tirto.id - Pemerintah dinilai masih belum serius dalam menyelesaikan konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Selain mengakibatkan masyarakat kehilangan hak atas tanah dan perkebunannya, konflik ini bahkan sempat membuat 8 orang mengalami kriminalisasi.
“Tanpa sosialisasi, PT Sandabi Indah Lestari (SIL) telah beroperasi di kampung kami. Dan yang paling mengejutkan adalah secara tiba-tiba mengklaim lahan masyarakat sebagai lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik mereka,” kata Ketua Forum Petani Bersatu Seluma, Osian Pakpahan melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (11/12/2017).
Pada 2011 lalu, Osian menyatakan perusahaan perkebunan kelapa sawit itu telah melakukan penggusuran lahan masyarakat dengan melibatkan aparat negara.
Buntutnya, ekskalasi konflik antara Masyarakat Desa Tumbuan, Lunjuk, Pagar Agung, Talang Prapat (Kecamatan Lubuk Sandi dan Kecamatan Seluma Barat), Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dengan PT. SIL semakin memanas di tahun 2017.
Terkait konflik itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan sudah saatnya negara hadir melindungi masyarakat dan memulihkan haknya yang terancam oleh investasi perkebunan kelapa sawit.
“Sudah saatnya negara hadir menyelesaikan konflik yang ada di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Peluang penyelesaian konflik ini bisa ditempuh dengan Program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang disebutkan negara sebagai salah satu program prioritas untuk memulihkan hak masyarakat,” kata anggota Walhi Nasional, Sawung.
Sementara pengkampanye Walhi Bengkulu, Meike Inda Erlina menyatakan pilihan penyelesaian konflik dengan skema TORA merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan negara.
“Pemulihan hak masyarakat melalui skema TORA menjadi penting dalam penyelesaian konflik ini, terlebih dalam proses penerbitan izin ditemukan banyak kejanggalan karena ada indikasi praktik korupsi melalui penerbitan HGU. Selain itu, ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak PT SIL melalui praktik kriminalisasi dan perampasan hak-hak masyarakat,” ujar Mieke.
Di sisi lain, Program Officer TuK Indonesia, Vera Falinda menyatakan, selain perusahaan dan pemerintah, lembaga keuangan merupakan pendorong besar dibalik konflik yang terjadi.
“Lembaga pembiayaan tidak bisa menutup mata atas keterlibatan konflik malapetaka akibat pembiayaan yang tidak accountable atas perusahaan yang mereka berikan jasa keuangannya,” kata Vera.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto