Menuju konten utama

Perguruan Tinggi Swasta Tak Selalu Nomor Dua

Tidak lulus SBMPTN atau seleksi mandiri perguruan tinggi negeri bukan akhir segalanya. 

Perguruan Tinggi Swasta Tak Selalu Nomor Dua
Arsip. Sejumlah peserta mengerjakan soal ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2017 di Universitas Negeri Jakarta, 16 Mei 2017. Antara Foto/hafidz mubarak

tirto.id - Hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2018 baru diumumkan. Tak sedikit peserta yang gagal menembus seleksi tersebut, salah satunya Puspa Murti Amudita. Lulusan salah satu SMA negeri di Bandung ini memilih jurusan-jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Ekonomi Pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ia tak menyerah. Seleksi Mandiri di beberapa kampus negeri akan ia ikuti, yaitu di UNS Surakarta (Psikologi) dan Universitas Brawijaya (Farmasi). Jika ikhtiar kedua itu gagal lagi, pilihan kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) akan diambil.

“Kalau swasta sih maunya masuk Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba). Dari kemarin-kemarin, kampus swasta itu yang [jurusan] Psikologi-nya lumayan [baik],” ujarnya.

Hal sama dialami oleh Abie Kanzy. Lulusan salah satu SMA negeri di Jakarta itu tak berhasil masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) dan IPB, dua kampus negeri yang ia pilih dalam SBMPTN 2018. Seperti Puspa Murti Amudita, ia juga akan mencoba ikut Seleksi Mandiri demi satu kursi di kampus negeri dambaannya. Bila Seleksi Mandiri gagal ditaklukkan, ia dihadapkan pada dua pilihan: ikut SBMPTN tahun depan atau masuk kampus swasta.

Baginya, masuk sekolah swasta sebenarnya bukanlah masalah, tapi orangtuanya berharap ia masuk kampus negeri. Maka, ia pun berjuang menembus PTN.

“Kalau swasta sih mau masuk Atma Jaya jurusan Kedokteran,” katanya.

Jika Puspa Murti Amudita dan Abie Kanzy baru gagal sekali, Irfan Nurfauzan malah sudah dua kali tak lolos seleksi PTN. Tahun 2017, ia gagal masuk ke UPI dan Unpad. Tahun ini, lulusan SMA Negeri 25 Bandung itu tak berhasil masuk ke Unpad dan Universitas Brawijaya.

Setahun belakangan, ia sebenarnya telah kuliah di UPI jurusan Pariwisata lewat jalur Seleksi Mandiri, tapi karena merasa tak cocok, ia akhirnya ikut lagi SBMPTN tahun 2018. Setelah gagal untuk yang kedua kalinya, ia hendak memilih pindah ke Unisba, kampus swasta di Bandung.

Selain keinginan mereka sendiri, keputusan ketiga lulusan SMA tersebut untuk mengikuti SBMPTN 2018 didorong oleh harapan orangtua. Selain pertimbangan biaya—secara umum biaya PTN lebih murah—anggapan bahwa lulusan PTN lebih berkualitas dan lebih cepat terserap lapangan kerja dibanding lulusan PTS, menjadi alasannya.

“Yang pertama faktor orangtua juga yang pasti inginnya masuk PTN, ya mungkin untuk ke depannya kalau lulusan negeri itu peluang kerjanya lebih banyak dilirik sama perusahaan,” ujar Irfan Nurfauzan.

Kampus swasta selama ini memang kerap dijadikan pilihan terakhir mayoritas calon mahasiswa di Indonesia. Faktor biaya dan bayangan masa depan yang lebih baik karena digembleng di lembaga pendidikan terbaik selalu menjadi pertimbangan utama.

Yoga misalnya. Alumni Universitas Komputer (Unikom) angkatan 2007 itu sebelumnya pernah mencoba masuk ITB, tapi gagal.

“Sebenarnya surat undangan dari Unikom sudah diterima sebelum ujian Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ya, akhirnya jadi buat cadangan aja,” ujarnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Fathonil Aziz, alumni Universitas Maranatha angkatan 2014. Setelah tahun sebelumnya gagal menembus Universitas Airlangga, tahun berikutnya ia memutuskan untuk kuliah di salah satu kampus swasta di Bandung tersebut.

“Aku lulus SMA tahun 2013, waktu itu ikut SBMPTN. Tapi tahun 2014 enggak ikut lagi dan langsung masuk Maranatha,” katanya.

Infografik Perguruan Tinggi Swasta

Pilihan Nomor 2, Kualitas Nomor 1

Jika menilik kualitas sejumlah PTS di Indonesia, kampus-kampus yang kerap menjadi pilihan kedua itu sebetulnya banyak mempunyai program studi berakreditasi A. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema “akreditasi” diartikan sebagai “Pengakuan terhadap lembaga pendidikan yang diberikan oleh badan yang berwenang setelah dinilai bahwa lembaga itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu."

Alur proses akreditasi setiap perguruan tinggi dan program studi harus melalui proses yang cukup panjang dan memakan waktu total 100 hari kerja.

Berdasarkan klasifikasi dan pemeringkatan perguruan tinggi Indonesia tahun 2015 yang dipublikasikan di laman ristekdikti.go.id (PDF), ada beberapa hal yang menjadi variabel dalam membuat ranking perguruan tinggi, yaitu kualitas SDM, kualitas manajemen, kualitas kegiatan mahasiswa, dan kualitas penelitian dan publikasi.

Meski PTS tidak ada yang masuk dalam kluster pertama dalam pemeringkatan perguruan tinggi tahun 2015, tapi akreditasi di sejumlah program studinya (strata 1) banyak yang meraih nilai A (paling tinggi).

Sebagai contoh, program studi arsitektur di sejumlah PTN mendapat nilai A. Misalnya di Universitas Parahyangan, Universitas Kristen Petra, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Bina Nusantara, dan Universitas Tarumanagara. Akreditasi diperbaharui setiap lima tahun sekali. Per 2018, semua akreditasi A yang diraih PTN-PTN tersebut masih berlaku dan baru akan habis di atas tahun 2020.

Meski umumnya kampus swasta dijadikan pilihan kedua setelah PTN, ada pula yang menjadikannya sebagai pilihan utama. Bahkan, ada pula yang sama sekali tak melirik ujian seleksi penerimaan kampus negeri.

Jessie Monika, alumni Universitas Petra angkatan 1999, menyampaikan kepada Tirto bahwa dirinya sejak awal memang hendak masuk ke universitas tersebut. Bahkan, rencana yang ia buat jika tak lulus ke Universitas Petra, adalah ikut seleksi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang sama-sama kampus swasta.

“Kalau saya sih dulu langsung masuk Petra, karena dari SMP kepengin masuk [jurusan] Sastra Inggris, terus ngelihat sastra Inggris-nya Petra kurikulumnya emang saya mau. Dan waktu itu kalau enggak lulus di Petra, plan B saya ke Yogyakarta, ke kampus Sanata Dharma,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PERGURUAN TINGGI atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani