tirto.id - Ketika Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mendarat di Balikpapan, Yasuhiro Nakasone berusia 24 tahun. Pemuda kelahiran 27 Mei 1918 ini cukup berpendidikan. Ia pernah kuliah di Universitas Tokyo dan mendalami ilmu politik. Sebelum menjadi juru bayar di Angkatan Laut, Nakasone sempat menjadi pegawai negeri pada Kementerian Dalam Negeri.
Sebagai perwira junior, ia ikut mengurus sekitar 3.000 serdadu Jepang. Para kombatan itu di antaranya sulit mengendalikan berahi dalam peperangan yang tidak jelas kapan akan berakhir.
“Saat tiba di sana (Balikpapan), beberapa anak buah saya menyerang perempuan-perempuan lokal atau memuaskan diri dalam perjudian,” tulis Nakasone dalam Owarinaki Kaigun yang diterjemahkan dalam The Endless Navy (1978:98).
Untuk mengatasi hal tersebut, Nakasone kemudian menginisiasi pendirian Ianjo atau rumah bordil. Sebetulnya tak tepat jika disebut rumah bordil atau tempat pelacuran, sebab Ianjo diisi oleh para Jugun Ianfu yang menjadi budak seks para serdadu yang jauh dari rumah tersebut. Mereka, para perempuan itu, bahkan tak boleh meninggalkan Ianjo tanpa izin khusus dari militer Jepang.
“Salah satu perempuan yang pernah berada di Ianjo Balikpapan adalah Ibu Suharti,” tulis Eka Hindra dan Koichi Kimura dalam Momoye: Mereka Memanggilku (2007:232).
Kala itu, Suharti masih berusia sekitar 15 tahun. Kepada perempuan-perempuan Indonesia yang mereka bawa ke Ianjo, para serdadu itu memberikan nama berbau Jepang. Suharti diberi nama Miki.
Menurut catatan A. Budi Hartono dan Dadang Juliantoro dalam Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 (1997:89), kebanyakan perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu dan menghuni Ianjo adalah perempuan desa yang tegolong miskin. Sebagian dari mereka berstatus gadis, dan sebagian lagi sudah bersuami dan mempunyai anak.
Ketika berada di Ianjo, mereka tidak mempunyai pilihan selain menuruti nafsu berahi militer Jepang.
“Yang ada hanya kebodohan dan ketakutan,” kenang Suharti.
Bertemu Presiden daripada Soeharto
Pangkat terakhir Nakasone di Angkatan Laut adalah Mayor. Setelah itu, ia kembali menjadi warga sipil. Menurut laporan Japan Report (Volume xxix, Nomor 3, November-Desember 1982), Nakasone kembali ke Kota Takasaki pada 1946 dan terjun ke dunia politik.
Ia mencari dukungan dari masyarakat dengan cara bersepeda. Dalam pemilu pada April 1947, Nakasone terpilih sebagai anggota dewan dari Partai Demokratik Konservatif. Ia terpilih sebanyak 13 kali sebagai anggota dewan perwakilan.
Pada 1950-an, Nakasone menjadi anggota oposisi Partai Reformasi. Ia dikenal sebagai jago debat. Media dan politisi lain menyebutnya sebagai Turki Muda. Pada 1959, Nakasone masuk pemerintahan dengan jabatan sebagai Direktur Jenderal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Pada tahun-tahun berikutnya, ia pernah dijadikan Menteri Transportasi, lalu Menteri Perdagangan dan Industri yang di bawah kepemimpinannya dinilai sukses membawa Jepang keluar dari krisis akibat embargo minyak Arab pada tahun 1973.
Nakasone sempat dipercaya menjadi deputi Perdana Menteri Zenko Suzuki mulai pertengahan 1980 sampai akhir tahun 1982. Setelah itu ia terpilih menjadi Perdana Menteri Jepang ke-45.
Ia sempat mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan mantan serdadu didikan militer Jepang, yakni Presiden daripada Soeharto. Sejak era Orde Baru, Jepang telah menjadi negara penting bagi Indonesia sebab menjadi investor yang banyak menggelontorkan dana.
Bahkan dalam surat kabar Pelita (23/05/1983), seperti dimuat dalam Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita: Buku VII 1983-1984 (2008:99-102), Soeharto dan Nakasone disebutkan bekerja keras melawan komunisme. Dalam kunjungan pada tahun 1983, Nakasone di antaranya membicarakan sepak terjang Republik Rakyat Cina dan Vietnam yang kala itu dicap sebagai bagian dari komunis internasional.
Selain itu, ia juga memberitahu Presiden daripada Soeharto bahwa bantuan Jepang kepada Indonesia lewat Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) akan ditingkatkan dan jumlahnya lebih besar dari tahun sebelumnya.
Tidak Merasa Bersalah
Bagi para mantan Jugun Ianfu seperti Suharti, kunjungan Nakasone ke Indonesia tentu sangat menyakitkan. Alih-alih menemui mereka dan meminta maaf, Nakasone hanya menjalankan tugasnya sebagai pejabat pemerintah, bukan sebagai negarawan.
Menurut Koichi Kimura dalam pengantarnya pada buku Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945 (1997:xvi), terdapat sikap turun-temurun dengan dogma yang disebut ketidakmungkinan bersalah. Semula, hal ini hanya berlaku untuk Kaisar Jepang. Namun, urusan kebal dari tuduhan bersalah ini akhirnya menjangkiti para pejabat Jepang.
Suharti dan Soeharto sama-sama berasal dari Yogyakarta. Dan Nakasone memilih menemui penguasa Orde Baru. Suharti dan para mantan Jugun Ianfu lainnya diabaikan oleh orang yang dulu mendirikan Ianjo di balikpapan: tempat serupa neraka yang merenggut kemanusiaan dan menorehkan trauma mendalam.
Nakasone menjadi Perdana Menteri Jepang hingga 6 November 1987. Pada 29 November 2019, mantan perwira Angkatan Laut Jepang itu meninggal dunia dalam usia 101 tahun. Ia tak bisa lepas dari masa lalunya.
Editor: Irfan Teguh