tirto.id - "Dengan ini kami menyatakan bahwa terlapor 1 (Yamaha) dan terlapor 2 (Honda) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.”
Majelis Komisi sidang KPPU yang dipimpin oleh Tresna Priyana Soemardi bersama anggota R. Kurnia Sya'aranie dan Munrokhim Misanam, akhirnya membacakan keputusan pada Senin (20/2/2017). Keputusan KPPU ini tentu jadi tamparan bagi Yamaha dan Honda sejak mereka menghadapi sidang perdana kasus ini 19 Juli 2016 lalu.
Honda dan Yamaha terbukti melakukan pengaturan harga atau price fixing penjualan motor skutik kapasitas 110-125 cc pada periode 2013-2014. Mereka terbukti melanggar pasal UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal 5 ayat 1, yang sangat jelas melarang praktik kartel.
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama."
Peraturan Komisi KPPU No 4 tahun 2011 tentang pedoman pasal 5, menjelaskan, penetapan harga dilarang karena selalu menghasilkan harga yang jauh di atas harga melalui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi konsumen, secara langsung atau sebaliknya
Dalam kondisi persaingan yang sehat, harga sepeda motor akan terdorong turun mendekati biaya produksi. Ketika harga bergerak turun mendekati biaya produksi maka pasar akan menjadi lebih efisien, efeknya akan meningkatkan penghematan bagi konsumen (welfare improvement).
Namun, ketika sekelompok perusahaan melakukan kesepakatan penetapan harga, maka harga akan naik jauh di atas biaya produksi. Dari hasil penelusuran KPPU, dipacak dari Antara, harusnya harga motor skutik pada periode 2013-2014 di Indonesia harganya Rp8,7 juta per unit, dengan juga membandingkan harga motor di negara-negara ASEAN. Namun justru di Indonesia dijual dengan harga Rp14-18 juta per unit
Setelah Putusan KPPU
Setelah putusan KPPU, bagi Honda dan Yamaha, tentu tak hanya melihat besaran denda yang ditetapkan, tapi lebih jauh lagi soal citra mereka di mata internasional. Beberapa produk skutik Yamaha dan Honda sudah langganan dikirim ke pasar ekspor
“Komitmen dari Yamaha sebagai produsen kendaraan selama ini sudah besar dan suasananya sangat kondusif bagi investor untuk berinvestasi di sini. Tapi dengan adanya putusan ini, akan berpengaruh kepada proses ekspor,” kata Kuasa Hukum Yamaha, Rikrik Rizkiyana di kantor KPPU.
“Yang dikhawatirkan adalah nantinya negara tujuan beranggapan barang yang dikirim adalah hasil kartel. Ini kan bahaya. Seharusnya KPPU bisa lebih memikirkan dampak-dampak seperti itu, serta lebih memperhatikan bukti-bukti yang sifatnya bukan asumsi,” tambah Rikrik.
Sementara itu, General Manager of Corporate Secretary & Legal PT Astra Honda Motor Andi Hartanto menyatakan akan mempertimbangkan upaya-upaya hukum lain setelah keputusan KPPU. “Ini kan bukan hasil final. Ini hanya pendapat mereka (KPPU), diselidiki oleh mereka, lantas diputuskan sendiri (oleh mereka). Meskipun denda yang kami terima lebih ringan 10%, tapi kami belum puas,” kata Andi setelah acara pembacaan putusan.
Honda maupun Yamaha boleh saja tak terima dengan putusan KPPU, dan bisa menempuh banding di pengadilan negeri atau yang lebih tinggi. Namun, di luar dari persoalan proses hukum yang bakal masih panjang di kasus kartel motor skutik ini, tak salahnya menengok kasus kartel sebelumnya yang ditangani KPPU, seperti tarif SMS.
Dalam laporan “Kompetisi” KPPU edisi 32 tahun 2012, beberapa kasus kartel yang ditetapkan KPPU berlatar dari alasan kerugian masyarakat dari praktik kartel seperti kasus kartel tarif SMS beberapa tahun lalu. Pada Juni 2008, berdasarkan Putusan Perkara Nomor 26/ KPPU-L/2007 perkiraan harga kompetitif layanan SMS off-net adalah Rp114, sedangkan tarif yang berlaku pada waktu itu berkisar Rp 250-350.
Dengan menggunakan selisih antara pendapatan pada harga kartel dengan pendapatan pada harga kompetitif SMS off-net dari dari para operator yang terlibat kartel, maka diperoleh kerugian konsumen sebesar Rp2,827 triliun. Setelah putusan kartel SMS, KPPU bersama LPEM FEUI dan Japan International Copperation Agency (JICA), melakukan penelitian tentang dampak putusan kartel SMS. Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan tarif SMS pasca putusan KPPU, diperkirakan telah memberikan penghematan pengeluaran konsumen sebesar + Rp1,6-1,9 triliun selama 2007-2009. Ini terjadi karena tarif SMS turun.
Persoalan kartel harga motor skutik memang masih akan panjang bila Yamaha dan Honda menempuh gugatan ke pengadilan. Namun, bagi publik kasus ini menjadi ujian apakah keputusan KPPU akan berdampak nyata bagi masyarakat. Kisah sukses KPPU menekan harga dalam kasus kartel SMS sebuah catatan penting lembaga wasit persaiangan usaha ini. Apalagi, setelah 8 tahun putusan KPPU sudah bisa dieksekusi pada 26 Februari 2016, setelah melalui proses gugat menggugat--hingga Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi KPPU.
Bagaimana dengan kartel skutik? Tentunya masyarakat ingin mendapatkan harga kendaraan roda dua yang lebih terjangkau, tapi butuh waktu karena keputusan KPPU perlu pembuktian Apakah putusannya benar-benar bertaji dan bermanfaat bagi khalayak terutama soal sepeda motor yang sudah menjadi kebutuhan.