Menuju konten utama

Alasan-Alasan Sebaiknya Prabowo Tidak Beli Jet Tempur Bekas Austria

Ada beberapa alasan mengapa sebaiknya Prabowo tak membeli jet Australia. Salah satunya karena itu barang bekas.

Alasan-Alasan Sebaiknya Prabowo Tidak Beli Jet Tempur Bekas Austria
Presiden Joko Widodo (kanan) tiba dalam Peringatan Ke-74 Hari Bhayangkara Tahun 2020 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (1/7/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/POOL/aww.

tirto.id - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bertemu Menteri Pertahanan Austria Klaudia Tanner, di Wina, Selasa (20/10/2020) lalu. Pertemuan ini disebut-sebut terkait rencana pembelian 15 unit Eurofighter Typhoon bekas negara itu.

Rencana pembelian “semua Eurofighter” disampaikan langsung Prabowo kepada Klaudia lewat surat pada 10 Juli lalu. Prabowo mengatakan pembelian ini dalam rangka “memodernisasi angkatan udara Indonesia.”

Eurofighter Typhoon adalah pesawat tempur yang dibuat oleh konsorsium beberapa negara Eropa pada 1983, dan pertama kali diperkenalkan dua puluh tahun kemudian. Eurofighter Typhoon kini dipakai oleh tujuh negara, menurut situs resmi, termasuk Arab Saudi dan Oman. Jika jadi, maka Indonesia akan jadi negara kedelapan.

Belum jelas apakah rencana ini terealisasi atau tidak. KBRI Wina hanya mengatakan pertemuan terkait peningkatan kerja sama bilateral di bidang pertahanan. Sementara Tanner menyebut pertemuan itu sebagai “titik awal diskusi pertama di tingkat teknis.”

Bagi peneliti dari Marapi Advisory & Consulting Bidang Keamanan dan Pertahanan Beni Sukadis, pembelian Eurofighter Typhoon kurang tepat. Anggaran perawatan pesawat ini cukup boros mengingat statusnya yang bekas. Pun dengan anggaran operasional. Setiap tahun Austria setidaknya mengalokasikan 100 juta euro (Rp1,7 trilun) atau 80.000 euro per jam (Rp1,3 miliar, kurs Rp17.373/1 euro) untuk itu.

“Disesuaikan dengan keadaan geografis RI, juga ancaman yang ada. Jangan terlalu boros untuk hal yang mungkin kurang bermanfaat di masa depan,” ujar Beni kepada reporter Tirto, Kamis (22/10/2020).

Selain itu, menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, rencana belanja alat tempur bekas bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2015 lalu. Tahun lalu Jokowi juga bilang jangan sampai membeli alutsista dengan “teknologi yang sudah usang, sudah ketinggalan dan tidak sesuai dengan corak peperangan di masa yang akan datang.”

“Tidak mungkin Prabowo beli tanpa restu Presiden. Kalau sebelumnya tidak boleh, sekarang boleh, ya, jelaskan alasan dan manfaatnya,” ujar Fahmi kepada reporter Tirto, Kamis.

Selain menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam pengadaan alat tempur, belanja barang bekas juga akan berpotensi membahayakan keselamatan pilot. “Jadi berbahaya kalau tidak mampu merawat. Bisa mengancam pilot dan masyarakat, misal mengalami insiden,” ujarnya.

Kritik juga datang dari anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Demokrat Willy Aditya. Ia menyinggung perkara pembelian Austria yang sempat memicu masalah dengan pabrikan pemimpin konsorsium produsen, Airbus.

Austria mengklaim pembelian 15 jet tempur pada 2003 lalu sekitar 2 miliar euro menimbulkan kerugian negara sekitar 1,1 miliar. The Austrian Press Agency melaporkan berdasarkan penyelidikan, Airbus salah menaikkan harga selama transaksi. Muncul pula dugaan bahwa politikus dan pihak lain yang terlibat menerima suap. Semua ini dibantah Airbus.

Masalah ini belum selesai sampai sekarang.

“Pembelian Typhoon dari Austria dengan model G to G (pemerintah-pemerintah) akan menambah risiko potensi negara digugat oleh korporasi,” ujar Willy kepada reporter Tirto, Kamis.

Willy bilang “ketimbang membeli Typhoon bekas,” lebih baik Indonesia menjalin kerja sama pengembangan teknologi komunikasi pertahanan. “Ada banyak inovasi Austria yang bisa kita adopsi guna pengembangan industri pertahanan. Hal ini yang sebaiknya dilakukan Pak Prabowo sebagai jenderal cerdas,” katanya.

Alasan Politis

Pengajar di program hubungan internasional Universitas Pelita Harapan (UPH) Yosef Djakababa menilai rencana Prabowo membeli alutsista bekas milik Austria bermuatan politis. Ia menduga ada “tekanan dari negara-negara besar.”

Mundur ke belakang, sebelum Prabowo bertandang ke Wina, ia melakukan lawatan kontroversial: mendatangi Amerika Serikat setelah 20 tahun dicekal--dampak pelanggaran HAM masa lalu. Menhan AS Mark Esper yang mengundangnya langsung pada 15-19 Oktober 2020.

Mengutip Reuters, selain membicarakan kerja sama di bidang pertahanan, AS juga diduga menekan Prabowo untuk membatalkan rencana pembelian pesawat tempur dari Rusia. Pada Februari lalu ramai diberitakan rencana Prabowo membeli 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia dengan nominal 1,14 miliar dolar AS. Ini tampak serius karena Prabowo bahkan harus mengunjungi negara itu dua kali.

“Amerika memiliki aturan CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) yang akan memberikan sanksi terhadap negara yang membeli alutsista Rusia. Indonesia terancam aturan tersebut,” ujar Yosef kepada reporter Tirto, Kamis. Selain Rusia, rival Amerika lain yang dimaksud adalah Cina, Korea Utara, dan Iran.

Menurut Yosef, Indonesia bisa mengajukan klausul pengecualian (waiver) kepada AS agar terhindar dari sanksi CAATSA. Atau opsi lain, Indonesia tidak mesti membeli alutsista bekas dari Austria, karena “produsen pesawat lain seperti Dassault di Perancis, jet Rafalel, juga sudah menawarkan produknya ke Indonesia.”

Dengan begitu, Indonesia bisa menunjukkan sikap tidak bergantung pada satu negara besar produsen alat tempur sekaligus menegakkan semangat politik luar negeri yang bebas dan aktif.

“Indonesia harus memutuskan keperluan dan kemampuan pertahanan seperti apa yang ingin dimiliki sehingga independensi dalam menentukan alutsista tidak ditentukan semata-mata dari faktor politik,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait ALUTSISTA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi & Riyan Setiawan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Alfian Putra Abdi & Riyan Setiawan
Penulis: Alfian Putra Abdi & Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino