Menuju konten utama

Anjloknya Martabat Sains di Balik Ocehan Donald Trump

Donald Trump kerap mengeluarkan pernyataan yang menantang klaim ilmiah. Ia menyepelekan pemanasan global dan program-program energi terbarukan.

Anjloknya Martabat Sains di Balik Ocehan Donald Trump
Mantan walikota New York Rudy Giulani (ka) memberikan kalimat dukungan untuk calon presiden Amerika Serikat dari partai Republik Donald Trump (ki) di sebuah reli kampanye di Naples, Florida, Amerika Serikat, Minggu (23/10). ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst/

tirto.id - “Omong kosong PEMANASAN GLOBAL yang mahal ini harus segera dihentikan. Planet kita justru sedang kedinginan, rekor temperaturnya rendah, dan para ilmuwan kita sedang terjebak dalam kubangan es.”

Cuitan itu muncul pada 2 Januari 2014 lewat akun twitter asli Donald Trump, @reaDonaldTrump. Berjarak kurang lebih dua tahun dari pencalonannya sebagai orang nomor satu Amerika Serikat oleh Partai Republik pada pemilihan umum (pemilu) bulan November mendatang. Bukan kali itu saja Trump mengoceh tentang isu-isu sains dan berakhir menjadi kontroversi sebab tak didukung oleh data yang kuat. Ia pun akhirnya kerap menjadi bahan olok-olok oleh netizen di dunia maya.

Khusus yang bertemakan pemanasan global, Trump pernah mengutip berita dari NBC News yang menyebutkan bahwa pada 2014 telah terjadi pembekuan raksasa yang mengakibatkan cuaca terdingin di daratan AS. Ia kemudian menyesalkan mengapa pemerintah saat itu masih saja menghabiskan banyak uang untuk mengatasi fenomena yang sering ia sebut sebagai hoax alias tipuan belaka.

Di kesempatan lain, ia melanjutkan propaganda anti-pemanasan global dengan menyebut orang-orang yang menghembuskan isu itu sesungguhnya hanya ingin menaikkan pajak (orang-orang kaya seperti Trump) dengan dalih penyelamatan planet. Orang-orang itu ia anggap tak bernafsu dengan uang. Ia juga menuduh fenomena pemanasan global didasarkan pada sains yang keliru dan data hasil bocoran email.

Netizen yang sudah paham dengan kelakuan Trump hanya berkomentar santai tetapi penuh sarkasme. Misal, @RudyHellzapop yang berkata “Dan kau berekspektasi logika pada seorang Trump”. Ada juga @GoAngelo yang mencuit “Gampang sekali: orang ini hanyalah lelucon”. Komentar @jearle lebih pedas lagi, “Aku cinta The Donald. Bukti bahwa kebodohan masih eksis”. Lalu disambung dengan cuitan @cdashiell, “Trump, aku kira kau harus menunjukkan ke publik rapor SMA-mu. Aku curiga kau dapat F di pelajaran sains.”

Menampar Wajah Dunia Sains

Mudah dimengerti jika Trump memahami pemanasan global sesederhana meningkatnya suhu udara menjadi makin hangat. Maka tak mengherankan jika suatu hari ia berkata dengan penuh kepercayaan diri, “Badai es menggulung Texas hingga Tennese. Aku di Los Angeles dan kedinginan. Pemanasan global adalah hoax yang sangat mahal!”

Sedangkan di sisi lain, ilmuwan sudah jauh-jauh hari mengungkapkan bahwa pemanasan gobal memang berkontribusi terhadap perubahan cuaca yang lebih ekstrem. Tak hanya suhu bumi yang memanas, tetapi juga musim dingin yang makin dingin, terutama di sejumlah wilayah di Amerika Utara. Berkaca dari penelitian Baek-Min Kim dari Korea Polar Research Institute, fenomena tersebut bisa dijelaskan dalam kaitan antara kenaikan suhu air laut dengan polar vortex atau pusaran kutub.

Suhu bumi yang memanas terutama di lautan mencairkan es Arktik. Udara hangat yang dilepaskan membuat udara di kawasan kutub menjadi tak stabil sehingga mengirimkan hawa dingin ke atmosfer saat musim dingin tiba. Mereka menemukan bahwasanya aliran udara di wilayah utara melemah dan akhirnya bergerak ke selatan. Aliran ini lah yang membawa udara yang dingin dan membuat musim dingin di Amerika Serikat serta beberapa kawasan di negara lain seperti Kanada menjadi lebih ekstrem.

Dalam studi yang dipublikasikan dalam Nature Communications itu, Baek menulis bahwa jika pemanasan global terus berlanjut dan menaikkan temperatur lautan, maka kemungkinan cuaca ekstrem saat musim dingin juga akan meningkat. Pandangan umum ini juga diamini oleh para peneliti lain yang sebagian besar telah bersepakat bahwa pemanasan global itu bukan mitos, melainkan benar-benar sedang terjadi dan memiliki efek luas bagi ranah-ranah kehidupan yang tak diduga sebelumnya. Perubahan iklim global secara ekstrem itu nyata.

Sebagaimana dilaporkan ScienceNews, dibandingkan dengan Hillary Clinton, Donald Trump memang berulang kali menunjukkan sikap menyepelekan isu perubahan iklim global. Dalam kampanye di Williston Basin Petroleum Conference di Bismark, North Dakota, pada 26 Mei 2016, Trump pernah berkata bahwa Presiden Obama memasukkan AS ke dalam perjanjian iklim Paris secara sepihak dan tanpa izin dari Kongres.

“Kita akan membatalkan perjanjian Paris itu dan menghentikan semua pembayaran dari uang pajak Amerika Serikat ke program pemanasan global,” tegasnya.

Trump berencana untuk membatalkan banyak inisiatif terkait perubahan iklim global yang telah diberlakukan oleh pemeritahan Obama. Salah satunya rencana dari US Environmental Protection Agency untuk memotong emisi pembangkit listrik.

Trump juga akan mengakhiri moratorium Departemen Dalam Negeri AS atas izin pertambangan batu bara dan “mendorong, bukan menyurutkan, penggunaan gas alam dan sumber daya energi AS lain.” Trump beralasan bahwa langkah itu akan meningkatkan output ekonomi negara sebesar $700 miliar dalam 30 tahun, meningkatkan upah sebesar $30 miliar per tahun, dan menciptakan jutaan lapangan kerja baru.

Infografik twir Donald Trump

Dua Kutub Berlawanan

Ada dua kemungkinan: Trump benar-benar tak paham dunia sains atau ia sebenarnya mengerti tapi sengaja melempar bola kontroversi atas nama politik. Terlepas fakta yang sesungguhnya, platform politik Partai Republik pada tahun penting ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan proposal kebijakan yang dikeluarkan 2012, yang The New Yorker sematkan label “anti-sains”.

Proposal tersebut berisi penghilangan Rencana Energi Bersih pemerintah AS, melarang E.P.A (Environmental Protection Agency) atas regulasi karbon dioksida, secara resmi mendeklarasikan bahwa perubahan iklim adalah “jauh dari isu keamanan nasional yang paling mendesak”, dan menolak ikut campur dalam persetujuan internasional terkait penanggulangan isu perubahan iklim seperti Kyoto Protocol atau Paris Agreement.

Proposal tersebut juga mengklaim ilegal jika AS berkontribusi untuk Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim-nya PBB dan Dana Iklim Hijau atas dasar keanggotaan Palestina di PBB. Proposal tersebut sama saja menentang penelitian embrio-sel induk dan kloning manusia untuk tujuan penelitian.

Kutub Trump ini berbeda dengan Hillary Clinton. Sikapnya yang lebih menghargai martabat sains setidaknya tertuang dalam pembukaan pidato nominasinya bulan Juli lalu, “Aku percaya pada sains”. Ia kemudian membahas keyakinannya bahwa perubahan iklim yang ekstrem itu nyata. Ia juga percaya bahwa langkah penyelamatan planet bisa juga menghasilkan jutaan pekerjaan berbasis penyediaan energi bersih dan berkelanjutan dalam upah yang memadai.

Berbeda dengan Trump, Hilary beranggapan bahwa Perjanjian Paris adalah langkah bersejarah dan akan memenuhi janji untuk mencegah pemanasan global tanpa mendengarkan para penantang fenomena itu yang duduk di kursi Kongres AS. Cita-citanya adalah mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2025 hingga 30 persen dibandingkan dengan levelnya di tahun 2005, dan akhirnya bisa mencapai target 80 persen di tahun 2050.

Untuk mencapai target ambisiusnya itu, Hillary akan berinvestasi pada energi terbarukan, termasuk menggelontorkan dana sebesar $60 miliar untuk program Clean Energy Challenge yang nanti akan mempromosikan pemotongan polusi karbon dan menyebar luaskan energi bersih. Dalam 10 tahun menjabat, ia berharap punya cukup kapasitas energi terbarukan di AS untuk tiap rumah dan memotong konsumsi minyak hingga sepertiganya.

Dalam sebuah laporan yang disusun The New Yorker, Hillary memiliki rekam jejak dukungan kepada dunia sains jauh lebih besar ketimbang Trump. Ia lebih paham hubungan antara penelitian dan pembangunan ekonomi. Saat menjabat sebagai senator di tahun 2001 dan 2002 misalnya, ia mensponsori undang-undang yang akan memperluas dukungan untuk penelitian sel induk.

Masa depan dunia sains AS dan efek gas rumah kaca yang mengacaukan iklim dunia sedikit banyak akan ditentukan oleh hasil pemilu AS bulan November mendatang. Pilihannya ada pada politisi yang setidaknya percaya bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja, atau seorang lain yang pernah mencuit “pembangkit listrik tenaga angin terlihat menjijikkan dan buruk bagi kesehatan” dan “lampu bohlam baru yang ramah lingkungan dapat menyebabkan kanker.”

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Mild report
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti