Menuju konten utama

Salah Kaprah Usul MPR Tafsirkan Konstitusi Tanggapi Putusan MK

Partai politik tolak putusan MK soal pemisahan Pemilu. Pakar hukum tegaskan tafsir konstitusi bukan wewenang MPR, tapi MK.

Salah Kaprah Usul MPR Tafsirkan Konstitusi Tanggapi Putusan MK
Suasana dome Gedung Nusantara DPR atau Gedung Kura-Kura di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu nasional dan lokal menuai pro-kontra. Partai politik (parpol) menolaknya dan mendorong MPR beri tafsir UUD. Tapi pakar hukum menilai tafsir konstitusi tetap wewenang MK sesuai prinsip demokrasi dan sistem checks and balances.

Resistensi masih menyeruak dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan mayoritas partai politik penghuni Senayan. MK dicap melebihi kewenangannya sebab dianggap membentuk norma baru yang semestinya berada di tangan pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah).

Teranyar, Partai Nasdem, tegas menolak putusan MK 135/2024 dengan menyebut putusan itu tidak konstitusional dan tidak mengikat. Nasdem menilai putusan tersebut problematis, melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945, dan berpotensi menimbulkan krisis ketatanegaraan.

Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, menilai putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/ 2024 tersebut membuat adanya deadlock constitutional serta overlap atau tumpang tindih. Partai Nasdem mendorong MPR RI memberikan penafsiran yang asli atau original intent terkait putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal.

Menurut Willy, original intent adalah sebuah teori dalam penafsiran hukum, khususnya dalam konteks konstitusi, yang berupaya memahami makna suatu ketentuan berdasarkan niat awal atau tujuan para perumus teks tersebut pada saat dibuat.

Dalam kata lain, original intent adalah interpretasi yang berfokus pada pemahaman tentang apa yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang atau konstitusi ketika menyusun teks tersebut.

Artinya, Nasdem menilai bahwa tafsir asli UUD 1945 (original intent) merupakan wewenang MPR, bukan MK. MPR dianggap punya otoritas untuk menegaskan makna Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 18 UUD 1945 yang menjadi episentrum diskursus putusan MK.

"Kami akan mendorong MPR memberikan original intent dari apa yang sudah diputuskan oleh MK ini. Kenapa? Yang pembuat undang-undang dasar itu adalah MPR dan kami (Partai) Nasdem sedang mendorong MPR untuk memberikan original intent," kata Willy dalam keterangan tertulis, Selasa (8/7/2025).

Benarkah Tafsir UUD 1945 Wewenang MPR?

Kendati begitu, sejumlah pakar hukum tata negara beserta pengamat pemilu justru menilai terjadi kekeliruan terhadap usulan Nasdem itu. Pasalnya, usai amandemen UUD yang telah dilakukan empat kali, MPR merupakan lembaga negara yang setara dengan lembaga lain.

Hal ini justru berpotensi membuat MPR melangkahi kewenangan konstitusi pada UUD 1945 dan bertindak kembali seolah-olah “lembaga tertinggi”, seperti era Orde Baru.

Peneliti dari Perludem, Usep Hasan Sadikin, menilai original intent memang salah satu cara untuk menafsirkan hukum. Namun, jika benar-benar ingin memakai penafsiran original intent terkait kewenangan MK, merujuk risalah amandemen UUD 1945, putusan MK justru sudah tepat dan sah secara konstitusional.

Kewenangan MK dalam UUD 1945 salah satunya berbunyi untuk, “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”, sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Di situ ditegaskan pula bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat.

Sebab, kata Usep, ketentuan ini lahir atas kesadaran dan pembahasan bahwa pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah, memungkinkan untuk menghasilkan ketentuan undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.

Usep sendiri mafhum putusan MK 135/2024 akan memiliki potensi konflik kepentingan yang tinggi di antara para politisi.

“Jadwal pemilu dan cara pemilihan merupakan bagian dari variabel sistem pemilu. Ketentuan soal variable system pemilu punya kecenderungan didasari bukan berdasar teori atau pembuktian, melainkan siapa atau partai apa yang paling banyak mendapat kursi kekuasaan,” kata Usep kepada wartawan Tirto, Rabu (9/7/2025).

Apabila dirunut, MK sudah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, memberikan enam opsi model keserentakan pemilu dan menyerahkan pilihan itu kepada pembentuk UU melalui kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Sayangnya, perubahan norma pemilu tak kunjung dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

Maka dalam hal itu, pemohon dalam perkara 135/2024 yakni Perludem, meminta MK agar memberikan pilihan tafsir atas open legal policy putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 sebagai akibat tidak adanya perubahan norma UU Pemilu oleh pembentuk undang-undang.

“Sayangnya, DPR dan pemerintah tidak meresponnya, bahkan menyimpulkan UU 7/2017 sudah bagus dan tidak perlu direvisi. Padahal, putusan MK sifatnya final dan mengikat. Pada Putusan 135/2024, MK kemudian memilih salah satu desain pemilu serentak,” ucap Usep.

Dalam putusan MK 135/2024, ditetapkan bahwa pemilu nasional dilakukan untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, hingga anggota DPD. Sementara itu, pemilu tingkat lokal untuk kepala daerah hingga DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional.

Dalam konteks demikian, putusan MK 135/2024 seakan-akan menjadi tamparan keras bagi pembentuk undang-undang yang kurang serius menentukan sistem pemilu serentak terbaik.

Pemungutan suara ulang di Kabupaten Kutai Kartanegara

Warga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara saat pemungutan suara ulang Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara di TPS 22 Arwana di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Sabtu (19/4/2025). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/agr

Hal tersebut dipahami sebagai kerumitan konsolidasi politik di tingkat elite, alih-alih didasari atas keterbatasan waktu serta kewenangan. Ini ditunjukkan dari banyaknya beleid lain yang ditelurkan/disahkan pembentuk undang-undang meskipun dikritik publik dan dianggap tidak memiliki urgensi.

Mengenai resistensi alot dari DPR, Usep menduga hal ini didasari terkait keinginan dari elite politik mengubah sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung. Putusan MK 135/2024 ini dengan sifat final dan mengikat memang menutup kemungkinan pilkada tidak langsung.

Ketika pilkada menjadi tidak langsung, kekuasaan di daerah menjadi lebih mungkin dijamin oleh politisi yang sedang berkuasa. Usep mencontohkan pada transisi Pemilu 2024, ketika posisi Penjabat (Pj) Kepala Daerah diisi serampangan oleh kekuasaan pusat yakni Presiden dan Kemendagri.

“Pengabaian pada Putusan MK (135/2024) ini akan membuat Pemerintah dan DPR mudah mewujudkan pilkada tidak langsung. Entah pemilihan kepala daerah melalui DPRD ataupun penunjukan langsung oleh pemerintahan pusat untuk posisi gubernur,” ucap Usep.

Tak Ada Landasan Hukum MPR Sebagai Penafsir Kontitusi Tunggal

Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, menilai tidak ada landasan hukum bahwa MPR memiliki kewenangan tunggal sebagai penafsir konstitusi. Pasalnya, usai amandemen, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, bahkan tak punya kewenangan lagi dalam membentuk haluan negara.

Hal ini menjadikan Indonesia memiliki sistem demokrasi yang punya keberimbangan kekuasaan atau menerapkan prinsip check and balances.

Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, kewenangan MPR saat ini terbatas pada:

- mengubah dan menetapkan UUD –sebagaimana Pasal 3 ayat 1;

- melantik presiden dan/atau wakil presiden;

- memberhentikan presiden/wakil presiden lewat paripurna berdasar putusan Mahkamah Konstitusi.

“DPR terutama elite politik yang tidak patuh terhadap putusan MK ini justru tidak konstitusional. Saya khawatir pengkhianat konstitusi adalah mereka yang justru tidak patuh terhadap konstitusi termasuk putusan MK,” terang Herlambang kepada wartawan Tirto, Rabu (9/7)
.

Menurut Herlambang, meskipun DPR berbeda pendapat, mereka tetap punya kewajiban mematuhi putusan MK sesuai konstitusi. Ia menilai sikap resistensi ini memang diduga ada ketakutan parpol bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal menyebabkan biaya pemilu lebih tinggi. Namun, alih-alih mempersoalkan putusan MK, sebaiknya pembentuk undang-undang fokus untuk membenahi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk meningkatkan kualitas pemilu.

Herlambang menilai, DPR seakan pilih-pilih terhadap putusan yang dikeluarkan MK. Ketika putusan tersebut menguntungkan, mereka akan meminta rakyat menerimanya. Namun saat dirasa merugikan, DPR kompak melayangkan protes terhadap MK. Ia menyatakan sikap ini sebagai tindakan parlemen yang ‘kekanak-kanakan’.

“Rakyat berharap pemisahan pemilu itu memperbesar kontrol publik dan ini penting karena ini berkaitan dengan partisipasi politik publik. Jangan karena kalah dan punya kekuasaan, DPR jadi semena-mena dengan putusan MK,” tegas Herlambang.

“Serangan” terhadap MK

Menariknya, usai gelombang resistensi dari elite politik terhadap putusan MK 135/2024, kali ini wacana soal revisi UU MK mengumpul kembali di Senayan. Meskipun, pimpinan DPR RI sudah menegaskan bahwa revisi UU MK tidak ada kaitannya dengan dinamika putusan MK soal Pemilu. Hal ini disampaikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar, Adies Kadir, seusai Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (8/7/2025).

”Revisi UU MK itu sudah selesai di periode anggota DPR yang lima tahun lalu. Kebetulan saya ketua panja (panitia kerja), dan itu tinggal dibawa ke paripurna tingkat dua. Jadi tidak ada revisi (UU MK karena putusan MK),” kata Adies.

Revisi UU MK ini sempat dibahas DPR periode 2019-2024, tetapi kemudian gagal disahkan usai memantik penolakan publik. Ketika masa jabatan DPR 2019-2024 akan rampung, revisi UU MK diputuskan dilimpahkan ke DPR periode 2024-2029.

Revisi UU MK ditentang publik karena membuka peluang hakim konstitusi untuk diberhentikan atau diganti sewaktu-waktu oleh lembaga pengusul, yakni presiden, DPR, atau Mahkamah Agung.

Fokus ke Perbaikan UU Pemilu dan Pilkada

Pakar hukum kepemiluan sekaligus pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyatakan saat ini elite politik tengah diuji keteladannya dalam menaati konstitusi. Sebab apabila mereka menunjukkan sikap yang membangkang konstitusi dengan mengabaikan putusan MK, maka itu menjadi preseden buruk bagi publik. Hal itu berpotensi memicu publik untuk melakukan tindakan yang sama terhadap berbagai produk hukum yang dihasilkan pembentuk UU.

Pemungutan suara pilkada serentak 2024

Warga menunjukan jari yang sudah tercelup tinta usai menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di TPS 024 Kebagusan, Jakarta, Rabu (27/11/2024). Pelaksanaan pemungutan atau pencoblosan suara di tempat pemungutan suara (TPS) dimulai dari pukul 07.00 sampai 13.00 waktu setempat pada Rabu, 27 November 2024. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

Semestinya, kata dia, perdebatan terkait Putusan MK 135/2024 bergeser ke arah yang lebih konstruktif dan konkret yakni soal bagaimana tindak lanjut agar pemilu nasional 2029 dan pemilu daerah setelahnya bisa terlaksana dengan baik. Sebab hal ini perlu diatur melalui UU Pemilu yang benar-benar kredibel dan demokratis.

Dengan begitu, kritik dan eksaminasi terhadap Putusan MK mesti dilakukan dalam koridor konstitusi. Apalagi respons dari lembaga negara serta institusi demokrasi seperti DPR dan parpol, mestinya harus dengan menghormati prinsip supremasi hukum dan mencerminkan budaya berkonstitusi yang baik.

“Dulu publik diminta legowo menerima Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia calon di Pilpres dengan alasan Putusan MK bersifat final dan mengikat. Serta hanya bisa diubah apabila ada Putusan MK terbaru dengan pendirian hukum yang berbeda atau overruling,” kata Titi kepada wartawan Tirto, Rabu (8/7).

Titi mengingatkan, desain ketatanegaraan saat ini menempatkan MK sebagai penafsir sah konstitusi. Lagipula, untuk memahami original intent dari pembentuk undang-undang dasar dapat dilakukan dengan merujuk pada risalah dan prosiding pembahasan saat amandemen UUD 1945. Maka, semua pihak harus menghormati desain check and balances yang sudah didesain melalui konstitusi.

Menurut Titi, putusan MK 135/2024 lahir dari evaluasi menyeluruh atas penyelenggaraan pemilu serentak 2019 dan 2024 yang luput dari perhatian pembentuk UU. Kompleksitas hukum, teknis, dan administratif kepemiluan lebih mampu diurai apabila model keserentakan pemilu yang diimplementasikan adalah model pemilu serentak nasional dan daerah seperti pada Putusan MK 135/2024.

“Oleh karena itu, implementasikan dulu Putusan MK, tindak lanjuti dengan segera merevisi UU Pemilu, serta lakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan pemilu 2024 lalu agar pemilu mendatang jauh lebih baik dan kredibel dari sisi kerangka hukumnya,” terang Titi.

Baca juga artikel terkait PUTUSAN MK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto