tirto.id - Hingga hari ini, kepolisian telah menangkap tiga orang yang mengunggah pernyataan di media sosial berisi penilaian bahwa teror bom di Surabaya adalah “pengalihan isu”.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Divisi Humas Polri Brigjen Pol Mohammad Iqbal mengatakan ketiganya ditangkap karena tudingan mereka layak dipidanakan. Menurut Iqbal, kepolisian menilai tudingan seperti itu bisa mengancam stabilitas keamanan.
"Beberapa orang yang ditangkap yang disampaikan tadi yang terbukti melakukan ujaran kebencian, berita bohong, agar menjadi pelajaran bagi mereka. Ini mengancam stabilitas keamanan masyarakat," kata Iqbal, pada Senin (21/5/2018) di Mabes Polri.
"Polri tidak nyaman bila aksi ini dikatakan rekayasa," Iqbal menambahkan.
Dia menantang pihak-pihak yang menuding bahwa aksi terorisme di Jawa Timur adalah rekayasa agar memperlihatkan bukti, dan tidak hanya mengunggah pendapat di media sosial.
"Jadi kalau ada yang rekayasa, sutradara sehebat apapun nggak bisa merekayasa kasus. Kemarin bom Thamrin, di Brimob, di Surabaya, saya sampaikan Polri Minta bukti siapapun yang mengatakan itu rekayasa, mana buktinya, ayo silahkan," kata Iqbal.
Tiga orang yang ditangkap oleh polisi karena mengunggah pernyataan di media sosial berisi tudingan bahwa aksi teror bom di Surbaya ialah "pengalihan isu" memiliki profesi berlainan.
Iqbal mengklaim ketiganya ditangkap berdasarkan laporan dari masyarakat dengan dugaan pelanggaran ujaran kebencian.
Dua di antaranya merupakan kalangan terpelajar, yakni seorang kepala sekolah SMP Negeri di Balikpapan dan dosen di Universitas Sumatera Utara (USU). Sedang yang satu lagi adalah seorang petugas keamanan atau satpam.
Kepala sekolah SMP di Balikpapan tersebut berinisial FSA. Ia menjadi tersangka pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian berbau isu SARA.
Dalam unggahannya di media sosial, FSA menulis, “Sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui. Sekali ngebom: 1. Nama Islam dibuat tercoreng; 2. Dana trilyunan anti teror cair; 3. Isu 2019 ganti presiden tenggelam.”
Sedangkan, dosen USU berinisial HDL. Setelah diperiksa oleh polisi selama 24 jam, HDL ditahan dan menjadi tersangka pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE. HDL ditangkap usai menulis pernyataan di akun facebooknya, yakni “Skenario pengalihan yang sempurna…#2019GantiPresiden.”
Sementara seorang satpam yang ditangkap polisi dengan sebab mirip adalah AAD. Dia ditangkap pada Jumat (18/5/2018) karena menulis pernyataan di media sosial berbunyi, “Di Indonesia tidak ada teroris, itu hanya fiksi, pengalihan isu.”
Pakar Hukum Mengkritik Langkah Polisi
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengkritik langkah kepolisian tersebut. Menurutnya, polisi tak perlu melakukan pemidanaan, terlebih penggunaan Pasal 28 ayat (2) dalam menjerat orang-orang yang punya pandangan berbeda.
Mudzakir menilai interpretasi masyarakat pada suatu peristiwa adalah hal yang lumrah, terlebih apabila aparat penegak hukum belum memaparkan keseluruhan kasus secara jelas kepada publik.
“Menurut saya tidak tepat dalam pasal-pasal apapun dalam situasi sekarang ini tidak tepat,” kata Mudzakir.
“Aparat penegak hukum dan kepolisian jangan emosional memproses ini. Masa dengan begitu dipidanakan semua termasuk dosen? Setiap peristiwa pasti lahirkan interpretasi-interpretasi," dia mengimbuhkan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom