Menuju konten utama

Amandemen UUD 1945, Benarkah Demi Publik?

Pengamat menyatakan curiga bahwa MPR hendak berusaha mengambil kontrol publik yang telah dilucuti dalam empat kali amandemen UUD NRI 1945 sebelumnya.

Amandemen UUD 1945, Benarkah Demi Publik?
Ketua MPR terpilih periode 2024-2029 Ahmad Muzani (tengah) bersama pimpinan bersama Wakil MPR terpilih bersiap memimpin sidang paripurna di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2024). ANTARA FOTO/Fauzan/Spt.

tirto.id - Wakil Ketua MPR Bambang Wuryanto, atau akrab disapa Bambang Pacul, kembali menuai perhatian publik usai membuka kembali wacana amandemen Undang-undang Dasar (UUD) NRI 1945. Sebab, menurutnya, konstitusi merupakan hal yang dibuat oleh manusia dan tidak mungkin sempurna.

Pacul membuka wacana amandemen tersebut dengan menyebut MPR memberikan ruang diskusi bagi publik untuk membicarakan mengenai perubahan konstitusi.

“MPR akan memfasilitasi diskusi tentang perubahan UUD NRI Tahun 1945. Diskusi ini diikuti mereka yang sudah memiliki pemahaman terhadap sejarah perubahan konstitusi sejak UUD 1945,” kata Bambang Pacul saat menjadi pembicara dalam Seminar Konstitusi dengan tema “Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi” di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/8/2025).

Bambang Pacul mensyaratkan agar diskusi mengenai amandemen UUD NRI 1945 dilakukan oleh pakar yang memahami hukum tata negara dan sejarah konstitusi di Indonesia. Politisi PDIP itu berkeyakinan bahwa amandemen UUD NRI 1945 adalah sebuah keniscayaan, karena perkembangan zaman yang memengaruhi aturan ketatanegaraan di Indonesia.

Meski membuka wacana mengenai amandemen UUD NRI 1945, namun Bambang tak menjabarkan secara detail pasal maupun klausul apa yang akan direvisi atau diubah. Tirto telah mencoba menindaklanjuti mengenai rencana amandemen UUD NRI 1945, namun Bambang tak membalas pesan Tirto, dan hanya meninggalkan tanda centang biru.

Sebelum Pacul membeberkan bahwa MPR membuka ruang diskusi untuk melakukan amandemen UUD 1945, para pimpinan MPR lintas fraksi dan DPD telah mengisyaratkan dukungan terhadap perubahan dokumen formal UUD 1945 melalui penyusunan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).

Salah satu pendapat dilontarkan oleh Wakil Ketua MPR dari Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono, yang menyebut bahwa dirinya menerima masukan dari banyak pihak agar rencana pembangunan nasional diatur melalui PPHN. Menurutnya, sebelum amandemen UUD NRI 1945 pada 1999–2002, MPR memiliki kewenangan signifikan dalam struktur ketatanegaraan, termasuk memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun pasca-amandemen, kewenangan itu dihapuskan.

“Akibatnya, pembangunan kita terkesan terfragmentasi dan tidak konsisten secara nasional. Arah pembangunan nasional ditentukan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang bersifat eksekutif-sentris,” kata sosok yang akrab disapa Ibas dalam keterangan pers, Selasa (19/8/2025).

Edhie Baskoro Yudhoyono Rapat Partai Demokrat

Ketua Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono menghadiri rapat darurat di Kantor DPP Partai Denmokrat, Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2017). tirto.id/Andrey Gromico

Dukungan terhadap amandemen juga dilontarkan oleh Fraksi PAN di MPR. Wakil Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Umum PAN, Eddy Soeparno, menuturkan hal yang sama seperti Bambang. Menurutnya, amandemen UUD NRI 1945 adalah sebuah keniscayaan demi keberlanjutan PPHN yang sudah rampung dikaji oleh Badan Pengkajian MPR.

Eddy menuturkan jika PPHN yang disusun demi menjaga keberlanjutan program kerja jangka panjang, maka produk hukum tata negara itu tidak bisa diatur dalam undang-undang. Karena undang-undang rawan digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).

"“Jangan juga nanti, katakan saja kami akhirnya putuskan bahwa itu akan ditetapkan melalui undang-undang, tetapi undang-undang kan rawan kena torpedo nanti di MK," kata Eddy, seperti dikutip dari Antara.

MPR: Amandemen UUD 1945 Tidak Ada Kaitannya dengan Pemilu

Ketua Badan Pengkajian MPR, Andreas Hugo, membantah bahwa kajian PPHN dan wacana amandemen UUD 1945 yang kini tengah dikaji berkaitan dengan Pilpres atau agenda Pemilu lainnya. Dia menegaskan bahwa tidak ada rekomendasi dalam naskah PPHN yang dibuat oleh Badan Pengkajian MPR.

"Tidak ada dalam rekomendasi Badan Pengkajian soal Pemilihan Presiden tidak ada dalam pembahasan Badan Pengkajian dan juga tidak ada dalam rekomendasi," kata Andreas Hugo saat dihubungi Tirto, Senin (25/8/2025).

Ia menjelaskan bahwa proses kajian PPHN menuju amandemen membutuhkan perjalanan panjang. Selain membutuhkan persetujuan semua fraksi dan DPD di MPR, amandemen juga membutuhkan restu dari Presiden Prabowo Subianto, yang juga merangkap Ketua Umum Partai Gerindra.

"Ini bisa menjadi pertimbangan, tetapi ini bisa berjalan kalau disetujui presiden, yang juga adalah Ketum Gerindra dan para ketum partai, sehingga bisa lebih melancarkan tugas dari panitia ad hoc," jelasnya.

Sidang Tahunan MPR RI

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga/app/rwa.

Meski MPR menegaskan bahwa amandemen dan proses penyusunan PPHN jauh dari hiruk pikuk Pemilu, namun publik menangkapnya lain. Pada saat seminar konstitusi bersama Bambang Pacul, mantan hakim MK, Jimly Asshiddiqie, mengusulkan agar wakil presiden tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan ditetapkan oleh presiden terpilih dan kemudian disetujui oleh MPR.

Usul ini disampaikannya dalam Seminar Konstitusi yang digelar MPR di Jakarta, Kamis (21/8/2025).

“Ini diskusi, wakil presiden itu enggak usah dipilih langsung, dipilih oleh MPR aja,” ujar Jimly.

Jimly Asshidique

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshidique kata Jimly di Rumah Duka Sentosa, RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (29/7/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Amandemen UUD NRI 1945 Tidak Boleh Dilakukan Secara Gegabah

Perlu diketahui, amandemen UUD NRI 1945 telah dilakukan empat kali. Amandemen pertama dilakukan pada Oktober 1999. Tujuannya adalah menyempurnakan aturan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara agar sesuai dengan kebutuhan zaman, mencakup sistem pemerintahan hingga hak-hak warga negara.

Perubahan pertama disahkan dalam Sidang Umum MPR pada 14–21 Oktober 1999. Amandemen ini mengubah sembilan pasal, antara lain terkait pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, kewenangan DPR dalam mengajukan RUU, serta pengaturan mengenai grasi, amnesti, abolisi, dan tanda jasa. Setahun kemudian, tepatnya 7–18 Agustus 2000, MPR kembali menetapkan amandemen kedua dalam Sidang Tahunan.

Amandemen ketiga dilakukan pada 1–9 November 2001. Setahun setelahnya, pada 1–11 Agustus 2002, MPR menetapkan amandemen keempat yang membawa perubahan signifikan. Salah satunya adalah penghapusan Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pasal 16 yang sebelumnya berada di bab tersebut dipindahkan ke Bab III mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara, sehingga menegaskan peran eksekutif dalam struktur ketatanegaraan.

Secara keseluruhan, empat kali amandemen UUD 1945 mengubah 75 pasal, meski jumlah nomor pasalnya tetap 37. Dari keseluruhan ayat, hanya 23 yang dipertahankan sesuai naskah asli atau sekitar 16,33 persen. Artinya, mayoritas pasal telah disesuaikan dengan semangat reformasi dan kebutuhan tata kelola negara modern.

Dengan serangkaian perubahan tersebut, UUD 1945 tidak hanya menata ulang sistem pemerintahan, tetapi juga memperkuat prinsip demokrasi, pembatasan kekuasaan, dan perlindungan hak-hak warga negara. Amandemen menjadi tonggak penting dalam perjalanan reformasi Indonesia menuju sistem politik yang lebih terbuka dan akuntabel.

Kembali ke wacana amandemen UUD NRI 1945. Walaupun MPR terlihat matang dan penuh persiapan untuk melakukan amandemen UUD NRI 1945, namun elemen demokrasi trias politika Indonesia lainnya memberikan rambu-rambu untuk berhati-hati dalam menggunakan perangkat demokrasi tersebut. Salah satu peringatan datang dari Wakil Ketua MK, Saldi Isra. Saldi mengingatkan agar berhati-hati dalam melakukan amandemen.

Saldi mengusulkan agar dilakukan konvensi ketatanegaraan salah satunya dapat dilakukan dengan pertemuan rutin antarcabang kekuasaan atau lembaga-lembaga negara dan lainnya. Pertemuan tersebut memang tidak ditentukan dalam konstitusi, tetapi jika dapat dibangun dan dipelihara maka dapat menjadi bagian yang bisa menutup ruang atau celah yang ada di konstitusi.

“Biasanya dibangun tradisi positif yang dikenal dengan konvensi ketatanegaraan,” kata Saldi dalam Seminar Konstitusi MPR, Kamis.

Dirinya meminta seluruh pimpinan dan anggota MPR serta seluruh masyarakat yang menghendaki amandemen untuk mempelajari sejarah amandemen yang dilakukan sejak 1999. Menurutnya, setiap warga negara harus sadar untuk belajar konstitusi dan tidak bisa memahami konstitusi hanya dari perubahan UUD NRI 1945 dalam satu naskah.

“Seolah-olah Undang-Undang Dasar 1945 itu hasil perubahan dalam satu naskah itu saja, padahal itu salah,” jelasnya.

Peringatan untuk tidak sembarangan dalam melakukan amandemen juga datang dari masyarakat sipil. Pakar Hukum Tata Negara, Herdiansyah Hamzah menilai, ada 'udang di balik batu' dalam rencanan amandemen UUD NRI 1945.

Sidang Tahunan MPR RI

Presiden Prabowo Subianto (tengah) bersama Wapres Gibran Rakabuming Raka (kanan tiba untuk mengikuti Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto/app/rwa.

Walaupun seluruh partai di MPR berseloroh bahwa amandemen hanya demi memuluskan PPHN dan menjaga stabilitas rencana kerja pemerintah, namun Herdiansyah tetap merasa harus curiga jika MPR hendak berusaha mengambil kontrol publik yang selama ini telah dilucuti dalam empat kali amandemen sebelumnya.

"Tidak ada kepentingan publik disini, yang punya kepentingan publik ini hanya MPR, ini jelas untuk mengembalikan kedudukan MPR yang mana bisa menentukan rencana seperti GBHN. Oleh karenanya kalau bilang ini masalah publik, masalahnya apa? Dan solusinya juga malah apa, nggak nyambung," kata Herdiansyah saat dihubungi Tirto, Senin (25/8/2025).

Hal serupa juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari.

Ia bilang, PPHN tidak tercantum dalam UUD NRI 1945. Sehingga, ia berkesimpulan bahwa upaya menyelipkan PPHN ke dalam UUD 1945 dengan amandemen adalah kerja inkonstitusional.

Dia menjelaskan bahwa produk hukum di bawah UUD NRI 1945 adalah undang-undang dan tidak diatur sama sekali mengenai PPHN. Sehingga dia mencurigai ada motif politik lain yang dikehendaki oleh politisi negeri ini dengan menggunakan siasat pembentukan PPHN sehingga kepentingan mereka bisa terakomodasi dengan baik dalam jalur legislasi.

"Tidak ada PPHN dalam Undang-undang Dasar, dalam UUD mengatur bahwa setiap turunan adalah undang-undang. Sebenarnya mereka (MPR) mencari alasan demi membangun kekuatan politik agar mereka memiliki dua kewenangan," kata Feri.

Baca juga artikel terkait UUD 1945 atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Farida Susanty