tirto.id - Jelang mulai kembali proses belajar-mengajar di perguruan tinggi, muncul polemik perebutan mahasiswa antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
PTN, utamanya PTN yang berbadan hukum (PTN-BH) dituntut "mencari uang", yang berakibat mengerek daya tampung secara agresif. Di sisi lain, sejumlah PTS jadi sepi peminat.
Tren ketimpangan mahasiswa ini disorot Komisi X DPR RI dalam rapat kerja pihaknya bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Anggota Komisi X DPR RI Lita Machfud Arifin, di kesempatan itu menyampaikan laporan beberapa kampus swasta di Surabaya yang kekurangan mahasiswa. Padahal PTS itu terakreditasi unggul. Hal itu disebut terjadi lantaran adanya PTN setempat yang menerima lebih dari 30 ribu mahasiswa baru dalam satu tahun ajaran.
Lita mengusulkan agar Kemdiktisaintek membuat kebijakan batas penerimaan mahasiswa baru, khususnya PTN-BH, demi memastikan keseimbangan antara dosen dan mahasiswa.
"Kebijakan ini penting untuk memastikan rasio dosen dan mahasiswa tetap ideal, serta memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana kampus yang memadai, demi menjaga kualitas pembelajaran," ujarnya.
(lompat ke menit-41 untuk mendengar pernyataan penuh soal masalah kekurangan mahasiswa PTS)Merespons itu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto, menegaskan pihaknya telah mengingatkan PTN untuk tidak boleh melakukan rekrutmen penerimaan mahasiswa baru lebih dari bulan Juli.
“Jadi memang berapa rekrutmen mahasiswa baru, itu kami minta untuk tidak dilakukan penambahan oleh PTN. Jadi sesuai dengan kuota sebelumnya, termasuk dengan waktunya kita batasi sampai dengan bulan Juli. Kita sudah mengeluarkan dua kali surat edaran agar (perguruan tinggi) negeri tidak membuka setelah bulan Juli," tegasnya di kesempatan yang sama.
Pembatasan ini diberlakukan setelah terungkap kalau beberapa PTN menerima mahasiswa dalam jumlah besar di luar kuota resmi, khususnya pada tahun ajaran 2023/2024.
"Memang setelah itu dilakukan evaluasi dan ditegur, dan memang diminta untuk mengurangi jumlahnya, jadi kembali ke sebelumnya," ujar Mendiktisaintek Brian.
Masalah Tata Kelola Pendidikan
Persoalan PTN yang berlomba menggaet mahasiswa sebenarnya tidak sederhana. Menurut Kepala Bidang Litbang Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, masalah itu berakar dari tata kelola pendidikan, spesifiknya aturan PTN-BH.
Hal ini disinggung dalam Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 65 beleid tersebut menjelaskan kalau hak PTN-BH, salah satunya adalah mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel.
Feriyansyah bilang, itu artinya PTN-BH secara mandiri mengelola keuangannya dan mencari sendiri sumber-sumber pemasukan yang akan dipakai untuk Tri Dharma perguruan tinggi, pembangunan gedung, dan lain sebagainya.
Apalagi, seiring bertambah tahun UKT semakin bertambah pula nilainya dan berujung menghadapi perkara sulitnya akses oleh anak-anak dari kelompok rentan. Tata kelola anggaran pendidikan tinggi yang masih sengkarut ini pada akhirnya menjadi salah satu faktor membengkaknya biaya pendidikan, menyebabkan perguruan tinggi makin komersial, dan tak terjamah.
Pembatasan Harus Dibarengi Pengawasan
Penting digarisbawahi, kondisi PTN yang mengejar kuantitas mahasiswa, maka secara logika tentu saja kualitas akan dikorbankan. Tak cuman itu, dosen pun jadi menanggung beban yang tak proporsional. Kecenderungannya mereka akan terlalu fokus pada pengajaran. Padahal ada dua dua fungsi lain dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni penelitian dan pengabdian masyarakat.
“Kalau mau mencari tenaga pengajar, jadinya kampus kita akan terjebak sebagai teaching university, nggak research university. (Padahal) yang selama ini kampus-kampus luar (negeri) itu adalah research university. Nah, ini yang menjadi problematik. Itu kenapa kampus-kampus besar kemarin dapet rapor merah (soal publikasi),” ujar Feriyansyah.
Pernyataan itu merujuk ke laporan Research Integrity Index (RI²) yang disusun oleh peneliti dari American University of Beirut, Lokman Meho. Dalam laporan yang belum lama ini rilis, terdapat 13 nama kampus mentereng di Indonesia yang masuk dalam daftar perguruan tinggi dengan integritas penelitian “dipertanyakan”. Artinya, tak cuman dosen jadi tereksploitasi, tapi mutu akademik kampus juga jadi dipertanyakan.
Sementara itu Pengamat Pendidikan, Totok Amin Soefijanto menyoroti implementasi pembatasan rekrut mahasiswa yang disebut Kemdiktisaintek. Pria yang juga Rektor Institut Media Digital EMTEK ini mengatakan penting untuk juga mendorong penguatan pengawasan terhadap implementasi pembatasan kuota dan waktu penjaringan bagi PTN.
“Pembatasan itu kan tergantung pengawasan. Kemudian kalau diawasi tergantung enforcement-nya, tergantung penindakannya bagaimana. Kalau dibatasi tapi tidak ada pengawasan, ya terserah PTN-nya kan jadinya makin panjang (pendaftarannya) sampai hampir tahun ajaran baru mau mulai, dia tetap menerima mahasiswa. Ya PTS-nya kan yang jadi korbannya, jadi akhirnya PTS susah sekali dapat mahasiswa,” kata Totok lewat sambungan telepon, Jumat (18/7/2025).
Ia juga menerangkan, rendahnya mahasiswa yang masuk PTS tidak hanya semata-mata karena PTN agresif menjaring mahasiswa. Di sisi lain, PTS kadangkala tak memperbaiki kualitasnya atau tak menyesuaikan kurikulumnya agar menjadi lebih kekinian.
“Kan banyak PTS sebenarnya yang tidak ada perbaikan yang dilakukan. Jadi bisa seperti itu, karena memang seperti lingkaran setan. Kalau mahasiswanya sedikit tidak bisa melakukan otonomi dalam keuangannya, kemudian juga akhirnya mengorbankan kualitas,” ujar Totok.
Menurutnya, kondisi PTS dengan jumlah yang lebih menyusut kini lebih baik. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 jumlah perguruan tinggi swasta di bawah Kemdiktisaintek mencapai 2.812 kampus, berbanding PTN berjumlah 125 kampus.
“Menurut saya sudah lebih baik daripada dulu masih sekitar 4 ribuan, mungkin sekarang sudah berkurang jadi 3 ribuan, sudah mulai ada merger, ada yang ditutup, ada yang diakuisisi. Itu menurut saya proses-proses penyehatan PTS yang sedang berjalan saat ini,” kata Totok.
PTN Bisa Cari “Pemasukan” Tak Hanya dari UKT
Mengingat persoalan PTN dan PTS yang sistemik, maka sebetulnya perlu adanya perbaikan tata kelola pendidikan. Paling tidak, Totok mendorong PTN untuk lebih banyak mencari pemasukan dari sumber-sumber lain. Mengandalkan penghasilan dari uang kuliah, disebut sebagai cara tradisional bagi perguruan tinggi.
“Yang besar-besar kan sebenarnya sudah –kayak ITB, UI– kan punya proyek-proyek yang cukup banyak, sehingga mereka bisa menjaga kualitasnya dengan menyaring mahasiswa yang lebih selektif,” tambahnya.
Sementara Feriyansyah dari P2G menekankan lingkup konteks pembatasan yang dilakukan pemerintah, yakni harus berpusat pada standar proses atau standar mutu. Dengan begitu, ada proses penjaminan mutu di setiap pendidikan tinggi.
“Jadi kalau standar mutunya itu ketika dia kelebihan mahasiswa, berarti kan ada masalah terhadap sistem penjaminan mutunya. Karena di sistem penjaminan mutu kan ada banyak standar. Standar SDM-nya, standar prosesnya, standar penganggaran dan sebagainya. Itu kan hal-hal yang harus dipertimbangkan,” katanya.

Jangan sampai kampus berdalih demi UKT atau demi pemasukan, tapi mengabaikan kualitas. Di situlah adanya proses integritas, dalam artian jika memang kekuatan suatu kampus sekian, maka sudah harus batasi.
Adapun lewat Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi diatur kuantitas dosen terkait proses pembelajaran. Pasl 31 menyebut, jumlah dosen tetap pada perguruan tinggi paling sedikit 60 persen dari jumlah seluruh dosen. Dari jumlah itu, dosen yang ditugaskan untuk menjalankan proses pembelajaran pada setiap program studi paling sedikit lima orang.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id

































