tirto.id - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tampak semakin serius menggolkan rancangan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Agenda ini menghidupkan lagi haluan negara, seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal itu telah dihapus lewat empat kali amandemen sejak era Reformasi.
MPR menilai urgensi PPHN sangat krusial untuk pembangunan bangsa yang berkelanjutan ke depan. Badan Pengkajian (BP) MPR RI bahkan sudah memerintahkan dua tim perumus PPHN menggelar rapat perdana, Rabu (25/6), di Kota Bekasi. Rapat ini menjadi langkah awal MPR dalam menyusun arah strategis dan kerangka hukum terhadap pembentukan PPHN. Untuk tugasnya, Tim I melakukan kajian atas bentuk hukum PPHN, sementara Tim II akan berfokus perumusan substansi atau isi dari haluan negara tersebut.
Ancang-ancang menghidupkan lagi haluan negara bukan rencana yang sekonyong-konyong muncul. MPR periode 2019-2024 lalu bahkan sudah membuat draf PPHN yang berisi arah kebijakan pembangunan 2020-2045. Alasan yang dikemukakan pun beragam: mulai dari isu mencegah radikalisme hingga narasi yang belakangan sering digaungkan, keberlanjutan.
Rencana menghidupkan lagi haluan negara memang timbul-tenggelam karena menuai kritik dan penolakan. Pasalnya, ekses yang ditimbulkan jika menghidupkan lagi haluan negara ini akan berdampak langsung ke konstitusi Indonesia. Terlebih, dikhawatirkan terdapat niat politik ‘terselubung’ dari elite politisi di Senayan, dari wacana mendorong reinkarnasi haluan negara.
Namun yang bisa dipastikan kali ini, MPR sudah tidak bersilang pendapat terkait pentingnya menghidupkan PPHN. Hal ini disampaikan Ketua Tim I Perumus PPHN MPR, Benny Kabur Harman. Ia mengungkap salah satu opsi landasan hukum untuk menetapkan PPHN adalah mencantumkannya di dalam UUD 1945.
Meski, Benny mengaku pihaknya tidak membahas lebih lanjut konsekuensi melakukan amandemen kelima konstitusi untuk memasukkan PPHN ke dalam UUD.
“PPHN jika tetap diinginkan harus dicantumkan dalam UUD agar punya kekuatan hukum mengikat untuk semua lembaga negara. Apakah mau mengubah lagi UUD 1945, kami tidak membahas soal itu,” kata Benny kepada wartawan Tirto, Kamis (10/7/2025).
Apa Itu PPHN?
Dalam keterangan resmi MPR, PPHN disebut sebagai alternatif arah pembangunan jangka panjang, yang tidak bergantung pada siklus lima tahunan pemilu. Haluan negara ini diharapkan dapat menjadi panduan lintas pemerintahan dalam merancang kebijakan pembangunan nasional yang berkesinambungan.
Ketua Tim Perumus II PPHN MPR, Andreas Hugo Pareira, mengungkap sampai saat ini ada tiga opsi hukum untuk menetapkan PPHN. Opsi pertama yakni serupa dengan apa yang diungkapkan Benny, memasukkan PPHN ke dalam teks UUD.
Kedua, melalui TAP MPR dengan perubahan UUD sekaligus menambah wewenang MPR di dalam Pasal 3 UUD 1945. Atau membentuknya lewat konvensi ketatanegaraan tanpa harus mengubah UUD, seperti pelaksanaan Sidang Tahunan yang diatur dalam Tatib MPR pasal 109 ayat (3) huruf (b).
Terakhir, kata Hugo, PPHN dapat ditetapkan lewat undang-undang yang dibentuk DPR dan pemerintah.
“Pembahasan menyangkut Pokok-pokok Haluan Negara ini sampai pada suatu kesimpulan sementara, bahwa negara ini membutuhkan adanya haluan negara sebagai arah menjaga keberlanjutan proses penyelenggaraan kehidupan bernegara dan menjawab berbagai tantangan perubahan,” terang Hugo kepada wartawan Tirto, Kamis (10/7/2025).
Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Jenderal MPR, Siti Fauziyah, mengungkap bahwa MPR terus mengkaji rumusan Pokok-pokok Haluan Negara. Kajian tersebut dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR yang ditargetkan selesai pada akhir Juli 2025. Setelah rampung di MPR, PPHN direncanakan akan dikonsultasikan kepada Presiden Prabowo Subianto pada akhir Juli.

Apabila dicermati, selain menetapkan PPHN lewat pembentukan undang-undang, memang opsi lainnya membuka peluang terjadinya amandemen kelima konstitusi. Hal ini pula yang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap tatanan demokrasi Indonesia hari ini yang mengedepankan asas kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang saling mengawasi dan berimbang (check and balances).
Selain itu, amandemen konstitusi yang menambah kewenangan MPR bukan berarti bebas dari persoalan. Sejak reformasi, sampai terjadi amandemen konstitusi keempat pada 2002, kedudukan MPR sebagai lembaga negara tertinggi serta pemegang kuasa negara tertinggi (Die Gesamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis) sudah dihapus. Dengan begitu, lahir sistem presidensial yang sampai saat ini dijalankan oleh Indonesia.
Motivasi Mengembalikan Haluan Negara
Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai rencana MPR mengembalikan haluan negara dengan sebutan PPHN bukan usaha baru sama sekali. Di periode MPR sebelumnya, upaya tersebut dinilai masif dilakukan para anggota parlemen demi menghidupkan lagi haluan negara.
“Lobi-lobi dengan pemerintah dan parpol-parpol juga dengan DPR dan DPD sudah pernah dicoba. Hanya suara publik yang kala itu menghambat langkah MPR,” kata Lucius kepada wartawan Tirto, Kamis (10/7).
Lucius menyatakan langkah Badan Pengkajian MPR kali ini untuk menggolkan pokok-pokok haluan negara tampaknya ingin menegaskan eksistensi MPR bukan “produk gagal”. Tampak penegasan itu terlihat dari kecenderungan MPR mengulang-ulang lagi isu lama yang pernah gagal, yakni menghidupkan haluan negara.
Ia menilai saat ini belum ada urgensi Indonesia menetapkan haluan negara. Apalagi sudah ada Undang-Undang Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU 59/2004 soal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045 sebagai haluan negara dalam segala bidang pembangunan.
Dengan begitu, kata dia, dorongan MPR menghidupkan haluan negara tidak bisa dipandang hanya sebatas keinginan agar Indonesia memiliki haluan negara. Keinginan mengembalikan haluan negara bisa jadi, dan sangat mungkin akan merembet pada hal-hal lain terkait sistem pemerintahan Indonesia hari ini, yang sudah diatur konstitusi.

Apabila PPHN dikembalikan, MPR akan menjadi lembaga pengontrol presiden, karena nanti pemimpin negara menjadi mandataris atau pelaksana PPHN yang dirancang MPR. Hal ini menjadi paradoks dari sistem presidensial sekaligus akan menggerus visi-misi presiden yang diserap dari aspirasi dan kebutuhan rakyat selama masa kampanye Pemilu Presiden.
Pemerintah yang menggunakan haluan negara sebagai pedoman pembangunan cenderung kembali menumbuhkan bibit otoritarianisme sebagaimana GBHN era Orde Baru. Dampak ini yang tampaknya diabaikan oleh para pengkaji PPHN di MPR.
“Jangan-jangan PPHN hanya alasan saja untuk mengobok-obok pengaturan lain di dalam konstitusi. Apalagi ada banyak keinginan rezim, baik sebelumnya maupun yang sekarang yang tampaknya ingin agar ada keleluasaan presiden menambah kekuasaan atau memperpanjang kekuasaannya,” terang Lucius.
Haluan Negara Buat Indonesia Mundur ke Era Orba
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, menilai bahwa rencana menghidupkan haluan negara hanya akan membuat Indonesia mundur ke belakang ketika supremasi parlementer terjadi di era Orde Baru. Kala itu, MPR memang punya kewenangan untuk memilih presiden dan menetapkan GBHN. Hal ini pula yang membuat Soeharto mencengkram kekuasaan selama 32 tahun, karena saat itu MPR diisi oleh orang-orang dekatnya.Amandemen konstitusi untuk menghidupkan PPHN juga akan berdampak pada tergerusnya sistem presidensial. Ciri sistem presidensial yang menonjol adalah pemisahan kekuasaan yang jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Maka dalam sistem presidensial ini keduanya menerima mandat langsung dari rakyat lewat pemilu.
Apabila haluan negara dihidupkan, pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif bisa kabur. Presiden yang hanya melaksanakan haluan negara buatan MPR membuat pilpres secara langsung menjadi seolah tidak memiliki dampak berarti terhadap kehendak rakyat.
“Sistem presidensial tidak bisa diubah menjadi sistem parlementer. Karena implikasi dari supremasi parlemen mengarah pada supremasi sistem parlementer, ini yang kita berharap konstitusi kita tidak kembali kepada masa rezim otoritarian,” kata Herlambang kepada wartawan Tirto, Kamis (10/7).

Wacana menghidupkan PPHN bisa menjadi "trojan horse" untuk amandemen lain yang lebih kontroversial. Seperti perpanjangan masa jabatan presiden atau pengubahan sistem pemilu. Dampak itulah yang menjadi keresahan peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro. Dia menilai agenda pembentukan PPHN hanyalah kedok untuk agenda politik lainnya.
Haluan negara sebagaimana diterapkan era Orde Baru bersifat top-down, karena ditetapkan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang mewakili kedaulatan rakyat. Saat itu, adanya GBHN mengikat presiden sebagai mandataris MPR sehingga membatasi fleksibilitas kekuasaan eksekutif.
Jika dihidupkan kembali, kata Arif, PPHN kemungkinan disusun oleh MPR, yang anggotanya (DPR dan DPD) didominasi elite partai politik, sehingga akan berpotensi mengurangi peran demokrasi langsung.
Pasca-reformasi, presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga visi-misi kampanye mereka menjadi dasar pembentukan RPJMN. Lewat skema demikian pula, pembangunan nasional idealnya menyerap suara dari tingkatan pemerintahan terkecil di desa hingga nasional.
“PPHN ini dapat dianggap sebagai kemunduran dari demokrasi langsung menuju demokrasi perwakilan yang terpusat mirip era Orde Baru. Menghidupkan GBHN /PPHN memerlukan amandemen UUD 1945 untuk memperluas kewenangan MPR yang dapat mengembalikan MPR sebagai lembaga yang dominan dan melemahkan checks and balances,” tutur Arif kepada wartawan Tirto, Kamis (10/7/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































