Menuju konten utama
Mozaik

Banten dan Lampung Beraliansi Demi Dominasi Politik dan Niaga

Di awal eksistensinya, Banten mencari mitra politik dan niaga untuk memperkuat diri. Beraliansi dengan Lampung hingga akhir.

Banten dan Lampung Beraliansi Demi Dominasi Politik dan Niaga
Header Mozaik Aliansi Banten Lampung. tirto.id/Fuad

tirto.id - Seiring dengan kampanye Kerajaan Cirebon dan Demak menundukan Kerajaan Sunda, Banten berangsur-angsur tumbuh menjadi pusat penyebaran Islam yang baru. Maulana Hasanudin, anak dari Sunan Gunung Jati Cirebon, menjadi pelopor upaya islamisasi di Tanah Para Jawara itu.

Puncaknya, Hasanudin berhasil mendirikan pusat pemerintahan bernapas Islam di sekitar wilayah yang sekarang masuk dalam administrasi Kota Serang. Peristiwa tersebut, menurut Uka Tjandrasasmita dalam “Melacak Jejak Arkeologis Banten” (2009), dapat ditelusuri melalui kronik Sajarah Banten.Kronik ini menyebut peristiwa itu berlangsung pada “brasta gempung warna tunggalatau 1478 M.

Banten kemudian menentukan jalan sejarahnya sendiri, terpisah dari pengaruh Cirebon dan menjadi independen sepenuhnya. Banten pun tak menjalin ikatan politik atau keagamaan khusus dengan kerajaan-kerajaan Islam yang lebih tua di Jawa. Banten punya agenda geopolitik sendiri.

Sesuai keterangan Sajarah Banten, Maulana Hasanudin mula-mula memindahkan pusat pemerintahan Banten dari Banten Girang (pedalaman)ke Surosowan (pesisir).Menurut sejarawan Husein Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Sajarah Banten (1983), keputusan pemindahan pusat kekuasaan Banten ini diinisiasi oleh Sunan Gunung Jati.

Secara simbolik, pemindahan kekuasaan ini menandai titik balik sejarah Banten. Ia yang sebelumnya merupakan daerah hinterland Kerajaan Sunda, kini telah menjadi pusat pemerintahan independen dan bersifat kosmopolit.

Mengarahkan Pandang ke Lampung

Pada tahun-tahun pertama eksistensi Kesultanan Banten, Maulana Hasanudin justru tidak ikut—atau setidaknya belum—menekan atau menyerang Kerajaan Sunda sebagaimana Kerajaan Cirebon dan Demak. Banten justru mengarahkan ekspansi politiknya ke Lampung.

Keputusan Maulana Hasanudin terbukti jitu. Pasalnya, selama 400 tahun setelahnya, Banten amat menikmati manisnya persahabatan dan keuntungan ekonomis dari Lampung.

Hubungan harmonis antara Banten dan Lampung dapat kita telusuri jejaknya melalui beberapa sumber. Menurut versi tradisi lisan sebagaimana disebut oleh Ali Imron Mulianti dan Wakidi dalam “Tinjauan Historis Hubungan Banten-Lampung pada Tahun 1525-1619” (2013), dikisahkan bahwa Lampung pada awal abad ke-16 merupakan daerah tanpa kerajaan besar.

Di masa itu, daerah ujung selatan Pulau Sumatra ini dikuasai oleh keratuan-keratuan kecil yang saling berkompetisi secara politik. Di tengah kondisi demikianlah, Maulana Hasanudin datang ke Tanah Lampung bersama dua punggawanya, Ki Jonglo dan Ratu Balo. Tujuan mereka disebut amat luhur, yakni menyiarkan Islam.

Maulana Hasanudin dan dua pengawalnya bersafari di sepanjang pesisir barat Lampung sampai ke daerah Indrapura di Bengkulu. Dalam kepercayaan orang Abung–salah satu subetnis di Lampung, Maulana Hasanudin disambut baik oleh dua bangsawan Lampung, yaitu Menak Paduka dan Menak Kumala. Dua bangsawan ini lantas membalas berkunjung ke istana sang raja di Surosowan.

Menak Paduka dan Menak Kumala lalu diyakini sebagai bangsawan Lampung pertama—mewakili wilayah Tulang Bawang—yang menyatakan kesetiannya pada Banten.

Kisah yang agak berbeda datang dari sebuah dalungpiagam logam resmi—yang berasal dari Kesultanan Banten dan ditujukan kepada Keratuan Darah Putih. Menurut telaah Husein Djajadiningrat, dalungyang dinamaiDalung Kuripan—sesuai lokasi desa tempat penemuannya—itu terdiri dari tiga salinan.

Salinan yang lazim dijumpai adalah salinan tembaga yang ditujukan untuk bangsawan Darah Putih. Sementara itu, satu salinan berbahan emas disimpan di Malinting, Lampung Timur, dan satu lagi salinan berbahan kuningan disimpan di Banten.

Dalung Kuripan mengisahkan bahwa dahulu Ratu Darah Putih kedatangan seorang pangeran dari Banten bernama Sabakingking (Maulana Hasanudin). Mereka lalu menjalin hubungan persaudaran dan menggelar duel untuk menentukan siapa yang jadi saudara tua dan siapa yang saudara muda.

Tentunya, bukan dua bangsawan itu yang turun ke gelanggang, melainkan sekelompok petarung dari masing-masing daerah. Singkat kisah, petarung Banten berhasil memenangi duel. Maka sejak saat itu orang Lampung diposisikan sebagai “adik” oleh orang Banten.

Setelah peristiwa itu, Ratu Darah Putih pun berkunjung ke Surosowan. Dia juga membawa budak-budak untuk dihadiahkan kepada Pangeran Sebakingking yang telah naik takhta menjadi Susuhunan Banten. Lain itu, Ratu Darah Putih mempersembahkan pula sawunggaling atau ayam jago berbulu emas.

Infografik Mozaik Aliansi Banten Lampung

Infografik Mozaik Aliansi Banten Lampung. tirto.id.Fuad

Beraliansi sampai Akhir

Selain kisah itu, penulis DalungKuripan juga menyinggung soal adanya penyeragaman hukum antara Banten dan Lampung. DalungKuripan menerakan beberapa pasal yang terdiri atas hukum perkosaan, pengedukan tanah, serta perjanjian militer antara Lampung dan Banten. Siapapun yang melanggar hukum, baik orang Banten maupun orang Lampung, bakal mendapat sanksi yang sama.

Klausul ini memberi wawasan menarik bagi kita lantaran Banten tidak memosisikan diri lebih superior ketimbang Lampung dalam aspek hukum.

Sementara itu, perjanjian militer di antara kedua eksponen politik itu dibulatkan melalui sebuah pasal yang berbunyi, “Lamun ana musuh Banten, Lampung pangarep Banten tut wuri. Lamun ana musuh Lampung, Banten pangarep Lampung tut wuri (Kalau ada musuh Banten, Lampung di depan Banten di belakang, kalau ada musuh Lampung, Banten di depan Lampung di belakang).”

Dalungyang ditulis dalam bahasa Jawa-Serang dengan aksara Pegon itu juga memuat informasi terkait kemenangan politik aliansi Banten-Lampung. Penulis Dalung Kuripan menyebut beberapa daerah yang berhasil ditaklukkan aliansi, di antaranya Kukuningan, Kandangwesi, Kadawung, dan Pajajaran-Dayeuh.

Di antara nama-nama yang disebut itu, nama Pajajaran-Dayeuh tentulah jadi poin menarik. Dari keterangan ini, bisa diperkirakan bahwa Banten pun sebenarnya punya ambisi politik terhadap Kerajaan Sunda. Secara taktikal, Banten kemungkinan memang memilih untuk mencari mitra politik terlebih dulu sebelum benar-benar mengarahkan moncong meriamnya ke Sunda.

Aliansi dengan Lampung pada akhirnya memberi peluang lebih besar bagi kemenangan Banten. Banten lalu menggempur Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, pada 1579 dan Lampung terlibat dalam kampanye militer ini. Nama-nama daerah lain yang disebut dalam DalungKuripan pun diperkirakan merupakan nama-nama daerah bawahan Kerajaan Sunda saat itu.

Aliansi Banten-Lampung juga menunjukkan tajinya dalam membendung tekanan dari Kerajaan Mataram. Dalam bidang politik perniagaan lada, aliansi Banten-Lampung juga mampu menyaingi Palembang.

Menurut M. Alnoza dalam “Political Approach of Sultan Abu Al-Mahasin and Sultan Mahmud Badaruddin II towards the Lampungnese in XVII and XIX Century CE” (2021), kesuksesan aliansi Banten-Lampung dalam perdagangan lada hampir tak tergoyahkan sejak abad ke-17. Untuk menangkal dominasi ini, Palembang—yang sempat dikuasai Mataram—sampai perlu memperketat kebijakan politiknya di daerah pedalaman.

Di awal abad ke-19, Sultan Mahmud Badaruddin II bahkan masih mengirimkan piyagem (prasasti logam) berisi peringatan kepada penguasa-penguasa wilayah perbatasan Palembang-Lampung. Tindakan ini menunjukan bahwa Palembang menganggap koalisi Banten-Lampung masih berbahaya, meski Kesultanan Banten tengah menjelang masa kejatuhannya.

Baca juga artikel terkait LAMPUNG atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi