Menuju konten utama

Windows 11 dan Windows 10: Serupa Tapi Tak Sama

Enam tahun setelah Windows 10 dirilis, Satya Nadella beserta seluruh awak Microsoft mengingkari janjinya dengan merilis Windows 11.

Windows 11 dan Windows 10: Serupa Tapi Tak Sama
Windows 11. FOTO/microsoft.com/

tirto.id - “Saya bergabung dengan Microsoft pada 1992 karena ingin bekerja dengan perusahaan yang dipenuhi oleh orang-orang yang percaya bahwa mereka dapat mengubah dunia,” tulis Satya Nadella, Chief Executive Officer (CEO) Microsoft, dalam memoar berjudul Hit Refresh: The Quest to Rediscover Microsoft’s Soul and Imagine a Better Future for Everyone (2017).

Bagi Nadella--yang memilih menjadi programmer usai dibelikan Sinclair ZX Spectrum oleh ayahnya di usia belia--Microsoft merupakan perusahaan legendaris nan revolusioner yang sukses memasyarakatkan komputer. Membuat komputer, yang di awal penciptaannya hanya ditujukan bagi negara, korporasi, dan institusi pendidikan tingkat tinggi semata, muncul di ruang-ruang keluarga.

“Nahas,” ujar Nadella, “usai Microsoft berkuasa di pasar PC (personal computer) dengan menekuk-lutut IBM dan Apple, perusahaan ini telah berubah.” Bukan ke arah yang lebih baik, tetapi sebaliknya.

“Inovasi dalam tubuh Microsoft telah digantikan oleh birokrasi. Kerjasama telah tergantikan oleh politik. Muncul ketidakharmonisan antar divisi,” terang Nadella

Kemunduran Microsoft ini secara kasatmata terlihat dari sistem operasi yang mereka ciptakan, Windows, yang tak pernah “stabil” karena nafsu berkuasa. Mengganti Windows 2000 dengan Windows ME (Millenium Edition), misalnya, gagal berantakan untuk kemudian diselamatkan oleh Windows XP. Atau merilis Windows Vista sebagai produk paling memalukan bagi Microsoft hingga akhirnya diselamatkan oleh Windows 7.

Seolah tidak pernah berkaca pada kegagalan ME dan Vista, Microsoft mendepak kesuksesan Windows 7 dengan Windows 8, sistem operasi yang gagal di pasaran karena lebih mementingkan user interface (UI) berbasis layar sentuh alih-alih cara konvensional, keyboard dan mouse, sebagai pilihan utama pengguna komputer.

Tak ingin melihat Microsoft hancur, saat diangkat menjadi CEO menggantikan Steve “Developers Developers Developers” Ballmer pada Februari 2014, Satya Nadella segera melakukan pembenahan. Selain melakukan reorganisasi perusahaan--tak sampai setahun setelah Nadella berkuasa--Microsoft merilis Windows 10 sebagai permintaan maaf perusahaan yang didirikan Bill Gates dan Paul Allen ini atas ulahnya yang telah melahirkan Windows 8 (dan Windows 8.1) dan menghapus “start menu.”

Windows 10 yang disebut sebagai sistem operasi yang “membawa dunia komputer memiliki masa depan yang cerah kembali” oleh Tom Warren dalam ulasannya untuk The Verge, sukses besar di pasaran. Selain mengembalikan “start menu” serta memilih mengutamakan UI konvensional alih-alih layar sentuh, Windows 10 berhasil melakukan modernisasi yang tak terlalu berjarak dibandingkan pendahulunya, Windows 7 (bukan Windows 8).

Hal ini penting dilakukan, karena merujuk data yang dipaparkan Statista, Windows merupakan sistem operasi yang paling banyak digunakan korporasi. Menurut studi berjudul “Why Do Upgrades Fail and What Can We Do About It? Toward Dependable, Online Upgrades in Enterprise System” (Journal of International Federation for Information Processing 2019) yang ditulis Tudor Dumitras, perbedaan yang tak terlalu jauh antara versi lawas dan versi baru sebuah sistem operasi memungkinkan korporasi melakukan upgrade karena kecilnya peluang kegagalan atau eror.

Namun, terlalu bernafsu membawa perubahan, seperti Windows 8 yang menggantikan Windows 7, aplikasi yang digunakan korporasi di sistem terdahulu sangat mungkin tidak didukung dengan sistem baru. Apalagi Windows 8 yang menghilangkan “start menu,” misalnya, korporasi harus kembali mengedukasi tata cara penggunaan komputer pada karyawannya. Suatu hal yang memakan waktu, juga biaya.

Atas alasan-alasan ini, tak ingin mengulangi kegagalan Windows 8, Microsoft memantapkan diri untuk tidak merilis penerus Windows 10, tetapi hanya melakukan update kecil-kecilan.

“Saat ini kami telah merilis Windows 10, dan karena Windows 10 akan kami jadikan versi terakhir Windows, kami hanya akan bekerja (melakukan update) pada sistem operasi ini semata,” kata Jerry Nixon, salah satu tangan kanan Nadella di Microsoft.

Namun, enam tahun berlalu usai Windows 10 dirilis, Nadella beserta seluruh awak Microsoft mengingkari janjinya dengan merilis Windows 11.

Kelebihan dan Kekurangan Windows 11

Setelah saya gunakan beberapa hari, Windows 11 sangat mirip seperti Windows 10. Meskipun Microsoft menggarisbawahi bahwa sistem operasi ini diperuntukan bagi komputer-komputer baru, atau yang tak terlalu lawas, tak ada masalah berarti ketika saya mencobanya di HP Pavilion. Bahkan ketika Word, Edge, dan Photoshop digunakan berbarengan.

Melihat Task Manager, penggunaan CPU, Memory, hingga intensitas pemakaian media penyimpanan (Disk) mirip seperti Windows 10. Mulus tanpa masalah berarti. Perubahan memang ada, tetapi hanya tampak di visual semata. Soal tema dan user interface (UI) yang sedikit berubah--perpaduan antara Ubuntu dan macOS--menjadi lebih modern. Namun, meskipun Windows 11 mengusung dark mode (mode gelap), beberapa aplikasi bawaan Windows seperti Task Manager, masih menggunakan "cangkang" lawas: terang benderang sehingga mengganggu ketika mode gelap dijadikan tampilan bawaan.

Masih soal penampakan visual, yang terlihat berbeda antara Windows 10 dan Windows 11 adalah letak Start Menu yang berubah, dari pojok kiri bawah menjadi tengah bawah. Namun, jika Anda tak suka dengan penempatan ini, Windows mengizinkan Start Menu ditempatkan kembali ke "lokasi semestinya" dengan mudah. Di luar perubahan lokasi Start Menu, saat pengguna mengeklik kanan Taskbar, hanya "Taskbar settings" yang muncul, tidak seperti Windows 10 yang memunculkan banyak menu: dari Task Manager, Command Prompt, hingga Windows Terminal.

Di luar tampilan, Windows 11 menyajikan integrasi yang sangat apik dengan Linux melalui Windows Subsystem for Linux (WSL). Singkatnya, WLS merupakan "aplikasi" yang dibuat Microsoft untuk para pengguna Windows yang membutuhkan aplikasi Linux (atau bahkan Linux-nya sendiri) dapat dijalankan langsung melalui Windows, tanpa perlu Dual Boots.

WSL memang merupakan keironisan tersendiri bagi Microsoft. Sebab, seperti yang sempat saya tulis, Bill Gates sangat membenci dunia open-source, dunianya Linux. Sewaktu muda, Gates pernah berang aplikasi buatannya, BASIC interpreter, dipreteli aktivis-aktivis open source Homebrew Computer Club (Steve Wozniak termasuk anggotanya). Ketika Microsoft meraksasa, anak buahnya, Steve Ballmer, menyebut Linux sebagai "kanker."

Seperti ditulis Satya Nadella dalam memoarnya, mengintegrasikan Windows dengan Linux adalah perubahan yang dilakukan Microsoft agar lebih baik, agar tak ditinggalkan penggunanya.

Infografik Windows

Infografik Windows dari tahun ke tahun. tirto.id/Rangga

Selain tampilan yang sedikit berbeda dan WSL, bagi saya Windows 11 merupakan sistem operasi yang memaksa penggunanya menggunakan segala layanan milik Microsoft. Ini terjadi karena segala layanan milik Microsoft, mulai dari Cortana, Microsoft Store, Widget yang menampilkan berita-berita clickbait ala Microsoft News, Team, Office, OneDrive, Edge, hingga Bing langsung dijadikan default oleh Microsoft. Bahkan beberapa aplikasi, khususnya Edge, sukar digantikan oleh Chrome sebagai default sistem operasi. Dan jika Anda menggunakan Search/Cortana di Windows 11, hasil pencarian akan langsung diarahkan ke laman Bing, bukan yang lain.

Di luar pemaksaan layanan-layanan ini, kekecewaan lain yang saya alami ketika menggunakan Windows 11 adalah karean Microsoft terlalu memuja mouse atau tetikus dan menelantarkan touchpad/trackpad. Dengan sistem multitasking yang baru, yang menampilkan kolom-kolom seberapa banyak aplikasi hendak digunakan dalam satu jendela, memang menyenangkan. Masalahnya, Windows hingga saat ini tidak mendukung multitouch dengan apik seperti macOS.

Ketika saya menggunakan macOS, perubahan antarjendela aplikasi, tanpa perlu menampilkannya dalam satu layar, mudah dilakukan hanya dengan menggeser ke-kanan-kiri tiga jari di touchpad/trackpad. Di Windows, meskipun cara ini bisa dilakukan, masih terasa kasar. Sangat kasar.

Di macOS, karena Apple sangat memuja multitouch, ada banyak cara mengendalikan komputer. Pich (buka-tutup), tap (satu, dua, dan tiga jari), swipe (dua jari atas bawah dan tiga jari kiri-kanan). Di Windows, karena sistem operasi ini sangat memuja mouse, hanya klik kanan-kiri-dobel yang dapat digunakan. Sukar digunakan untuk menavigasi secara horizontal. Windows memang mendukung pich, tap, dan swipe, tapi masalahnya kembali ke soal mouse yang dijadikan patokan.

Di luar pemaksaan beragam layanan milik Microsoft dan masalah multitouch, Windows 11 lagi-lagi tak terlalu berbeda dengan Windows 10. Jika Anda pengguna Windows 10 dan menikmati sistem operasi tersebut, Windows 11 menyajikan pengalaman yang hampir serupa. Tidak seperti Windows 8 ketika dibandingkan dengan Windows 7 atau Vista dengan XP.

Baca juga artikel terkait WINDOWS 11 atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh