tirto.id - Ia berbentuk silinder. Dibungkus kertas berwarna putih. Ada juga yang berwarna hitam. Di dalamnya berisi daun-daun tembakau yang sudah dicacah. Panjangnya hanya sekitar 70 hingga 120 mm dengan diameter kurang-lebih 10 mm. Ukurannya memang kecil tetapi memiliki dampak negatif yang cukup besar. Mulai dari kesehatan hingga ekonomi. Ia adalah rokok.
Situsweb Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat merokok sigaret adalah faktor risiko nomor satu untuk penyakit kanker paru-paru. Di sana, merokok sigaret dikaitkan dengan 80-90 persen kanker paru. Ia juga menjadi faktor risiko bagi kanker-kanker di bagian tubuh lain.
Selain kanker, rokok juga menjadi faktor risiko penyakit lain yang terkait darah dan jantung. Merokok juga bisa meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung sehingga jantung bekerja lebih keras dari yang seharusnya. Ia menurunkan kolesterol baik (HDL) dan menaikkan kolesterol jahat (LDL) Anda.
Menurut WHO, jumlah kematian akibat tembakau yang dibakar diperkirakan mencapai enam juta kematian per tahun. WHO memproyeksi jumlah kematian akibat tembakau akan menyebabkan peningkatan kematian menjadi delapan juta orang per tahun pada 2030.
Rokok tidak hanya berdampak pada kesehatan. Hasil studi Organisasi kesehatan Dunia (WHO) dan National Cancer Institute Amerika Serikat mengungkapkan, merokok menimbulkan kerugian ekonomi global hingga satu triliun dolar AS per tahun.
Seperti dilaporkan The Washington Post, kerugian itu jauh melampaui pendapatan global dari pajak tembakau yang diperkirakan mencapai $269 miliar pada 2013-2014. Kurang dari $1 miliar yang diinvestasikan untuk mengontrol tembakau.
Rokok di Indonesia
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa total kerugian karena rokok selama 2013 mencapai Rp378,75 triliun.
Jumlah tersebut berasal dari pembelian rokok mencapai Rp138 triliun. Riset Kesehatan Dasar 2013 melaporkan, perokok aktif di Indonesia mulai dari usia 10 tahun ke atas mencapai 58,7 juta orang. Jumlah tersebut terdiri dari 56,8 juta perokok laki-laki dan 1,8 juta perokok perempuan.
Kerugian lainnya adalah terganggunya produktivitas akibat sakit, disabilitas, dan kematian prematur di usia muda sebesar Rp235,4 triliun. Kerugian lainnya karena rokok adalah pengeluaran biaya berobat akibat penyakit-penyakit terkait tembakau mencapai Rp5,35 triliun.
"Jumlah itu adalah 3,7 kali lebih besar dibanding cukai tembakau yang diperoleh negara pada tahun yang sama sebesar Rp 103,02 triliun," kata peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes, Soewarta, seperti dikutip Kompas.
Laporan Asuransi kesehatan sosial BPJS Kesehatan yang melaporkan bahwa penyakit akibat rokok memakan porsi besar dalam anggaran asuransi kesehatan tersebut. Menurut catatan Kementerian Kesehatan pada kuartal ketiga 2015, tercatat penyakit jantung paling banyak dilaporkan dan biaya yang ditebus oleh BPJS Kesehatan sebanyak 3,95 juta kasus.
Sementara ada 125 ribu penderita kanker yang ditanggung BPJS, dana yang digunakan untuk mengobati kanker mencapai Rp2,5 triliun. Dengan kata lain, setiap orang penderita kanker yang menjadi anggota BPJS membutuhkan dana sekitar Rp200 juta untuk pengobatan.
Tentu tak semua kasus kedua penyakit otomatis disebabkan oleh rokok. Seperti disebutkan di awal, rokok adalah salah satu faktor risiko penyakit kanker dan jantung. Di Amerika Serikat misalnya, menurut pemerintah federal, ada 40 persen kasus kanker terkait rokok.
"Saat ini BPJS sudah diikuti 165 juta orang dengan 92,4 juta orang ditanggung pemerintah karena tidak mampu. Kalau kondisi ini tidak diubah, negara akan terus merugi,” kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek, seperti dilaporkan CNN.
Tak Mudah Mengerem Perokok
WHO terus mengkampanyekan soal bahaya rokok. Di Indonesia, misalnya, WHO memproyeksi jumlah perokok akan meningkat menjadi 90 juta orang atau sekitar 45 persen dari jumlah populasi pada 2025.
WHO mencoba menawarkan solusi yang diyakini ampuh, yakni menaikkan pajak rokok. Dalam laporan tahunannya, WHO mengklaim bahwa cukai tembakau yang mahal bisa meredam konsumsi rokok.
Selain itu, dana pada kas negara juga akan semakin gemuk sehingga pemerintah memiliki dana cadangan untuk menjalankan program anti-rokok. Dana tersebut juga dapat membantu petani dan buruh yang kehilangan mata pencaharian di industri rokok.
"Menaikkan pajak tembakau adalah metode yang paling efektif dan ekonomis untuk meredam konsumsi produk-produk yang membahayakan kesehatan," kata Direktur WHO Margaret Chan, seperti dikutip DW.
Bosnia dan Herzegovina adalah negara teratas yang mematok pajak tertinggi di dunia untuk rokok. Total pajak yang dibayarkan mencapai 86 persen, melampauai besarnya pajak rokok yang diterapkan di Israel dan Slovakia yang masing-masing 85 persen dan 84 persen.
World Economic Forum mengungkapkan bahwa setiap 10 persen peningkatan harga tembakau akan mengurangi jumlah konsumsi tembakau hingga 4 persen. Namun sayangnya, solusi peningkatan tarif pajak rokok ini baru diterapkan di 33 negara.
Sedangkan Rusia memiliki cara sendiri. Menurut Dailymail, Rusia tengah menyiapkan langkah khusus untuk memerangi rokok. Rusia akan melarang pembelian rokok bagi warganya yang lahir setelah setelah tahun 2015. Rencana tersebut adalah upaya jangka panjang Rusia dalam memberantas rokok di negara tersebut.
Jika peraturan itu diberlakukan, diperkirakan hanya sebagian kecil warga Rusia yang masih akan membeli rokok pada 2050 nanti. Rusia pun akan menjadi negara pertama di dunia yang benar-benar bebas dari tembakau dan akan memutus generasi masa depan Rusia dari kebiasaan merokok.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani