tirto.id - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berkirim surat ke Menteri Pertahanan Austria Klaudia Tanner pada 10 Juli 2020, menyatakan keinginan untuk membeli 15 pesawat Eurofighter Typhoon milik negara tersebut--barang bekas.
"Untuk memodernisasi Angkatan Udara Indonesia," tulis Prabowo, "saya ingin mengadakan negosiasi resmi dengan Anda untuk membeli semua Eurofighter."
Kementerian Pertahanan (Kemhan) belum merespons kebenaran surat tersebut hingga naskah ini ditayangkan. Namun media lokal Die Presse menyatakan Klaudia, Menteri Pertahanan perempuan pertama Austria, disebut tengah "memeriksa apakah surat dari Jakarta itu serius". Sementara Partai Hijau "melihat tawaran itu sebagai peluang". Pun pihak-pihak lain tidak menyatakan keberatan.
Eurofighter Typhoon adalah pesawat tempur yang dibuat oleh konsorsium beberapa negara Eropa pada 1983, dan pertama kali diperkenalkan pada 2003. Eurofighter kini dipakai oleh tujuh negara, menurut situs resmi, termasuk Arab Saudi dan Oman. Jika jadi, maka Indonesia akan jadi negara kedelapan.
Ini bukan kali pertama Prabowo bicara soal modernisasi alutsista sejak pertama kali menjabat.
Pada Februari lalu ramai diberitakan rencana Prabowo membeli 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia dengan nominal 1,14 miliar dolar AS. Ini tampak serius karena Prabowo bahkan harus mengunjungi Rusia dua kali. Namun, perlu dicatat, Prabowo hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan Menteri Pertahanan sebelumnya, Ryamizard Ryacudu. Kontrak pembelian telah diteken Februari 2018.
Sayangnya, rencana ini batal karena Amerika mengancam akan memberikan Indonesia sanksi berdasarkan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA)--peraturan yang dibuat untuk mencegah pemerintah atau entitas tertentu memperoleh senjata dari musuh Amerika seperti Iran, Korea Utara, dan Rusia. Defense News, didirikan pada 1968, mengklaim sebagai "sumber berita yang otoritatif, independen, dan profesional bagi pembuat kebijakan pertahanan" menyebut rencana pembelian Eurofighter tak terpisahkan dari ancaman ini.
Sebulan sebelumnya, Januari lalu, media Perancis La Tribunemelaporkan berdasarkan keterangan sumber internal, Prabowo berminat membeli 48 jet tempur Rafale, empat kalap selam Scorpene, dan dua kapal perang Gowind. Mereka menyebut rencana ini dalam rangka "mempersenjatai diri untuk melawan ancaman Cina."
Kemudian, pada Juli lalu, menurut laman Defense Security Cooperation Agency, bagian dari Departemen Pertahanan Amerika, disebutkan bahwa pemerintah Indonesia berminat membeli delapan helikopter MV-22 Block C Osprey, 24 mesin Rolls Royce, 20 radar infra merah, 20 sistem peringatan misil, dan berbagai alutsista lain. Departemen Luar Negeri AS menyetujuinya.
Selain alutsista yang telah disebutkan, pemerintah Indonesia juga masih terikat kontrak dengan Korea Selatan soal pembuatan pesawat tempur Korean Fighter (KF)-X/Indonesian Fighter (IF)-X.
Hingga saat ini, proyek bersama Korea Selatan itu masih belum jelas dilanjutkan atau tidak, juga dengan rencana-rencana lain.
Tidak Tepat
Peneliti senior Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis di satu sisi memahami keinginan Prabowo memperkuat pertahanan Indonesia. Tapi di sisi lain, menurutnya, rencana-rencana pembelian tak ada yang tepat sasaran. Rencana-rencana ini, menurutnya, tidak berdasarkan evaluasi terhadap Minimum Essential Forces (MEF) Indonesia.
"Seharusnya Menhan melakukan review terhadap MEF secara tuntas. Kemudian prioritaskan yang paling dibutuhkan," Kata Beni kepada reporter Tirto, (21/7/2020) Selasa.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi lantas memberi contoh rencana pembelian yang tidak tepat: Eurofighter bekas. Menurutnya, status bekas pakai membuat Indonesia harus menggelontorkan kembali uang untuk perbaikan-perbaikan. Selain itu, pembelian Eurofighter juga sudah pernah dijajaki dan gagal pada 2015 lalu. Ia khawatir upaya kali ini akan menimbulkan konflik saat pengadaan.
"Yang kami khawatirkan belanja-belanja yang diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan taktis, bukan pertimbangan-pertimbangan sangat strategis," kata Fahmi kepada reporter Tirto.
Ia menduga gembar-gembor pembelian alutsista ini "cenderung dibesar-besarkan walaupun belum riil, nota keuangan belum ada" karena Prabowo 'terbawa arus' isu pembelian alutsista yang memang selalu berulang.
Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri berpendapat serupa. Alih-alih beli bekas, katanya kepada reporter Tirto, "mending beli yang baru". "Ada jaminan mutu daripada membeli bekas, nanti akan membebani biaya perawatan. Apalagi dalam sejumlah kasus alutsista bekas juga berpotensi kecelakaan." Gufron menyimpulkan Prabowo sudah mengulangi kesalahan para pendahulunya.
Selain itu, ia juga menegaskan, "sejauh ini belum melihat kemajuan yang dihasilkan dari perjalanan ke sana ke sini. Pencapaian konkret enggak ada."
Tidak adanya pencapaian konkret yang dimaksud Gufron dapat dipahami karena Presiden Joko Widodo menegaskan yang perlu diprioritaskan adalah belanja dalam negeri. Hal ini ia sampaikan Rabu 8 Juli lalu. "Agar apa? Ekonomi kena trigger, bisa memacu pertumbuhan kita," katanya.
Kemhan lantas merealisasikan visi itu dengan membeli alutsista buatan PT Pindad, Maung, sebanyak 500 unit. "Presiden garisnya industri dalam negeri harus dibangkitkan," kata Prabowo di DPR beberapa waktu lalu. Sementara terkait pembelian alutsista luar neger, dia masih belum bicara.
Selain memenuhi keinginan Jokowi, dari sisi anggaran, rencana-rencana ini juga sulit direalisasikan dalam waktu dekat. Lebih dari setengah anggaran Kemhan yang jumlahnya Rp117 triliun dipakai untuk belanja prajurit dan ASN Kemhan-TNI. 20 persen untuk operasional, termasuk perawatan alutsista.
Sisanya, yang kurang dari 25 persen itu, baru dipakai untuk belanja alutsista. Detailnya, berdasarkan dokumen Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2020, belanja alutsista Angkatan Darat sebesar Rp5,06 triliun, Angkatan Laut Rp2,7 triliun, dan Angkatan Udara Rp2,19 triliun.
Itu pun, sekali lagi, diprioritaskan dari industri dalam negeri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino