tirto.id - “Di atas langit ada kertas, di atas kertas aku masuk surga”
Langit Bandung yang cerah berangsur kelabu pada Kamis itu. Di atas tanah makam yang masih basah, bunga-bunga segar tampak bertaburan. Puluhan orang mengantar kepulangan purnabakti Guru Besar Seni Rupa ITB, Setiawan Sabana, ke peristirahatan terakhirnya pada 27 April 2023.
Tidak cukup menyebutnya sebagai seorang guru untuk mengenang sosok Setiawan Sabana. Selain menjadi pendidik, ia pun dikenal sebagai pemimpin akademik, budayawan, dan seniman yang produktif menghasilkan karya hingga usia senja.
Dalam kekaryaannya, Setiawan Sabana sangat dekat dengan eksplorasi menggunakan material kertas. Kiprahnya dengan media kertas selama puluhan tahun di dunia seni rupa, membuatnya mendapatkan predikat “Manusia Kertas”.
Berawal dari Seni Grafis
Lahir di Bandung pada 10 Mei 1951, Setiawan Sabana mengawali minatnya terhadap seni sejak menempuh pendidikan seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga tahun 1977. Ia menaruh perhatian pada seni grafis.
Berdasarkan penuturan Anna Sungkar dalam Kesenian dan Kesenimanan Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA pada pengantar pameran Kitab: Jagat Kertas dalam Renungan (2021), ketika Setiawan Sabana menempuh pendidikan seni rupa di ITB, fenomena seni grafis sesuatu yang masih baru di Indonesia. Ini karena teknologi cetak masih dalam tahap pengembangan. Maka pemilihan medium tersebut dalam dunia pendidikan seni rupa memiliki tantangannya tersendiri.
Saat masih menjadi mahasiswa, Setiawan Sabana banyak menggeluti media etsa dengan turunan variasinya, seperti drypoint dan akuantin. Secara visual, karakter media tersebut mampu menghasilkan keragaman tekstur melalui garis dan ketebalan.
Contohnya dalam karya Cermin (1979), ia menggunakan medium foto-etsa untuk menyajikan visual tiga orang figur di dalamnya. Pada bagian sisi kanan, terdapat figur perempuan setengah tubuh sedang berdiri tegak sambil melihat ke arah kanan. Perempuan ini terkesan perkasa dan tegas.
Sementara di bagian sisi kiri karya, terdapat sosok figur yang tengah menangis dan rapuh. Berkelindan dengan figur lelaki pada bagian tengah-bawah, yang tampak menggunakan blangkon dan terkesan tenang.
Setiawan Sabana menaruh perhatian pada visual yang kontras antara bayangan yang gelap dan cahaya yang menyoroti bagian terang pada figur-figur tersebut. Selain itu, ia pun memainkan gestur dan ekspresi untuk menghadirkan perasaan yang saling berseberangan di antara figur tersebut seperti sifat cermin.
Kedekatan seni grafis dengan material kertas membuka ketertarikan Setiawan Sabana untuk lebih fokus dalam mengolah media tersebut. Setelah lulus dari ITB, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Northern Illinois pada tahun 1981. Periode ini memberinya banyak inspirasi dari seni kontemporer di Amerika Serikat dan budaya kertas di Jepang.
Wujud kertas memiliki nilai kerapuhan dan kesementaraan. Hal tersebut menjadi bahasa konseptual bagi Setiawan Sabana dalam memaknai dan "membaca" material yang digunakannya dalam berkarya.
Masih pada pengantar pameran Kitab: Jagat Kertas dalam Renungan (2021), Bambang Sugiharto menuturkan melalui tulisan Setiawan Sabana, Jejak Paradoks Peradaban yang Memesona bahwa Setiawan Sabana tidak lagi merasa terikat pada kaidah-kaidah seni konvensional. Yang menjadi titik tumpu utamanya adalah gagasan reflektif-kritis. Dan dalam kerangka itu, perspektif yang digunakannya pun bersifat interdisipliner.
Maka dalam mengolah isu yang menjadi perhatian bagi karyanya, ia menggunakan perspektif antropologi, arkeologi, sejarah, dan filsafat. Kerangka terbesar dalam gagasan karyanya pun melibatkan kepedulian spiritual. Tak jarang pula dikaitkan dengan kesadaran terhadap energi kosmik melalui energi tanah, air, api, cahaya, suara, gerak, musik, perilaku manusia, dan hal-hal lain di sekelilingnya.
Dunia Kertas dalam Spiritualitas
Setiawan Sabana melanjutkan studi doktoral di Institut Teknologi Bandung dan melalukan penelitian mengenai seni rupa kontemporer di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Penelitian tersebut merupakan upayanya dalam mengenali lebih lanjut terkait kehidupan berbudaya dalam aspek rohani dan non-rohani yang memengaruhi karya seni kontemporer.
Selama ini, seni dalam tradisi masyarakat di Asia Tenggara memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai spiritualitas. Ketika seni rupa modern mulai memisahkan diri menjadi entitas yang profan, perkembangannya saat memasuki era kontemporer justru membawa kembali nilai-nilai spiritual.
Penelitian Setiawan Sabana dalam membaca fenomena tersebut tampak memengaruhi sebagian besar karyanya ketika memasuki tahun 2000-an. Masih dengan medium kertas, ia menggelar berbagai pameran dengan menawarkan renungannya tentang nilai spiritual pada kertas yang telah menjadi bagian dari peradaban umat manusia.
Salah satu pameran pentingnya yakni Legenda Kertas (2005) yang digelar di Bentara Budaya. Dalam karya tersebut ditampilkan instalasi bernada tajam bertajuk The Symphony in Black: The Global Orchestra, yang terdiri atas barisan music-stands berisi lembar-lembar kertas hitam. Bukan tumpukan partitur musik yang berada di sana, melainkan kertas-kertas dengan potongan foto-foto perang, tentara, juga George Bush saat tengah berpidato.
Pada tahun-tahun berikutnya, Setiawan Sabana juga pernah menggali spiritualitas dalam masyarakat tradisional Sunda. Renungan tersebut dituangkannya pada karya Bumi Kertas (2013) yang ditampilkan di Museum Sri Baduga.
Karya Bumi Kertas terdiri atas sebuah lesung yang diletakkan di tengah ruang pamer. Di sekitarnya terdapat kertas-kertas dan berbagai perkakas tradisional seperti boboko dan bubu. Beberapa kertas dengan bentuk vertikal digantungkan menjuntai melengkapi komposisi instalasi.
Setiawan Sabana hendak mengungkapkan suasana spiritual dalam budaya pangan masyarakat tradisional Sunda yang melibatkan unsur transendental. Perkakas tradisional yang ditampilkan mewakili nilai tradisi pangan, sedangkan kertas-kertas yang menjuntai secara vertikal menjadi simbol hubungan manusia dengan dunia atas.
Pada pemaparan Syarif Maulana dalam Seni Sebagai Spiritualitas: Titik Balik dan Perjalanan Menjadi Manusia (2021), setidaknya ada tiga macam renungan spiritual dari Setiawan Sabana.
Spiritualitas yang pertama berkaitan dengan hubungan dengan alam, yang kedua adalah spiritualitas yang berangkat dari religiusitas, dan yang ketiga berhubungan dengan identitas lokal dengan didasari kata kunci “Nusantara”. Ketiga perenungan tersebut merupakan hasil pemikiran yang diwarnai dengan berbagai kontradiksi, serta tidak berlangsung secara linier.
Hidup sebagai Pendidik
Di samping produktivitasnya sebagai seniman, sudah lebih dari 40 tahun Setiawan Sabana bertugas sebagai pendidik di lingkungan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia pun mewariskan beberapa buku dan jurnal untuk kemajuan pendidikan seni rupa.
Selama masa baktinya di dalam kampus, pengabdian Setiawan Sabana dijalankan melalui tugasnya pada berbagai jabatan, di antaranya sebagai Dekan dan Ketua Senat fakultas, Ketua Komisi Sekolah Pascasarjana, serta Kepala Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain.
Di luar kampus, ia turut mengupayakan pengembangan seni dan budaya melalui pendirian sebuah ruang alternatif bernama Garasi 10. Ruang yang berlokasi di Jalan Rebana Bandung ini dirintisnya sejak tahun 2012.
Berbagai kelas seni, budaya, dan filsafat digelar di tempat tersebut. Harapannya agar dapat menjembatani masyarakat terhadap sumber pengetahuan dan kebudayaan yang lebih inklusif.
Dalam usia 71 tahun, Setiawan Sabana mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 03.00. Jenazah disalatkan di Masjid Salman ITB dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cibarunai, Bandung.
Layaknya kertas, kehidupan raganya sementara, namun ruhnya abadi.
Penulis: Audya Amalia
Editor: Irfan Teguh Pribadi