-Buddha yang sering kali dianggap “liyan” oleh para arkeolog.
Tinggalan Arkeologis nan Langka
Bandung sebenarnya punya senarai tinggalan arkeologis era Hindu-Buddha yang tergolong lengkap. Ia punya candi, prasasti, hingga arca. Namun, tinggalan-tinggalan arkeologis itu menampakkan ciri-ciri keluar dari pakem atau kelaziman di masanya.
Sifat liyan itu pun sering kali dipandang memiliki garis yang tipis dengan gejala pseudo-arkeologi alias selalu ada skeptisisme bahwa artefak-artefak itu mungkin sebenarnya palsu. Skeptisisme itu agaknya terbit lantaran adanya asumsi bahwa masyarakat Sunda di era Hindu-Buddha tidak memiliki ketertarikan khusus dalam membangun monumen kedewataan.
Dasar asumsi tersebut secara kasat mata bisa kita tengarai dari kuantitas candi di Jawa Barat yang memang tak seberapa—bahkan bisa dihitung dengan sepuluh jari. Itu tentu sangat kontras dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang hampir tiap kota/kabupatennya memiliki candi.
Seorang ahli sundanologi sekelas Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015), misalnya, bahkan perlu membuat teori yang bisa dikatakan “nyentrik” dalam menjelaskan langkanya temuan candi di Tanah Sunda.
Kambing hitam atas jarangnya kehadiran candi di Jawa Barat adalah sistem pertanian huma yang diterapkan oleh masyarakat Sunda Kuno. Menurut Saleh, orang Sunda di masa itu senantiasa berpindah-pindah sehingga alur distribusi pengetahuan antar komunitas tidak terjalin secara maksimal.
Akibatnya, orang Sunda cenderung implisit dalam menyampaikan informasi atau mewariskan pengetahuannya. Itulah sebabnya bangunan monumental nan eksplisit seperti candi bukan pilihan yang tepat dalam cara berpikir orang Sunda Kuno.
Tinggalan-tinggalan Unik
Terlepas dari problematika candi di Tatar Sunda, di daerah Rancaekek tepatnya daerah aliran Sungai Cimande—anak sungai Citarum di Bandung Timur, berdiri pondasi kuno berbahan andesit. Posisinya agak kurang strategis karena terhimpit jalan sempit dan bangunan pabrik. Studi arkeologis terhadapanya menghasilkan dugaan bahwa pondasi kuno itu merupakan dasar sebuah candi.
Warga Bandung dan para peneliti kemudian menamakannya Candi Bojongmenje, seturut nama kampung tempatnya ditemukan.
Menurut A.A. Nasirin dan D. Mahzuni dalam “Eksistensi Candi Bojongmenje: Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara dan Berdirinya Kerajaan Sunda (Abad VIII-X M)”, Candi Bojongmenje kemungkinan merupakan candi Hindu Saiwa. Dasarnya adalah temuan objek berupa Yoni dan arca Nandi di candi itu.
Yang menarik dari Candi Bojongmenje adalah fasadnya yang menunjukkan anasir langgam candi Jawa Tengah. Karenanya, para peneliti menduga ia dibangun pada rentang antara abad ke-8 dan ke-10 Masehi seperti halnya candi-candi berbahan andesit di Jawa Tengah—semisal Prambanan dan Borobudur.
Objek-objek yang berasosiasi dengan Dewa Siwa seperti di Candi Bojongmenje pun jamak dijumpai di sekitaran Bandung. Terhitung sejak akhir abad ke-19, sebagaimana dicatat oleh W.P. Groeneveldt dalam Catalogus der Archeologische Verzameling van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1887), telah ditemukan sekitar tujuh arca “keluarga Siwa” di Bandung.
Jenis-jenis arca itu sangat bervariasi dan cenderung anomali. Misalnya, terdapat Arca Ganesha yang penggarapannya sangat kasar yang mengingatkan pada kekhasan gaya arca masa prasejarah. Ada pula Arca Agastya bertubuh sangat kurus, padahal ia harusnya digambarkan tambun seturut pakem ikonografis India.
Anomali yang paling jelas kentara adalah Arca Durga Mahisasuramardini yang ditemukan di aliran Sungai Cikapundung. Arca yang saat ini disimpan di Kebun Binatang Bandung itu begitu eye catchingbagi arkeolog karena hanya memiliki enam tangan.
Teks Hindu India maupun Jawa yang diketahui selama ini tidak pernah menggambarkan Durga bertangan enam. Seturut Ratnaesih Maulana dalam Ikonografi Hindu (1997), arca Durga Mahisasuramardini umumnya bertangan empat, delapan, sepuluh, atau dua belas.
Pertanyaan yang menyeruak kemudian adalah mengapa tinggalan arkeologis bernapas Hindu-Buddha di Bandung begitu berbeda?
Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita kaitkan dengan pola pengarcaan yang muncul pada Arca Cikapundung dari Ujungberung. Arca ini pada dasarnya adalah arca antropomorfik dari tradisi Megalitik yang juga jamak ditemukan di seluruh wilayah Jawa Barat.
Namun, anomali lagi-lagi akan tampak saat kita memperhatikan objek yang dipegang oleh arca tersebut, yakni prasasti bertuliskan angka tahun 1263 Saka atau 1341 Masehi. Bagaimana mungkin sebuah arca berlanggam prasejarah memegang sebuah teks?
Dugaan yang mungkin adalah kecenderungan vernakularisasi oleh masyarakat Sunda Kuno. Orang Sunda Kuno boleh jadi tidak serta-merta menyerap kebudayaan asing secara keseluruhan atau mentah-mentah. Mereka melakukan proses adaptasi, pengembangan, dan bahkan modifikasi untuk kepentingan kebudayaan mereka sebelumnya yang telah mapan. Itulah yang agaknya juga diterapkan oleh masyarakat Sunda Kuno kala mereka memahat arca atau candi.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi