tirto.id - Maulid Nabi di Indonesia dimeriahkan dengan pembacaan syair-syair berbahasa Arab. Jarang yang menggunakan bahasa lokal. Di Cambridge, Inggris, maulid Nabi bisa dibacakan dalam tiga tradisi, yakni bahasa Arab, Turki Usmani, dan Aljamiado (bahasa Spanyol dalam aksara Arab). Abdal Hakim Murad biasa memimpin pembacaan maulid Nabi ini sekaligus berkumpul dengan warga dan mahasiswa muslim di kota itu.
Komunitas muslim terus bertumbuh dan Cambridge Central Mosque yang modern dan ramah lingkungan telah rampung dibangun. Motonya khas: “A British mosque for the 21st century.” Cambridge seperti Jombang di Jawa. Kota ini mewakili spirit Islam tradisional dengan wawasan tradisi yang lebih mengglobal. Murad adalah syekh Cambridge.
Ia tak hanya mengajar sejarah dan pemikiran Islam di Universitas Cambridge sejak 1996, tetapi juga pada 2009 mendirikan "pesantren" bernama Cambridge Muslim College yang berorientasi sufi dan Islam Suni, khususnya lebih condong ke mazhab Hanafi dan berteologi Maturidi. Murad berafiliasi pula ke "pesantren" lain di London, Ebrahim College. Pesantren ini berperan penting dalam melatih imam di seluruh Inggris.
Bernama asli Timothy John Winter, Murad lulus dari kajian Arab di Universitas Cambridge pada 1983. Pada periode pembelajaran ini ia mengenal Islam. Kemudian ia belajar Islam bersama syekh tradisional di Al-Azhar, Mesir. Di Jeddah ia pernah tinggal selama tiga tahun dan bekerja sebagai penerjemah urusan bisnis sekaligus membangun jaringan dengan Habib Ahmad Mashhur al-Haddad dan ulama lain dari Hadramawt, Yaman.
Pada 1989 ia kembali ke Inggris untuk belajar bahasa Turki dan Farsi di Universitas London. Tiga tahun kemudian ia menempuh doktor di Universitas Oxford dengan topik kehidupan religius pada masa Imperium Usmani abad ke-15. Bahasa Turki dan Farsi, selain tentu saja bahasa Arab, dibutuhkan untuk meneliti dan menyerap konteks kebudayaan Usmani. Tak heran, dalam berbagai ceramahnya ia fasih mengutip istilah dan perumpamaan dalam ketiga bahasa muslim utama di Timur Tengah ini.
Tradisionalisme Islam dalam Modernitas Barat
Perhatian Murad tak hanya pada topik disertasinya. Ia mencintai peradaban Islam, terutama dalam aspek intelektual dan spiritual, termasuk di antaranya tradisi al-Andalus. Belakangan mulai muncul gairah sufisme dari penduduk Spanyol asli yang berpindah memeluk Islam. Murad pun sama, ia memeluk Islam saat remaja di tengah pencarian pada panduan moral dan perlindungan psikologis di tengah arus pascamodernitas, pasca-Kristianitas, dan berbagai gejolak peradaban Barat kontemporer.
Murad melihat pada 1970-an Kristen Anglikan di Inggris tak lagi menjadi pilihan utama. Ia menemukan keraguan pada doktrin Kristen terlebih ketika ia membaca kumpulan tulisan yang dieditori filsuf Inggris John Hick berjudul The Myth of God Incarnate (1977). Jika di Eropa timur, khususnya daerah Balkan, sufisme masih bertahan di tengah gempuran modernitas, kehadiran sufisme dan ajaran spiritualitas lain di Eropa pada umumnya diterima perlahan-lahan sebagai oasis bagi jiwa yang kering.
Tak heran, kehadiran René Guénon dan Frithjof Schuon yang membawa tradisionalisme filsafat perenial (atau ada yang menyebutnya ‘neo-sufisme’) ke dalam Islam diterima banyak kalangan hingga membentuk tarekat Sufi Maryamiyyah. Banyak tokoh muslim ternama seperti Seyyed Hossein Nasr dan Martin Lings (Abu Bakar Siraj al-Din) di Inggris dan Michel Chodkiewicz di Paris bergabung dengan tarekat ini.
Tarekat Maryamiyyah, dengan menisbatkan pada Bunda Maria, mendapat pengaruh luas di kalangan Kristen di Barat. Tidak selalu payung tradisionalisme Guénon ini bertahan. Chodkiewicz, walaupun masih seorang tradisionalis, berpisah dari tradisi Guénon. Munculnya banyak orientalis pengkaji sufisme seperti Louis Massignon (m. 1962), Henri Corbin (m. 1978), Eva de Vitray-Meyerovitch (m. 1999), William Chittick, dan lingkaran pengkaji Ibnu Arabi menjadi daya tarik bagi berkembangnya nuansa sufisme di Barat.
Berbeda dari Martin Lings, Murad tidak tertarik pada tradisionalisme Guénon. Ia berkiblat pada Islam tradisional ala Suni. Jika tradisionalisme Guénon lebih menekankan pada pluralisme agama berdasarkan pada akar-akar kebenaran abadi setiap agama, Murad lebih terpaku pada pentingnya bermazhab hukum dalam agama sembari mengakui pluralisme dalam tradisi Islam. Karena ia berusaha mengawinkan tradisionalisme Islam ke dalam kehidupan modern, maka Murad menjadi salah satu pilar dari neo-tradisionalisme Islam.
Cristopher Pooya Razavian dalam “The Neo-Traditionalism of Tim Winter” yang dimuat di buku Modern Islamic Authority and Social Change, Volume 1 (2017) merangkum ciri-ciri seorang neo-tradisionalis di antaranya: kembali pada mazhab hukum, kontekstualisasi doktrin Suni, praktik spiritualitas yang berlandaskan teks agama, dan memahami bahwa masa lalu tak dapat dicipta ulang saat ini. Aspek terpenting dari karakter ini ialah pengakuan pada sanad keilmuan sebagai otoritas untuk menafsirkan Islam berdasarkan silsilah yang tak terputus hingga Nabi Muhammad.
Dalam pemahaman ini, rasionalitas digunakan sesuai dengan tradisi keilmuan Islam klasik untuk menafsirkan Islam dan modernitas. Tapi Murad menghargai perbedaan dan pluralisme dalam tradisi Islam, seperti tampak dalam sikap ilmiahnya untuk menampung perbedaan mazhab. Ia, misalnya, mengadaptasi tulisan sufi Naqshbandi tapi bermazhab Syiah pada abad ke-15 bernama Husayn Vaiz Kashifi berjudul Rawdat al-shuhada (Taman Syuhada).
Sikap inklusif pada perbedaan itu sesuai dengan perkembangan alamiah dari norma sosial di Inggris. Dalam artikel bertajuk “The Modernity of Neo-Traditionalist Islam” yang dimuat di buku Muslim Subjectivities in Global Modernity (2020), Mark Sedgwick berargumen bahwa neotradisionalisme ialah reaksi atas krisis modernitas yang ingin menapaki jenjang modernitas lain yang ramah pada agama.
Menghantam Ambiguitas Barat
Sebagai intelektual publik, Murad sangat produktif menulis tulisan populer selain karya akademik. Ia banyak menyoroti persoalan terkini yang berkembang di Barat, baik terkait Islam maupun soal pemahaman dan tren kehidupan. Ia menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan modern secara kreatif untuk menghantam ambiguitas peradaban Barat. Salah satunya soal feminisme melalui penemuan sains. Baginya, hukum-hukum universal Tuhan atau shari`ah sangat menjunjung tinggi martabat dan kemuliaan perempuan jauh lebih unggul ketimbang sekularisme. Materialisme di dalam sekularisme dan kapitalisme mengukur nilai manusia melalui kesejahteraan dan seks, yang berarti terlalu mendewakan lelaki.
Ia menambahkan, “peradaban-peradaban materialistis dalam jangka panjang mendukung dan menghormati sifat laki-laki.” Islam dalam pandangan Murad ialah soal keadilan mutlak. Untuk mendukung ini, ia menggunakan konsep keadilan gender sesuai dengan nama-nama Tuhan yang agung (jalal) dan yang indah (jamal) atau aspek keseimbangan yang ditulis Sachiko Murata dalam The Tao of Islam (1992).
Pendekatannya pada persoalan gender, dan sering melalui logika filsuf Barat, tidak sama dengan apa yang dipikirkan dan diperjuangkan feminis muslim. Seperti dinyatakan Razavian, Murad ingin norma-norma Islam soal perbedaan gender dapat dipahami masyarakat Barat kontemporer. Penalaran Murad berdasarkan penemuan dalam bidang biologi evolusioner, psikologi, dan lainnya membuat pemahamannya soal masalah gender menjadi berbeda ketimbang para feminis muslim. Mereka barangkali melihat Murad masih konservatif, meskipun perlu mengkritiknya melalui logika sains.
Ia aktif menerjemahkan ajaran-ajaran Suni tradisional seperti tulisan al-Busiri soal kenabian, Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-bari, al-Ghazali dalam Ihya `ulum al-din, dan al-Bayhaqi dalam Shu`ab al-iman. Apa yang dilakukan Murad, selain menyusun kurikulum Suni komprehensif di Cambridge Muslim College, sama seperti dalam pembelajaran tradisional di dunia Islam, termasuk pesantren di Indonesia.
Karena itu ia sangat kritis terhadap pendekatan anti-mazhab dari kalangan salafi. Baginya, pendekatan ini merugikan dan cenderung membentuk konflik dan membenarkan bom bunuh diri dan teror dalam Islam. Alhasil, ia menuding wahabisme sebagai neo-Khawarij yang membahayakan. Solusi yang tepat baginya ialah meningkatkan kualitas batin dan mengisi hati dengan kebajikan Islam berupa kasih sayang, saling menghormati, toleransi, dan rekonsiliasi.
Kegelisahan intelektual Murad seperti tampak dalam Commentary on the Eleventh Contentions dan Travelling Home: Essays on Islam in Europe (2012) menghadirkan etos sufisme di dalam masyarakat Barat dengan perspektif yang kaya. Dengan langgam yang berbeda dan pengaruh yang lebih luas, ia semakin memperkuat akar-akar tradisi Islam dalam masyarakat Inggris yang sudah dirintis generasi pendahulunya: Marmaduke Pickthall, Abdullah William Quilliam, Hasan Le Gai Eaton, dan Martin Lings.
Seperti pohon cemara tinggi dengan akar dalam dan kuat, Murad tak mudah terombang-ambing pada arus pemikiran tertentu. Ia tahan goncangan tanah, tiupan angin, dan menjaga agar "abrasi moral" tidak melanda masyarakat muslim di Barat.
Refleksinya selalu segar dan menjadi bahan perenungan yang cemerlang. Soal virus Corona, misalnya, ia membalikkan perspektif kemanusiaan ke arah perspektif alam. Dalam perspektif alam, kemanusiaan telah menjadi penyakit menular yang merusak ekosistem sehingga membuat planet mulai sakit dan mati. Bani Adam, baginya, telah menjadi sakit. “Kita telah menjadi virus Qarun,” tulisnya untuk menginsafi kemanusiaan yang lebih bermanfaat.
==========
Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.
Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d'Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.
Editor: Ivan Aulia Ahsan