tirto.id - Sejumlah seniman dan budayawan menolak rencana pembangunan hotel bintang lima di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, yang sedang direvitalisasi.
Salah satu penggiat seni di TIM, Imam Ma'arif, mengatakan para seniman menolak keberadaan hotel karena memegang teguh fungsi TIM sebagai pusat seni kreatif dan seni hiburan yang tertuang dalam surat keputusan mantan Gubernur DKI Ali Sadikin saat meresmikan TIM pada 1968.
Pembangunan hotel bintang lima oleh Gubernur DKI Anies Baswedan bertolak belakang dengan niat Ali Sadikin, katanya.
"Indikasi itu bisa dilihat dari kebijakan Anies menyerahkan mandat pengelolaan PKJ-TIM selama 30 tahun kepada PT Jakpro, sebuah BUMD yang tak terkait sama sekali dengan kehidupan kreativitas seni," kata Imam dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Ahad (24/11/2019) kemarin.
Sebagai salah seorang penggiat seni yang cukup lama menggunakan TIM untuk berkesenian, Imam merasa Pemprov DKI tidak menampung aspirasi mereka. Pemprov DKI seakan tidak peduli kalau penggiat seni tidak butuh hotel untuk menciptakan karya.
Imam khawatir segala aktivitas bisnis akan lebih mendominasi TIM daripada aktivitas berkesenian itu sendiri. Hotel bintang lima dinilai akan menjadi tembok besar yang menjauhkan seniman dari rumahnya sendiri.
"Terbayang, atmosfer dan iklim berkesenian di PKJ (Pusat Kesenian Jakarta)-TIM akan rusak dan berubah wujud menjadi keramaian semu. Posisi PKJ-TIM tidak lagi menjadi kebanggaan para seniman," katanya.
Imam lantas meminta PKJ-TIM dikembalikan sebagaimana yang diamanatkan dalam SK Gubernur Ali Sadikin, yang juga menyatakan bahwa kantong budaya tersebut dikelola oleh para seniman sendiri.
"Intinya, PKJ TIM tidak boleh dijadikan sebagai eksperimen tata kelola yang mempertaruhkan satu generasi pelaku seni. Jika gagal, maka satu generasi kesenian akan punah dan tak akan bisa diputar balik kembali," katanya.
Awalnya penolakan ini lantang disuarakan beberapa pegiat seni dalam diskusi bertajuk "PKJ-TIM Mau Dibawa ke Mana?" yang digelar di Pusat Dokumentasi HB Jassin, TIM, Rabu, 20 November lalu. Diskusi ini menghadirkan Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Dadang Solihin, serta sejumlah budayawan seperti Radhar Panca Dahana, Imam Ma'arif, Taufik Ismail, dan Abdul Hadi WM.
Dadang menjelaskan hotel bintang 5 akan menjadi benchmark TIM. Maksud Dadang, nantinya TIM bakal dilihat sebagai sentra kegiatan kesenian dan kebudayaan bertaraf internasional.
Di sela penjelasan Dadang, paguyuban seniman TIM beberapa kali melontarkan penolakan. Mereka merasa tak pernah diajak diskusi oleh Pemprov DKI.
Dadang lalu menawarkan koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI untuk memulai diskusi. Beberapa orang di sana tetap tak terima.
"Berarti kalau tak ada [diskusi] ini, [pembangunan hotel] jalan terus dong," seru salah satu orang.
Suasana menjadi tidak kondusif. Kondisi panas memuncak saat Dadang membentak. "Mau, tidak, ada diskusi [pembangunan hotel]?" seru Dadang.
Suasana semakin memanas karena hadirin tak terima dibentak oleh Dadang. Dadang segera mendinginkan suasana.
"Saya enggak marah [...] Masak, digituin aja marah?" kata Dadang.
Dihubungi terpisah, Dadang mengaku bentakan yang ia lontarkan adalah bentuk candaan.
"Itu cuma diskusi dengan seniman. Biasalah, baru satu kalimat dipotong, abis itu kami ketawa, bercanda," kata Dadang saat dikonfirmasi wartawan, Senin (25/11/2019) pagi.
"Yang hadir di situ menolak. Menolaknya itu sebetulnya mereka menanyakan kenapa tidak diajak ngomong dulu, lalu mengapa pengelolaanya ke Jakpro," tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino