tirto.id - Seorang tentara dari Angkatan Darat, hanya disebut dengan inisial DAT dan berpangkat prajurit satu, ditangkap karena menjual sekitar 600-an amunisi kepada kelompok bersenjata di Papua.
Pratu DAT ditangkap di Sorong, Papua Barat, pada 4 Agustus lalu setelah diburu selama dua pekan, kini ditahan di markas Kodam Cenderawasih di Jayapura. Ia diketahui bertugas di Kodim 1710 Mimika, wilayah tambang emas PT Freeport Indonesia.
Kasusnya dalam proses “penyelidikan dan penyidikan polisi militer,” ujar Kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih Letkol Eko Daryanto kepada Tirto, Selasa kemarin.
Polisi militer masih menelusuri motifnya, tambah Eko.
Pihaknya juga belum memberikan informasi, misalnya, jenis amunisi apa yang dijual, berapa harga setiap pak amunisi tersebut, dari mana amunisi itu dan untuk apa, siapa pembeli persisnya selain sebatas menyebut "kelompok kriminal bersenjata." (Belum jelas apakah pembelinya dari kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka.)
Sementara Panglima Kodam Cenderawasih Mayjen Yosua Pandit Sembiring berkata bahwa tindakan Pratu DAT termasuk “pelanggaran berat” dan berjanji mengusutnya secara transparan. Pembuktiannya bersalah atau tidak, ujar dia, lewat jalur pengadilan.
“Harapan saya, proses pengadilan nanti harus dibuka untuk umum,” kata Sembiring.
'Bukan Hal Baru'
Amnesty International Indonesia, organisasi nirlaba yang merilis laporan mengenai pembunuhan tanpa tersentuh hukum di Papua pada tahun lalu, mendesak TNI melakukan penelusuran atas jual beli amunisi yang melibatkan prajuritnya.
“Bayangkan jika amunisi yang dijual tersebut digunakan untuk menyerang aparat atau pun warga sipil,” kata Haeril Halim dari Amnesty kepada Tirto, menambahkan bahwa pelaku harus dibawa ke peradilan umum dan disidang dalam mekanisme hukum yang adil.
Ia menilai peredaran senjata dan amunisi adalah “masalah sangat serius” khususnya di Papua karena menyangkut jaminan keamanan dan perlindungan hukum warga negara. “Banyak sekali kasus-kasus pelanggaran HAM yang berdimensi konflik di daerah itu yang melibatkan peredaran senjata api secara gelap, baik senjata api maupun amunisi,” kata Haeril.
Khairul Fahmi dari Institute For Security and Strategic Studies berkata jual beli senjata api, terutama di daerah konflik seperti di Papua, bukan hal baru.
“Keterlibatan oknum TNI dalam transaksi senjata api di Papua tidak cukup mengherankan. Itu bukanlah sesuatu yang ideologis. Ada kebutuhan, dana tersedia, komunikasi berjalan, kebutuhan tersedia, maka deal,” kata Fahmi.
Meski begitu, tentu saja, hal demikian tak dapat dibenarkan, tambah Fahmi. “Ini menunjukkan tingkat disiplin dan loyalitas sejumlah oknum anggota TNI kita masih dapat dikalahkan dengan uang. Meski saya juga menduga, ada aspek lain yang harus diperhatikan seperti kemungkinan ada paksaan atau bahkan perintah dari oknum yang berpangkat jauh lebih tinggi.”
“Apakah TNI sudah melakukan perbaikan?” tanya Fahmi, retorik. “Apakah TNI sudah berbenah agar kasus-kasus macam ini tidak terulang terus? Bagaimana pengawasan dilakukan? Dan mengingat ini dilakukan oleh prajurit level tamtama, bagaimana tanggung jawab pimpinan?”
Respons KSAD: ‘Proses Hukum Kami Tidak Main-Main’
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa berkata polisi militer masih terus bekerja untuk menjaga mentalitas personel TNI AD.
“Memang banyak yang harus kami perbaiki sehingga mungkin mereka tergoda,” kata Andika di kantor Mabes AD, Selasa kemarin. “Pada saat masuk mungkin memang mereka setia. Tetapi dalam perjalanannya tergoda.”
Meski masih ada kelemahan, Andika menegaskan TNI AD tidak tinggal diam. Ia akan melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu sesuai hukum militer.
“Proses penyelesaian hukum kami tidak ada main-main. Kami punya hukum pidana militer. Dan itu kami pegang benar-benar,” ujar Andika.
Pernah Bertugas di Brigif Timika
Menurut Kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih Letkol Eko Daryanto, Pratu DAT pernah bertugas di Brigade Infanteri Timika. Ia berasal dari Dobo, ibu kota dari Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.
Sementara menurut Komandan Kodim 1710 Mimika Letkol Inf Pio L. Nainggolan, Pratu DAT tak pernah terlibat dalam latihan menembak senjata ringan. Ia menjadi juru tulis pada bagian tata usaha sejak 1 tahun 11 bulan silam.
“Tapi, selama menjadi anggota Kodim Mimika, ia meninggalkan tugasnya,” ujar Nainggolan kepada Liputan6.
Dalam keterangan pers yang diterima redaksi Tirto, Pratu DAT ditangkap oleh tim gabungan dari unit intelijen Kodim Sorong saat menghadiri acara duka di sebuah rumah kerabatnya.
Penyelidikan sementara mengungkapkan Pratu DAT pergi ke Dobo dari Mimika pada 24 Juli 2019 dengan menumpang kapal perintis, lalu menginap dua hari, lalu pergi pada 29 Juli dengan Kapal Motor Tidar dan tiba di Kota Sorong pada 1 Agustus. Pratu DAT menginap di beberapa tempat sebelum tertangkap pada 4 Agustus.
Pada 6 Agustus, Pratu DAT diterbangkan ke Jayapura dari Sorong, dikawal oleh seorang perwira dari Kodim 1710 Mimika dan seorang anggota Sub Detasemen Polisi Militer Mimika, untuk diserahkan ke Polisi Militer Kodam XVII Cenderawasih.
Titik Panas Kekerasan Bersenjata
Kabupaten Mimika, lokasi tugas Pratu DAT, adalah salah satu titik terpanas kekerasan bersenjata di Papua, selain di Nduga, Paniai, Puncak, dan Puncak Jaya.
Dalam riset Tirto, setidaknya terjadi delapan kekerasan bersenjata di Mimika sepanjang 2014-2018. Setiap insiden itu berentet peristiwa kekerasan bersenjata lainnya.
Pada akhir 2017 saja, misalnya, saat beredar desas-desus “penyanderaan” ribuan warga di Distrik Tembagapura, Mimika, sedikitnya ada 13 kali peristiwa penembakan dari Agustus hingga November.
Iklim demokrasi di Papua dan Papua Barat adalah terburuk di seluruh Indonesia.
=======
Koreksi: Kami keliru menyebut akronim pratu sebagai prajurit dua, seharusnya prajurit satu. Pangkat level tamtama ini jenjang karier paling bawah. Dalam tamtama, pratu berada di atas prajurit dua dan di bawah prajurit kepala. Tanda pratu adalah dua garis merah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahri Salam