tirto.id - Mencari Kenya di lini masa mesin pencari atau media sosial, dapat dipastikan Anda akan terarah ke berita tragis baik dari sisi kemanusiaan, ekonomi hingga politik. Negara Afrika bekas koloni Kerajaan Inggris tersebut, kini sedang mengalami pelbagai protes dan aksi massa dari masyarakat sipil hingga menewaskan 16 orang di antaranya.
Mengutip Amnesti Internasional, tercatat setidaknya 400 orang terluka dan 83 orang dalam kondisi kritis yang dirawat di rumah sakit. Para pengunjuk rasa memprotes kebijakan terhadap Presiden Kenya, William Ruto, yang dilantik sejak 2022 yang dinilai gagal dalam membangun ekonomi dan membiarkan korupsi merajalela di negara tersebut.
African Development Bank Group memaparkan dana yang melayang akibat kasus korupsi di Kenya mencapai 1,5 miliar dollar Amerika Serikat (AS) per tahunnya. Dana tersebut merupakan APBN Kenya yang seharusnya dialokasikan untuk membiayai kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.
Dari data Bloomberg, kasus korupsi di Kenya tidak hanya merenggut duit warga namun juga membuat para oligarki di negara miskin tersebut semakin kaya. Selain itu, supremasi hukum kian hilang hingga kaburnya para investor dan mobilitas modal dari Kenya. Pada tahun 2024, dengan kasus korupsi yang melejit, membuat Kenya setara dengan sejumlah negara miskin lainnya seperti Sri Lanka, Angola, Ekuador, dan Uzbekistan.
Selain itu Bank Dunia, pada 27 Mei 2025, memberikan keterangan pers yang menyebut Kenya dalam ancaman gagal bayar utang. Kini Kenya berupaya menambah pemasukan, salah satunya lewat meningkatkan pajak.
Namun, upaya peningkatan pajak rakyat bukan berdampak positif. Hal itu malah semakin membuat sentimen negatif terhadap kinerja pemerintah Kenya. Akibatnya bisnis dan industri di Kenya semakin lesu, penambahan angka pengangguran hingga merosotnya APBN tak terhindarkan untuk memacu belanja pembangunan.
Eskalasi kondisi ekonomi yang semakin anjlok tidak hanya membuat rakyat melawan rezim yang sedang berkuasa. Antarwarga juga terlibat dalam aksi kejahatan. Saling serang, terutama konflik antara ‘si kaya’ dengan ‘si miskin’ yang terlihat dari banyaknya penjarahan di toko-toko hingga sejumlah perbankan baik milik negara maupun swasta.
Berkaca dari Kenya, Indonesia Perlu Mencegah Agar Tak Masuk Krisis Ekonomi
Di tengah kondisi ekonomi yang kian tak pasti, imbas krisis geopolitik dari konflik Iran-Israel dan perang Rusia-Ukraina, Indonesia masih berada dalam kondisi aman. Sebenarnya kondisi di Tanah Air juga diprediksi tidak akan mengalami krisis ekonomi seperti Kenya.
Co-Founder & Advisor, Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa produk domestik bruto (GDP) Indonesia masih dalam taraf aman yaitu Rp23 ribu triliun. Wijayanto menjelaskan, dengan utang pemerintah sebesar Rp10.269 triliun, rasio utang terhadap GDP Indonesia sekitar 44,6 persen.
Meski masih cenderung aman, dan tidak akan terpuruk seperti Kenya, namun kondisi itu masih patut mendapat perhatian.
"Salah satu yang menyebabkan tingkat utang melejit, adalah Pemerintah melakukan front loading utang sebesar Rp250 triliun, kendatipun tanpa front loading, rasio utang sebesar 43,5 persen tetap tinggi," kata Wijayanto saat dihubungi Tirto, Rabu (2/7/2025).
Walaupun masih aman dan terjaga, kondisi APBN tersebut membuat impian untuk ekonomi tumbuh 5 persen pada tahun 2025 akan sulit untuk diwujudkan. Bahkan, Wijayanto memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh dibawah proyeksi World Bank, IMF dan OECD, 4,7 persen.
"Defisit APBN masih tetap terjaga, karena realisasi belanja yang juga jauh dari target. Tetapi ini berdampak bagi lemahnya peran APBN dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Wijayanto menilai kondisi seperti Kenya tidak akan menular. Meski, permasalahan laten juga menjangkiti sistem birokrasi di Indonesia; seperti korupsi yang tinggi, utang melejit, penerimaan negara kian melemah, dan dominasi pemasukan dari sektor informal.
"Kendatipun dalam level yang berbeda, apa yang menjadi sebab permasalahan di Kenya juga ada di Indonesia," kata Wijayanto.
Dia berharap pemerintah memulai menjaga stabilitas ekonomi dan sosial dengan serius untuk memberantas korupsi. Menurutnya, korupsi harus ditindak tanpa tedeng aling-aling.
"Pemerintah kita harus serius memberantas korupsi, tidak boleh pilih kasih; pisau harus tajam ke bawah, ke atas dan ke kanan-kiri," kata dia.
Pemerintah, menurut dia, juga harus meningkatkan penerimaan negara. Cara-cara seperti perluasan sumber pajak, perbaikan tata kelola birokrasi, dan mulai mengurangi utang non-produktif dinilai paling efektif.
"Budaya utang harus dihentikan, utang hanya dilakukan untuk membiayai program yang produktif dan sebagai pilihan terakhir," kata dia.
Dia juga menyoroti tenaga kerja sektor informal. Wijayanto mengingatkan bahwa posisi Indonesia saat ini sudah di angka 70 persen, tidak berbeda jauh dari Kenya yang 80 persen.
"Iklim usaha diperbaiki, premanisme dihilangkan dan regulasi disederhanakan untuk mendorong pertumbuhan sektor formal," kata dia.
Transisi Energi dan Pemberantasan Korupsi Jadi Penting untuk Indonesia
Sementara Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa Indonesia memiliki kesamaan dengan Kenya. Kesamaan ini dalam hal keengganan untuk beralih dari komoditas ekstraktif seperti batu bara, ke energi yang lebih ramah lingkungan. Menurutnya, hal itu yang ikut membuat ekonomi Kenya kian merosot karena ketergantungan mereka kepada sektor tambang yang tak ramah lingkungan.
Bhima menjelaskan Indonesia banyak membuat utang dengan asing karena menggantungkan pembayarannya dari komoditas ekspor sawit, batu bara, hingga nikel yang tak ramah lingkungan. Padahal, menurutnya produk tersebut kian tak diminati oleh pasaran internasional. Akibatnya, kemampuan Indonesia untuk membayar utang asing semakin merosot dan ancaman gagal bayar di depan mata.
Sebagai bentuk solusi, Bhima menawarkan Pemerintah Indonesia untuk menyuntik mati pembangkit listrik tenaga batu bara yang dinilai tak ramah lingkungan. Nantinya, pemerintah dapat menggantinya dengan pembangkit listrik lain yang lebih ramah lingkungan.

Produk transisi energi tersebut, kata Bhima, dapat menjadi jaminan utang dengan konservasi alam. Jaminan utang dengan imbalan komitmen perlindungan terhadap lingkungan banyak diminati oleh debitur dari negara maju. Bhima meyakini hal itu akan membantu fiskal Indonesia.
"Jadi kita kasih beberapa opsi, mau gak beban utang pemerintah itu berkurang. Sementara pemerintah bisa menjalankan program-program transisi energinya dengan gampang. Salah satunya adalah debt for coal retirement swap atau debt for nature swap, itu bisa dilakukan," kata Bhima, Rabu (2/7/2025).
Masalah lain yang ada di Kenya dan masih subur di Indonesia adalah korupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia korupsi masih menjadi pemborosan anggaran yang akut namun tidak mendapat atensi secara maksimal dalam proses penanganannya.
Yassar mencontohkan dari data hasil pantauan ICW sejak 2013-2023 telah ada sedikitnya 10.998 perkara tindak pidana korupsi yang sudah diputus oleh pengadilan dengan total setidaknya 12.046 terdakwa. Adapun total kerugian negara akibat korupsi yang sudah diputus telah menyentuh angka sekitar Rp293 triliun dengan total nilai penjatuhan pidana tambahan uang pengganti sebanyak Rp38,2 triliun.
Dia mendorong, agar Indonesia selamat dari pemborosan di sektor korupsi, pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan beberapa produk konstitusi salah satunya adalah RUU Perampasan Aset. Yassar menilai aktifnya penegak hukum dalam menangkap pelaku korupsi masih belum diimbangi dengan pengembalian hasil uang hasil rasuah.
"Dapat terlihat, hasil uang yang hilang akibat korupsi tidak pernah berhasil untuk dikembalikan secara maksimal ke kas negara melalui mekanisme pidana tambahan berbentuk uang pengganti," terangnya kepada Tirto, Rabu (2/7/2025).
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































