tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen atau AJI menolak RUU Penyiaran utamanya Pasal 50 B Ayat (2) butir c. Pasal ini mengatur larangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Menurut AJI, beleid itu membungkam pers.
Ketua Umum AJI, Nani Afrida, mengatakan jurnalisme investigasi merupakan produk jurnalistik dengan kasta tertinggi. Pembuatan produk jurnalistik ini juga tidak gampang serta membutuhkan waktu lama. Karena itu, ia menilai pasal itu membungkam kebebasan pers.
"Pembungkaman pers. Itu udah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi investigasi dilarang," kata Nani terheran-heran saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).
Jurnalis perempuan asal Aceh ini mengatakan, pembuatan karya jurnalisme investigasi tidak dilakukan sembarangan. Ia menyebut banyak masyarakat menunggu produk investigasi tersebut.
"Masyarakat menunggu, dia berhak tahu informasi melalui jurnalisme investigasi. Itu enggak sembarangan orang bisa," tutur Nani.
Sejak awal, kata dia, AJI telah menolak dan mempermasalahkan pasal itu. AJI memandang pasal itu harus dihapus, sebab tidak ada dasar bagi DPR untuk membungkam kebebasan pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya.
"Kita anggap enggak ada dasarnya, kemarin ada pernyataan anggota dewan mengganggu penyelidikan aparat keamanan, enggak ada hubungannya," tegas Nani.
Menurut Nani, aparat penegak hukum bekerja dengan cara sendiri, pun dengan wartawan yang bekerja dengan memegang teguh dan patuh pada UU Pers. Ia mengatakan kenyataan selama ini, kerja-kerja wartawan membantu kerja penyidikan aparat penegak hukum.
"Jangan sampai terjadi, kita akan mendebat pasal itu. Penting jurnalisme investigasi. AJI melihat pasal ini jangan ada, itu mengganggu banget," tutup Nani.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang