tirto.id - Amerika Serikat (AS) terancam gagal bayar utang di negaranya. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu bencana ekonomi yang akan membuat suku bunga lebih tinggi untuk tahun-tahun mendatang.
Gagal bayar utang tersebut akan menghasilkan bencana ekonomi dan keuangan mengakibatkan hilangnya pekerjaan. Selain itu mendorong pembayaran rumah tangga untuk hipotek, pinjaman mobil dan kartu kredit menjadi lebih tinggi. Lantas bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah kmencapai Rp7.879 triliun pada akhir Maret 2023 atau setara dengan 39,17 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Utang tersebut didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp7.013 triliun atau sekitar 89,02 persen. Sementara untuk pinjaman tercatat senilai Rp865 triliun atau 10,98 persen.
Jika dirinci, besaran utang SBN terdiri dari domestik Rp5.658 triliun. Di mana utang tersebut berasal dari Surat Utang Negara (SUN) Rp4.600 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp1.057 triliun. Kemudian untuk valas mencapai Rp1.354 triliun. Itu terdiri dari SUN Rp1.056 triliun dan SBSN Rp298 triliun.
Selanjutnya, utang berasal dari pinjaman terdiri dari dalam negeri Rp21,31 triliun dan luar negeri Rp844 triliun. Adapun pinjaman berasal dari luar negeri itu terbagi untuk bilateral Rp264 triliun, multilateral Rp527 triliun, dan commercial banks Rp52,35 triliun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, masalah utang akan berisiko memicu krisis sistemik global usai pandemi. Situasi risiko utang juga perlu dicermati untuk kondisi Indonesia porsi utang saat ini 89 persen lebih bentuknya SBN yang artinya tergantung pada bunga pasar.
"Tren inflasi dan kenaikan suku bunga bisa membuat beban bunga utang naik signifikan sementara upaya untuk melakukan pengurangan beban utang menjadi sulit," kata Bhima kepada Tirto, Jumat (28/4/2023).
Bhima mencontohkan tahun ini saja tren bunga utang mencapai Rp441 triliun atau setara 21,8 persen target penerimaan perpajakan ditahun yang sama. Beban utang ini sudah kelewat berat.
Dia menilai Indonesia bisa saja terhindar risiko gagal bayar utang. Solusinya yaitu tanah air bisa manfaatkan fasilitas debt swap (pertukaran utang dengan program) dan debt suspension (penangguhan bunga utang) meskipun hanya bisa berfungsi dengan kreditur non SBN.
Manajemen risiko fiskal, lanjut Bhima juga menjadi rumit karena beberapa proyek yang sebelumnya murni pengerjaan BUMN mulai dibebankan ke APBN baik melalui PMN maupun penjaminan. Salah satunya adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Pemerintah harus cari jalan keluar dengan turunkan ambisi berutang demi mega proyek yang secara ekonomis tidak layak. Selain itu porsi SBN dari total utang pemerintah sebaiknya dikurangi dengan peningkatan rasio pajak dan pengendalian belanja," katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin