tirto.id - Beberapa hari setelah diluncurkan pada 7 Februari 2025, Aquita segera mencoba program baru Kementerian Kesehatan yakni Cek Kesehatan Gratis. Program ini, katanya, demi mencegah dan menangani risiko penyakit penyebab kematian terbesar di setiap siklus hidup.
Saat peresmian program, Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes Maria Endang Sumiwi menyatakan bahwa program ini dibagi ke dalam tiga jenis. Pertama cek kesehatan ulang tahun yang diberikan pada saat warga berulang tahun atau dalam kurun waktu 30 hari setelahnya. Lalu cek kesehatan saat sekolah bagi siswa berusia 7-17 tahun, dan terakhir cek kesehatan bagi ibu hamil dan balita.
Aquita memutuskan untuk mencoba jenis yang pertama yakni program CKG kado ulang tahun. Ia pun mendaftar melalui Whatsapp Chatbot Kemenkes di 081110500567 untuk mendapatkan nomor antrian dan lokasi pemeriksaan.
Sesampainya di salah satu puskesmas di daerah Jakarta Timur, Aquita diarahkan ke ruang perawat untuk cek berat dan tinggi badan serta tensi darah. Setelah itu, ia lanjut menjalani pemeriksaan gula darah sebelum kemudian ditanya riwaya penyakit oleh dokter jaga saat itu.
“Gak ada perlu pemeriksaan lanjut, aku langsung diminta ke dokter gigi,” ucap Aquita saat diwawancarai tirto.id pekan lalu. Selanjutnya dokter mengambil sampel darah Aquita untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
Aquita sempat bertanya-tanya apakah ia akan menjalani pemeriksaan kolesterol, asam urat, atau uji kebugaran dengan mesin treadmill. “Ternyata enggak. Paling dibilang radang tenggorokan,” tutur Aquita.
Setelah menunggu selama satu jam, Aquita diberi obat batuk secara gratis dan disampaikan bahwa hasil pemeriksaan akan disampaikan melalui aplikasi SATUSEHAT.
Di laman resminya di ayosehat.kemkes.go.id, Kemenkes menulis bahwa Cek Kesehatan Gratis untuk orang dewasa meliputi tekanan darah, kadar kolesterol, gula darah, pemantauan risiko kardiovaskular (masalah terkait jantung dan pembuluh darah), fungsi paru untuk mendeteksi tuberkulosis dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronis), serta deteksi dini kanker payudara, kanker leher rahim, kanker paru, dan kanker usus.
Setelah lima bulan berjalan, program ini telah menjangkau 8,6 juta warga dari 9.552 puskesmas di 38 provinsi. Berdasarkan data Kemenkes hingga 11 Juni 2025, 62,24 persen warga atau sekitar 5,3 juta yang mengakses program ini adalah perempuan. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam "Konferensi Pers: Capaian dan Temuan Cek Kesehatan Gratis" yang disiarkan juga melalui akun YouTube Kemenkes.
Melalui program ini juga Kemenkes kemudian memetakan kondisi kesehatan warga. Berdasarkan data yang masuk, dinyatakan bahwa 69,2 persen peserta CKG memiliki masalah gigi dan mulut. Lalu 5,9 persen peserta mengalami diabetes, 20,9 persen peserta memiliki masalah hipertensi, dan 50 persen peserta perempuan didiagnosis obesitas.
Setelah Cek Kesehatan Gratis, Lalu?
Ketua Dewan Pengawas Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, Mahesa Pranadipa, menilai bahwa kebijakan CKG merupakan langkah progresif yang patut diapresiasi. Pelaksanaan program ini sejalan dengan amanat UUD 1945 dan UU Kesehatan No. 17 tahun 2023 yang menempatkan deteksi dini sebagai bagian dari hak dasar warga negara.
“Jika negara ingin menjadikan MCU sebagai (program) sistemik, maka perlu ada standardisasi instrumen, pembiayaan, dan integrasi data kesehatan yang tidak hanya berpusat di kota besar,” ucap dia.
Sebab program CKG ini dapat menjangkau kelompok miskin dan informal yang selama ini luput dari layanan preventif. Oleh karena itu, standardisasi instrumen pengecekan penting diberlakukan demi mencegah potensi overdiagnosis hingga tindak lanjut pasca-skrining.
Volume data peserta CKG yang tinggi ini harus dapat terintegrasi dengan data kesehatan hingga kebutuhan informasi pasien dalam sistem rujukan.
Selain perbaikan sistem rujukan dan tindak lanjut pasca-skrining, Mahesa melihat adanyan potensi tumpang tindih anggaran CKG dengan anggaran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Maka, diperlukan evaluasi berjenjang dan berkala agar program CKG menjadi investasi jangka panjang untuk menjamin kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.
Senada dengan Mahesa, Dian Saminarsih selaku CEO dan pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) juga mengapresiasi program CKG sebagai upaya promotif dan preventi kesehatan. Sebab, program ini mampu mendorong terbentuknya permintaan (demand) terhadap skrining kesehatan di tengah masyarakat yang cenderung masih abai terhadap pemeriksaan kesehatan.
Menurut catatan Kemenkes, hanya 39 persen masyarakat yang pernah melakukan skrining penyakit tidak menular melalui cek kesehatan. Sebagian besar masyarakat, masih merasa pemeriksaan kesehatan belum diperlukan, baik karena masalah kesadaran akan pentingnya skrining kesehatan maupun persoalan biaya.
Dian memberi catatan bahwa untuk memperluas cakupan CKG, pemerintah perlu memastikan adanya layanan lanjutan (rujukan) yang lebih responsif setelah pemeriksaan kesehatan dilakukan.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah kesiapan logistik tenaga kesehatan yang juga harus dipersiapkan untuk mengantisipasi lonjakan masyarakat yang melakukan skrining kesehatan.Dalam hal ini pemerintah perlu mengoptimalkan jaringan fasilitas kesehatan yang ada, meliputi lebih dari 10.000 puskesmas, 70.000 puskesmas pembantu, dan 300.000 posyandu di Indonesia.
Jangkauan Wilayah Hingga Misinformasi Program
Kemenkes menyebut program CKG telah menjangkau lebih dari 8,6 juta di 38 provinsi. Namun, 60 persen peserta CKG masih didominasi di Pulau Jawa. Sementara cakupan paling rendah dijumpai di Papua Barat, Papua Tengah, serta Papua Pegunungan.
Selain persoalan jangkauan wilayah, masih terdapat misinformasi terkait program CKG ini. Masyarakat masih melihat cek kesehatan gratis seperti medical check up yang bisa memeriksa banyak penyakit. Masyarakat juga masih belum familiar dengan aplikasi SATUSEHAT.
Hal tersebut menjadi tantangan untuk mendorong warga melakukan CKG dan memahami pemeriksaan dasar apa saja yang bisa dilakukan dalam program ini. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor dan dukungan dari kepala daerah menjadi salah satu motor yang perlu dimaksimalkan untuk memperluas cakupan program ini.
Selain itu, regulasi program juga perlu dibenahi. Aturan cek kesehatan gratis yang dilakukan sebagai “kado” yang diberikan di hari ulang tahun atau 30 hari setelahnya tidak memberi keleluasaan warga untuk memeriksakan dirinya. Pada praktiknya aturan tersebut tak diimplementasikan sebab pemeriksaan bisa dilakukan selama peserta telah mendaftar program.
Selain ketimpangan akses layanan kesehatan antar wilayah, disparitas peserta CKG yang didominasi oleh perempuan juga perlu diperbaiki.
Mahesa melihat perempuan lebih responsif terhadap layanan kesehatan karena faktor biologis, peran dalam keluarga, dan akses historis mereka dalam mengakses posyandu, KB, atau imunisasi anak. Disparitas ini menunjukan bahwa laki-laki cenderung tertinggal dalam akses preventif.
“Edukasi MCU bagi pria, khususnya usia produktif harus dikuatkan lewat pendekatan komunitas, kerja sama dengan sektor industri, dan jam layanan yang fleksibel,” ucap Mahesa.
Penulis: Faisal Bachri
Editor: Rina Nurjanah