tirto.id - Seturut sahibul hikayat, Kesultanan Banten sebermula adalah vasal Pajajaran pada lima abad silam. Hingga datanglah Sunan Gunung Jati mengislamkan negeri itu sekira 1525. Selama beberapa waktu kemudian sang sunan memerintah di ibu kota tradisional Banten Girang sebelum digantikan sang putra Maulana Hasanuddin pada 1552.
Dalam daulat Maulana Hasanuddin, Banten tumbuh jadi negeri mandiri. Dialah sang wangsakarta, pemula dari semua penguasa Banten. Di masanya, ibu kota dipindahkan ke muara Sungai Cibanten. Surosowan, demikian nama ibu kota baru itu.
Di Surosowan, Maulana Hasanuddin membangun keraton, masjid, dan alun-alun. Di Pabean dan Karangantu, sang Maulana juga membangun pelabuhan. Begitulah perekonomian Banten lalu bertumpu pada perdagangan dan pertanian.
Visi Maulana Hasanuddin diwarisi putra sekaligus suksesornya, Maulana Yusuf (1570-1580). Keraton dibentengi, persawahan baru dibuka, sistem irigasi dibangun, dan pembangunan masjid dirampungkan. Daerah selatan kota pun dikembangkan dengan pendirian Masjid Kasunyatan dan Danau Tasikardi.
Ketika kapal-kapal ekspedisi pertama Belanda di bawah komando Cornelis de Houtman berlabuh pada 1596, Banten sudah jadi bandar terbesar di Jawa bagian barat. Ia bertransformasi jadi kota kosmopolit di mana saudagar negeri-negeri bawah angin dan mancanegara bersemuka.
Kesultanan Banten mengalami puncak kejayaan kala Sultan Ageng Tirtayasa bertakhta (1651-1672). Daerah pertanian baru dikembangkan di timur kota. Perdagangan kian hidup dengan lada sebagai komoditas primadona.
Namun segala gemerlap itu pudar kala Sultan Ageng digulingkan anaknya sendiri, Sultan Haji, pada 1672. Pemerintahan Sultan Haji ditandai dengan masuknya politik VOC ke dalam keraton. Sultan-sultan setelah dia pun hanya jadi subordinasi VOC. Seiring dengan menguatnya peran Bandar Batavia, Banten pun perlahan surut.
Bagian dari sebuah hikayat adalah akhirnya. Pada 1809 terjadi konflik antara Sultan Aliyuddin II dan Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Buntutnya, Surosowan diserang dan lalu diluluhlantakkan. Banten tak pernah bisa bangkit lagi hingga kemudian eksistensinya dihapuskan pada 1813 oleh Thomas Stamford Raffles.
Sejak itu tak ada sesuatu yang benar-benar istimewa dari Surosowan. Grandeur dari masa Kesultanan Banten sebagian besar hanya menyisakan puing. Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Benteng Speelwijk, Masjid Pacinan, Kerkhof, atau Pelabuhan Karangantu serupa saja nasibnya: kalau bukan tempat penggembalaan kambing, ya tempat warga sekitar menjemur pakaian.
Situs paling selamat di kawasan Banten Lama adalah Masjid Agung Banten—tempat saya menunaikan salat Jumat pada tiga hari menjelang Ramadan lalu.
Siang begitu teriknya kala itu. Meski demikian masjid kuno itu begitu padat manusia. Pun demikian dengan alun-alun baru di sebelah timur masjid. Juga jalan-jalan di selingkung masjid amat riuh oleh lapak-lapak kaki lima.
"Jelang puasa pasti selalu begini, rame banget," kata seorang penjual kurma. "Dua hari lagi kami-kami ini bakal ngilang.”
Selama Ramadan, sebagaimana bertahun sebelumnya, tak akan banyak peziarah datang berkunjung. Bagi para pelapak kaki lima di antero kawasan Banten Lama, itu adalah hari-hari terakhir mereka mengumpulkan bekal puasa dan Idulfitri.
Bosan oleh keramaian masjid dan terdorong perut yang minta diisi, saya memutuskan jalan ke arah Terminal Sukadiri. Di sebuah warung mi instan, saya mendudukkan diri dan memesan semangkuk.
“Kalau pun ada yang jualan paling hanya satu-dua, itu pun yang beli orang sini-sini juga. Peziarah juga enggak ada kalau puasa, mah," tutur Arya, si penjual mi, ketika saya tanyai.
Arya menjelaskan, tak setiap saat kompleks Masjid Agung Banten Lama dipadati peziarah. Keramaian hanya terjadi di bulan-bulan tertentu dalam kalender Hijriah. Rabiulawal alias Maulud, Rajab, Syakban alias Ruwah, Syawal, dan Zulhijah alias Besar ia menyebut.
Selama April lalu—yang juga bertepatan dengan Syakban—ia merasa pengunjung jadi lebih ramai dari sebelum-sebelumnya. Arya menduga karena banyak orang penasaran dengan wajah baru Banten Lama setelah direvitalisasi.
Sejak kesultanan tamat kawasan Banten Lama—terutama Masjid Agung—diurus oleh Kenaziran Banten Lama. Situs lainnya dilindungi dengan sematan cagar budaya. Namun sekian lama Banten Lama dibiarkan ala kadarnya.
"Dengar-dengar rencana dibenahinya, sih, sudah dari kapan tahun. Tapi, ya, tahu sendirilah, pemerintah," kata Arya dengan agak sinis.
Usai menyeduh mi untuk saya, Arya lalu menekuri ponselnya. Beberapa jenak kemudian ia menyorongkan ponselnya pada saya. Rupanya ia ingin membuktikan kata-katanya.
“Tuh, baca aja,” katanya sambil menggeser-geser jarinya.
Di layar ponsel terpampang halaman hasil pencarian Google untuk berita-berita tentang rencana revitalisasi Banten Lama. Satu kabar menyebut bahwa rencana itu sudah ada sejak era Djoko Munandar, gubernur pertama Provinsi Banten. Kabar lain menyebut mantan gubernur Banten lainnya, Ratu Atut Chosiyah, pernah mendengungkan ide yang sama pada 2009. Tapi kemauan pemerintah ternyata begitu tipis, sehingga tak terjadi apa-apa hingga Ratu Atut jatuh dan diciduk gara-gara kasus korupsi.
Sekira 2015, rencana revitalisasi mengemuka lagi di masa Gubernur Rano Karno. Tak seperti yang sudah-sudah, revitalisasi Banten Lama terealisasi juga. Walaupun masih butuh waktu kajian dan perencanaan sampai kemudian tahap pertama revitalisasi benar-benar jalan pada pertengahan 2018 di masa Gubernur Wahidin Halim.
“Paling enggak sekarang jadi agak rapi,” jawab Arya saat saya tanya komentarnya soal Banten Lama kini.
Revitalisasi tahap pertama itu dipusatkan di selingkung Masjid Agung Banten. Yang tampak kini adalah jalanan dan jalur pedestrian dipaving. Area sekeliling reruntuhan Keraton Surosowan dipercantik dengan taman.
Yang paling mencolok dari pembangunan itu adalah perubahan alun-alun di timur Masjid Agung. Alun-alun yang dulunya hamparan rumput kini berubah jadi hamparan marmer. Desainnya adalah imitasi mentah-mentah dari pelataran Masjid Nabawi di Madinah dengan fitur kanopi-kanopi berbentuk payung terbalik di tengahnya.
Perpaduan dua langgam arsitektur dalam satu bangun sebenarnya adalah hal biasa di Nusantara yang kosmopolit. Tapi, Masjid Banten dan alun-alunnya ini adalah hal lain. Itu lebih tepat disebut tubrukan antara dua langgam yang kontras daripada sebuah perpaduan.
Saya jadi bertanya-tanya, apa yang ada di benak si arsitek revitalisasi ketika mendesain alun-alun itu? Orang mafhum belaka payung-payung Madinah itu dimaksudkan sebagai peneduh. Tapi di siang yang terik saat saya berkunjung, tampak benar payung-payung itu hampir tak berguna. Bagaimana tidak, lebarnya saja tak sebanding dengan luas alun-alun.
Karenanya, arsitektur alun-alun terkesan hanya asal mirip Madinah tanpa mempertimbangkan kepaduannya dengan kekunoan Masjid Agung. Konsep baru alun-alun ini juga kena kritik Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Banten. Tutupan lantai marmer yang demikian luas itu hampir tak menyisakan area resapan air.
“Sampai hari ini kami tidak pernah dapat desain rencana pembangunannya. Ke depan kami berharap tidak seperti ini. Pola rencana dan langsung pembangunan harus dikaji secara menyeluruh,” kata Kepala Bidang Perlindungan BPCB Banten Juliadi dikutip laman Banten News.
Menanggapi kritik itu, Gubernur Wahidin Halim tentu saja membantah.
“Saya kan enggak mengubah situs, enggak menggusur situs, cuma pelataran kita rapikan, enggak ada yang kita ganggu. Terus berjalan, enggak ada masalah,” kata Wahidin Halim.
Sayangnya lagi, arsitek revitalisasi melewatkan satu hal ketika mendesain alun-alun: kenyataan bahwa spesies kita, Homo sapiens, dilahirkan dengan sekian persen intensi jadi bergajul. Tak heran jika dihadapkan pada aturan, yang pertama kali bakal kejadian adalah pelanggaran. Itulah yang jamak terjadi di alun-alun Banten Lama.
“Setiap pengunjung harap melepas alas kaki apa pun ketika memasuki plaza. Jagalah ketertiban dan jangan buang sampah sembarangan,” demikian peringatan yang menggema setiap beberapa menit dari corong toa di antero kompleks Banten Lama.
Tapi yang kasat mata kompleks itu jauh dari kesan bersih. Saluran drainase alun-alun mati dan membikin airnya menggenang. Ia pun tak ubahnya tempat sampah, dipenuhi plastik dan sisa makanan peziarah. Beberapa sudut lantai marmernya coreng-moreng oleh tumpahan sisa kopi dan puntung rokok. Tong sampah bukannya nihil, tapi siapa peduli jika jumlahnya jarang dan letaknya berjauhan.
Banyak dari peziarah itu, yang tentu jangan diragukan lagi kesalehannya, tanpa rasa bersalah atau malu tetap memakai alas kaki memasuki alun-alun. Padahal beberapa petugas keamanan dan kebersihan berpatroli sambil terus mengulang seruan “alas kaki dilepas dan jaga kebersihan”.
Ingin tahu seberapa bebalnya sekalangan peziarah itu?
Ketika saya duduk-duduk di bawah payung, lewatlah beberapa muda-mudi mencari sudut yang bagus untuk berfoto. Mereka enak saja wara-wiri dengan tetap memakai sepatu. Padahal sejak beberapa menit sebelumnya ada seorang petugas berdiri mengawasi mereka beberapa jengkal dari tempat saya duduk. Entahlah, mereka tak menyadari keberadaannya atau memang sengaja tak menggubris.
“Sepatu lepas, woi!” bentak si petugas tiba-tiba. Mereka kaget betul, saya pun juga.
Yang terjadi setelah itu adalah para muda-mudi itu saling pandang dan prengas-prenges. Si petugas yang agaknya sudah muntap lantas menghampiri mereka dan mulai merepet.
“Saya enggak segan nyopot langsung sepatu dari kaki kalian, ya! Di pintu dilepas tapi di sini dipakai lagi, sama juga bohong.”
Sekumpulan muda-mudi itu hanya menunduk. Hening tanpa melakukan apa-apa. Barulah ketika si petugas membentak lagi, mereka buru-buru melepas sepatunya.
Kiasan macam “memasuki lorong waktu” atau “kembali ke masa lalu” barangkali masih cukup tepat untuk mendeskripsikan pengalaman mengunjungi situs Kota Tua Jakarta. Tapi itu adalah perumpamaan hambar untuk Banten Lama. Orang masih bisa berkhayal tentang kemegahan ketika menapak Kota Tua Jakarta tersebab gedung-gedung kunonya masih berdiri menantang zaman. Sementara di Banten Lama yang tersisa adalah puing-puing berselimut semak, lumut, dan tahi kambing.
Keraton Surosowan setidaknya dibangun dua kali. Keraton pertama di masa Maulana Hasanuddin kemungkinan dibangun tidak dengan material yang tahan lama. Maulana Yusuf sebagai penerusnya lalu memperkokoh keraton dengan bangunan bermaterial utama bata dan karang.
Ia menyewa jasa arsitek Hendrik Lucasz Cardeel untuk mendesain keraton baru yang lebih kuat. Tembok keliling setinggi 3 meter dan lebar 5 meter dengan bastion di keempat sudutnya adalah hasil rancangan Cardeel. Hanya ada dua pintu masuk jika ingin melihat bagian dalam keraton benteng itu. Satu di sisi timur yang dipagari dan satu lagi di sisi utara yang tak berpagar.
Ketika saya masuk dari pintu sisi utara, seorang lelaki berpakaian lusuh tersenyum kepada saya. Tangannya menangkup di dada memberi kesan semacam sambutan. Tangan kanannya lalu menjulur dengan gestur yang tertata sopan, menunjuk ke sebuah baskom di tengah gerbang itu.
“Sumbangan seikhlasnya saja, A’. Untuk kebersihan. Semoga barokah, ya,” katanya kemudian yang membuat saya mafhum.
Saya masukkan dua koin Rp500 yang tersisa di kantong celana yang lalu dibalas terima kasih. Saya kemudian menawarinya rokok dan duduk mengobrollah kami. Ia memperkenalkan diri sebagai Rusdi
Sehari-hari Rusdi bertugas sebagai penjaga dan tukang bersih-bersih situs keraton. Rusdi tak bisa menyebut secara spesifik di bawah naungan siapa atau lembaga apa ia bekerja, pokoknya kantornya di Museum Kepurbakalaan Banten Lama.
Setiap ada pengunjung masuk, ia akan berdiri dan melakukan tata cara yang sama seperti ia menyambut saya. Satu hal yang sangat khas dari lelaki paruh baya itu, gemar sekali ia bergumam. Selawat dan petikan reff lagu dangdut adalah yang paling sering saya dengar dari mulutnya.
Lain itu, kata-kata yang tak kalah sering ia gumamkan adalah, "Haduh.. sampah lagi." Gumaman itu keluar setiap ia hendak menyambut pengunjung dengan seplastik es atau makanan di tangannya.
Saya baru menyadari musabab gumaman itu mana kala berkeliling situs. Tak ada satu pun tempat sampah di dalam benteng atau taman di sekitarnya. Mereka yang bingung dan tak mau ribet jadilah membuang sampah itu sekenanya di dalam keraton. Semakin banyak orang bawa sampah, artinya semakin repot Rusdi.
"Padahal mah gajinya kecil. Buat hidup anak istri aja sering gak cukup," keluhnya.
Pemerintah boleh jadi telah mempercantik dan menata kawasan Banten Lama. Tapi itu baru di tahap fisik rupanya. Soal kebersihan dan ketertiban nisbi belum tersentuh. Banten Lama barangkali telah menanggalkan kesan kumuhnya, tapi situs itu masih jauh dari predikat nyaman dan bersih.
Selain penjaga dan pemungut sampah, rupa-rupanya Rusdi juga punya tugas "adat" memfasilitasi peziarah yang ingin ngalap berkah. Kepada saya ia menunjukkan titik-titik wingit di Keraton Surosowan. Ada tiga sumur yang airnya berkhasiat mendatangkan keberuntungan dan memperlancar rejeki. Ia juga menunjuk bastion barat yang di dekatnya tumbuh pohon bidara sebagai yang paling keramat.
"Dari dulu sampai sekarang jadi tempat rukiah dan minta berkah," terangnya dengan bersemangat.
Tugas adat itu selalu ia lakukan di malam hari. Dialah yang akan "mengetuk pintu" dan minta izin pada penunggu gaib keraton. Selanjutnya peziarah bisa menjalankan hajatnya mulai dari meminum air sumur keramat, cuci muka, mandi, dirukiah, atau semedi.
"Kalau Abang mau lancar rejeki, enggak usah tunggu malam. Nanti jam 5 juga bisa saya antar ke sumur," tawarnya pada saya.
"Alhamdulillah sekarang cukup, Bang," balas saya.
"Biar makin mantap," balasnya lagi, kali ini disertai acungan jempol. Saya hanya tersenyum dan menggeleng.
Usai menghabiskan dua batang rokok Rusdi mohon diri untuk mulai memungut sampah. Saya sendiri lalu berkeliling keraton, sekadar menikmati sore dan ambil beberapa foto.
Jam menunjuk pukul 4 sore. Semakin sore, keraton jadi lebih ramai orang dan—juga kambing-kambing kelaparan. Sekelompok anak kampung sini bertanding sepak bola di sepetak tanah lapang.
Ketika saya asyik memotret pertandingan itu, seorang anak menghampiri saya. “Video dong, A’, nanti masukin Facebook,” katanya. Ia lalu memperkenalkan diri sebagai Azril.
"Saya mah maunya jadi tentara, bukan main bola," kata Azril saat saya tanya kenapa tak ikut main. Dia mengaku hanya main bola kalau benar-benar ingin atau ada temannya kelelahan dan minta diganti.
Lalu iseng saja saya tanya padanya soal tempat-tempat keramat di keraton ini. Keterangan Azril serupa saja sebagaimana Rusdi. Tapi dari Azril saya mendapat keterangan tambahan. Selain didatangi orang untuk ngalap berkah, kala malam keraton sering pula didatangi muda-mudi milenial yang kebingungan cari tempat melampiaskan hasrat terpendam. Bagi mereka, keraton dengan gerumbul semaknya yang tinggi dan pojok-pojok dinding gelapnya serupa kuil asmara untuk ritual cinta.
"Pernah pas waktu malam urang main ke sini, eh, sering nemu barang aneh-aneh di pojok-pojok," kata Azril diselingi tawa. "Di dekat sumur itu urang pernah nemu sempak dan beha."
Saya lalu tanya di mana sumur keramat yang airnya berkhasiat melancarkan rejeki. Azril menunjuk sebuah sudut di barat yang lalu saya datangi karena penasaran. Saya hanya bisa menghela napas panjang setelah melongok ke dasarnya. Ternyata ada juga orang yang rela cuci muka dan bahkan mandi dengan air bercampur sampah demi bisa kaya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan