Menuju konten utama

Cinta Pertama Selalu Abadi, Memang Iya?

Pengalaman jatuh cinta pertama tak cuma kekal di ingatan, tapi ikut menentukan siapa orang berikutnya yang akan membuat kita jatuh cinta, oh indahnya.

Cinta Pertama Selalu Abadi, Memang Iya?
Header Diajeng Cinta Pertama. tirto.id/Quita

tirto.id - Hampir semua penyanyi atau musisi punya satu lagu yang khusus mereka dedikasikan untuk cinta pertamanya—sebut saja Adele, Utada Hikaru, Luke Bryan, Jennifer Lopez, Isyana Sarasvati.

“Kini aku tahu rasanya orang jatuh cinta, seperti terbang ke angkasa…” kata Isyana. “Lihat saja, kau membuatku terbang melayang,” kata Jennifer. “Yang kupikirkan cuma kamu, dan segala yang kamu lakukan,” tambah Luke.

Potongan-potongan bait lagu di atas menggambarkan betapa berkesan indah cinta pertama Isyana, Jennifer, dan Luke, hingga sulit dilupakan.

Header Diajeng Cinta Pertama

Header Diajeng Cinta Pertama. foto/Istockphoto

Istilah “sulit dilupakan” tak serta-merta buat yang indah-indah saja. Adele dan Hikaru punya kalimat pahit dalam lirik lagu berjudul “First Love” milik masing-masing. “Kuharap aku juga punya tempat di hatimu,” kata Hikaru. “Maafkan aku, Cinta Pertamaku, tapi aku bosan. Aku butuh pergi supaya bisa merasa lagi,” kata Adele.

Selain musisi yang masih mengingat-ingat kisah cinta pertamanya, dan menganggap cinta pertama mustahil dilupakan, para ahli psikologi juga setuju. Cinta pertama memang berbekas lebih lama dalam ingatan seseorang.

Pada dasarnya, sensasi intens emosi yang timbul saat jatuh cinta pertama kali, membentuk apa yang disebut “flashbulb memories” alias “kenangan lampu kilat” dalam dunia psikologi," kata ahli psikologi Jay Dixit di Psychology Today. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan kenangan-kenangan pertama kita sebagai manusia.

Misalnya, kenangan masuk sekolah atau pergi melihat laut pertama kali, ciuman pertama, atau melahirkan anak pertama. Pengalaman-pengalaman itu yang kemudian mengikat pada emosi-emosi tertentu yang bisa muncul sewaktu-waktu untuk membuat kita kembali ingat.

Namun, tak sekadar ikatan emosi, pengalaman-pengalaman pertama kali seperti itu juga punya dosis kebaruan yang tinggi. Kebaruan-kebaruan ini memicu dopamine dan norepinephrine—zat kimia di dalam otak yang membuat kita merasa senang—untuk mengikat kenangan itu pada kesadaran kita. Sehingga kelak kita akan mengingatnya lebih lama.

Pengalaman romansa pertama tentu juga punya elemen kebaruan. “(Jatuh cinta pertama kali) adalah satu-satunya masa ketika kita jatuh cinta tanpa didahului patah hati,” kata Laura Carpenter, sosiolog dari Vanderbit University, seperti yang dikutip Jay Dixit dalam artikelnya.

Bisa jadi, di masa depan, kita menjalin hubungan lebih baik dari hubungan dengan cinta pertama kita, tapi, “Tak akan pernah seperti saat kita belum pernah tersakiti,” tambah Carpenter.

Bahkan, bagi orang-orang yang punya pengalaman hubungan cinta pertama super kuat, kemungkinan besar hubungan-hubungan selanjutnya akan dipengaruhi oleh pengalaman tersebut.

Susan Andersen, psikolog dari New York University, mengatakan sedikit saja kemiripan antara orang baru dan mantan cinta pertama bisa membangkitkan kenangan tentang pengalaman tersebut.

Selain terus mencari kesamaan, pikiran kita juga akan mengaktifkan lagi perasaan lama, dan motivasi serta ekspektasi baru.

Studi Andersen juga menunjukkan kalau manusia punya kecenderungan untuk lebih menyukai sang orang baru, ketimbang mantan cinta pertamanya, tapi ingin mengulangi hal-hal terikat yang pernah dijalani dengan mantan cinta pertama.

Header Diajeng Cinta Pertama

Header Diajeng Cinta Pertama. foto/istockphoto

Kebanyakan orang juga tak mempertahankan cinta pertamanya jadi cinta terakhir. Sebab, secara psikologi, manusia selalu punya hasrat untuk mencoba pengalaman baru. Itu sebabnya, “Punya pengalaman jatuh cinta pertama kali di umur 14 hingga awal 20-an, akan sangat mengejutkan bila bisa bertahan,” tulis Luisa Dillner, seorang ahli psikologi di artikelnya untuk The Guardian.

Cinta pertama selalu punya tempat tersendiri di hati. Pengalaman bersama cinta pertama membentuk sebuah idealisme sendiri tentang romansa yang kita inginkan, yang pada akhirnya hanya akan terasa tepat jika dijalani dengan cinta pertama. Tentu saja hal ini berbahaya bagi hubungan selanjutnya.

Dalam tulisannya, Dillner mencontohkan kisah Linda Waud, seorang psikolog yang akhirnya juga meneliti tentang cinta pertama. Linda akhirnya menikahi Ben, cinta pertamanya, setelah 35 tahun tak pernah berjumpa.

Keduanya menjalani hubungan empat tahun sebelum akhirnya putus karena Linda siap dinikahi, tapi Ben lebih memilih melanjutkan studi. Keduanya juga sempat menikah dengan orang lain sebelum akhirnya bercerai, lalu menikahi satu sama lain. “Mereka kini sudah menikah selama 12 tahun,” tulis Dillner.

Linda sendiri tak menyarankan orang-orang untuk meninggalkan pernikahan bahagia mereka hanya demi mengejar cinta pertama. Sebab, menurutnya, tak semua kisah cinta pertama itu indah.

“Hubungan (romansa) yang pertama biasanya tak akan bertahan karena orang-orang ingin move on dan mencoba hal-hal baru,” kata Linda.

“Dan hanya jika kamu terus melihat ke belakang dan berpikir kalau, wow, ternyata (cinta pertama) yang kupunyai itu istimewa, makanya hubungan-hubungan selanjutnya yang kamu jalani jadi lebih berat. Aku sendiri memang selalu mendambakan Ben, tapi aku selalu menyarankan orang-orang untuk memilih yang terbaik baginya,” tambah Linda.

Namun bila semua orang tak seberuntung Linda dan Ben, pengalaman yang didapat dari cinta pertama bisa digunakan untuk menemukan orang yang lebih sempurna di hubungan berikutnya.

Bukankah, manusia harus sakit dulu baru tahu caranya menghargai kesehatan?

*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait CINTA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra & Sekar Kinasih