tirto.id - Demi perbaikan trotoar, Pemprov DKI kembali menebang pohon-pohon besar yang membuat rindang beberapa sisi jalan Jakarta. Kali ini, sejumlah pohon di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat yang jadi tumbal.
Setidaknya ada tujuh pohon besar yang kena pangkasan gergaji mesin dan hanya tersisa bagian pangkal. Lokasinya di seberang pintu masuk Stasiun Cikini.
Kini tak ada lagi pohon-pohon besar yang biasanya membuat jalan teduh. Udara menjadi terasa gersang dan panas. Kontras dengan Jalan Pegangsaan Barat yang penuh dengan deretan pohon di kiri dan kanan bahu jalan.
"Saya enggak ingat kapan ditebangnya. Tapi sudah beberapa hari yang lalu kayaknya. Memang berasa panas, agak panas," kata Agus, pria berusia 30 tahun, juru parkir di pertigaan Pasar Kembang.
Padahal di bawah pohon-pohon itu, lanjut Agus, biasanya banyak pedagang asongan yang berjualan dan warga yang berteduh.
Di Jalan Cikini Raya, beberapa pohon juga bernasib nahas. Pokok-pokoknya yang besar tak lagi menjulang dan menumbuhkan dedaunan. Jumlahnya memang tak sebanyak di Jalan Pegangsaan Timur. Peristiwa ini berulang. Pada Oktober 2017 silam, tindakan serupa terjadi di sepanjang Jalan Sudirman.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, penebangan itu telah mendapat rekomendasi dari Dinas Kehutanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Alasannya: pohon berjenis angsana atau sonokembang yang tumbuh di sisi jalan-jalan itu sudah menua dan rapuh.
Jika tidak ditebang pohon-pohon itu juga dikhawatirkan mengganggu struktur jalan. "Di bawah jalannya, akar-akar pohon itu merusak saluran drainase air. Dan ketiga, akar-akarnya merusak konstruksi jalan," kata Hari saat dihubungi reporter Tirto, Kemarin (4/11/2019).
Ia mengklaim Pemprov bakal menanami trotoar dengan jenis pohon yang akarnya tidak merusak struktur jalan maupun drainase. Selain itu, ia juga bilang, Bina Marga telah melakukan sosialisasi soal penebangan pohon-pohon seiring dengan restorasi trotar yang dilakukan.
"Karena ini sudah musim hujan kan, bisa mampet dan banjir, [nanti] tahu-tahu ada pohon tumbang, nah, kan dampaknya ke sana. Makanya diantisipasi sejak saat ini. Makanya dipotong," imbuhnya.
Kepala Dinas Kehutanan dan Pemakaman Suzi Marsita membenarkan, penebangan itu dilakukan atas rekomendasi langsung dari SKPD-nya. Tahun ini ada sekitar 91 pohon yang akan dipangkas dalam rangka restorasi trotoar di tiga kawasan: Cikini, Salemba, dan Kemang.
Persis seperti yang disampaikan Hari, ia menilai pohon-pohon itu perlu diremajakan lantaran sudah tua, bisa merusak struktur jalan.
"Banyak batang yang sudah keropos, dikhawatirkan tumbang. Kemudian akarnya juga sudah tidak seimbang dengan yang di atas," kata Suzi saat dikonfirmasi.
Nantinya akar pohon yang telah dipangkas tajuknya itu akan dicabut agar tak merusak jalan dan bonggol jalanan, lalu diganti dengan pohon lain seperti tabebuya dan pohon bungur. "Itu [akar] akan dihancurkan. Untuk mengganti pohon lain kan itu harus dicopot," lanjut Suzi.
Larangan Menebang Pohon
Penebangan pohon yang dilakukan oleh Pemprov juga mengundang pertanyaan lantaran Pemda DKI melarang warganya menebang pohon sembarangan. Hal itu diatur dalam Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007.
Dalam Pasal 12 beleid tersebut tertulis: Setiap orang atau badan dilarang memotong, menebang pohon atau tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan, jalur hijau dan taman.
Ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal tersebut: Kurungan penjara maksimal 180 hari atau denda Rp50.000.000.
Namun bagaimana jika Pemprov DKI Jakarta sendiri yang menebang?
"Tidak pelanggaran, kan ini kami melakukannya demi kepentingan publik. Penataan itu kan penataan publik. Yang kalau mengganti [pohon] itu kan masyarakat [menebang], dia harus ganti [pohon]. Kalau kami [Pemprov DKI Jakarta] demi kepentingan masyarakat ya enggaklah," ujarnya.
Tak Peduli & Ingkari Komitmennya Sendiri
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus menyebut, sikap Pemprov tersebut menunjukkan ketidakpedulian yang besar terhadap lingkungan hidup dan kelestarian udara di Jakarta. Apalagi menanam pohon-pohon tersebut tak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang.
"Pohon baru yang bisa sebesar itu lama juga. Berapa puluh tahun lagi? Mungkin saya dan Pak Gubernur enggak bisa lagi menemukan pohon sebesar itu saat kami sudah tidak ada. Kan bisa puluhan tahun," tegasnya.
Lagipula, kata Alfred, jika pohon-pohon tersebut dianggap merusak konstruksi jalan, seharusnya yang dilakukan memindahkannya ke tempat lain. Apalagi banyak teknologi yang bisa digunakan untuk memindahkan pohon beserta akar-akarnya tanpa harus "mematikan" pohon tersebut.
"Dipindahkan saja. Itu kan yang dilakukan Pemprov waktu mau bangun Sudirman-Thamrin. Dan dipindahkan ke mana kasih tahu publik dan kalau memang yang dipindahkan itu mati ya sampaikan ke publik. Harus ada keterbukaan. Mana pohon yang masih bagus dan mana pohon yang enggak," tandasnya.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menganggap, penebangan pohon itu telah mengingkari komitmen Anies Baswedan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 30 persen hingga 2030 nanti.
"Kontradiktif dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, menurunkan temperatur iklim lokal dan memerangi peningkatan suhu kawasan kota," kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin saat dihubungi reporter Antara di Jakarta.
Pria yang akrab disapa Puput itu mengatakan, seharusnya Pemprov mempertahankan pohon- pohon yang sudah ada. Sebab Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta yang ditargetkan sebanyak 20 persen pada 2030, baru terpenuhi sebesar 9,4 persen.
Selain dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, pohon yang ditebang itu dianggap, bisa menyerap polutan yang menjadi salah satu masalah buruknya udara di Jakarta.
"Risiko batang tumbang dan cabang patah sebenarnya bisa diantisipasi dengan pemangkasan dahan secara teratur," kata Puput menanggapi alasan Pemprov DKI menebang pohon Angsana.
Keinginan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kata Puput, menggantikan Pohon Angsana dengan Pohon Tabebuya kurang tepat.
"Tabebuya yang akan dijadikan pengganti Angsana hanya memiliki 7,8 persen kemampuan menyerap CO2 atau 24,2 gr/jam sementara Angsana mampu meng-capture 310 gr/jam. Artinya kemampuan Tabebuya hanya 7,8 persen dari kemampuan Angsana dalam menyerap CO2," terangnya
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Hendra Friana