tirto.id - "We listen, we don't judge..."
Tagline tersebut akhir-akhir ini cukup viral di media sosial.
Marak ditemui konten video berisi pengakuan warganet tentang diri mereka—yang mungkin akan membuat pendengarnya mengernyitkan dahi—tanpa perlu merasa takut dihakimi.
Tren ini memantik pertanyaan menarik, terlebih untuk dijadikan refleksi di bulan Ramadhan yang penuh kebaikan.
Mengapa manusia suka menghakimi dan membuat stigma kepada orang lain?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti mendapati orang lain yang berbeda gaya, nilai, status, dan cara pandang. Tak jarang perbedaan tersebut membuat kita dengan mudah menilai seseorang lebih buruk dari diri kita sendiri.
Judging—atau menghakimi seseorang—seolah-olah sudah tertanam dalam perilaku dan pikiran manusia.
Melansir Mind Voyage, sebuah riset menyebutkan bahwa menghakimi seseorang merupakan naluri alamiah otak manusia.
Pada dasarnya, insting atau naluri dasar manusia adalah untuk bertahan hidup dari berbagai ancaman, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan bebas.
Berangkat dari logika demikian, maka masuk akal apabila kita jadi mudah menghakimi orang-orang di sekitar kita. Penghakiman itu sangat penting untuk menentukan, apakah mereka cukup aman dan baik untuk diajak bergaul dan bekerja sama?
Studi ini menyoroti fakta bahwa penilaian-penilaian yang kita lakukan memang bersifat alamiah dan berdasarkan naluri.
Masih dari sumber yang sama, bagi sebagian orang, menghakimi menjadi salah satu cara untuk membuat dirinya merasa lebih baik dari orang lain.
Terlebih dari itu, melayangkan kritik terhadap orang lain juga dapat menimbulkan semacam perasaan lebih unggul. Inilah yang kemudian meningkatkan ego di dalam diri manusia.
Dari sekian banyak objek yang bisa dijadikan penghakiman, yang cukup sering kita temui sehari-hari meliputi penampilan, status keuangan atau pekerjaan, dan kedudukan sosial.
Seperti dibahas dalam kanal YouTube The Anxiety Therapist Podcast, insecurity atau perasaan tidak percaya diri merupakan faktor utama yang menyebabkan kita jadi mudah menghakimi orang lain.
Ketika kita merasa insecure, mengkritik orang lain bisa menjadi cara untuk meningkatkan harga diri.
Terapis Kristen Jacobsen mengatakan, kesalahan mendasar yang sering terjadi dalam penghakiman adalah kita menilai orang lain berdasarkan karakter atau sifat bawaan mereka, alih-alih situasi dan kondisi yang tengah mereka alami.
"Misalnya, seseorang datang terlambat saat akan menemui kita. Kita mungkin langsung berasumsi bahwa mereka tidak disiplin dan tidak sopan—tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti apakah mereka terjebak macet atau mungkin mengalami kondisi darurat, " papar Kristen.
"Jadi, bias ini cenderung memengaruhi pemahaman kita tentang perilaku orang yang dapat menyebabkan penilaian yang tidak adil," imbuhnya.
Psikolog klinis dan co-founder Ohana Space, Veronica Adesla, M.Psi, Psikolog menjelaskan, kebiasaan menghakimi orang lain juga bisa terbentuk dari pengalaman hidup.
Misalnya, sejak kecil tumbuh dibesarkan dengan pola asuh orang tua yang senang mengkritik.
"Jadi pada akhirnya kebiasaan ini terus-menerus terbawa dalam perjalanan hidup sampai dewasa. Setiap melihat orang lain, selalu ingin dikomentari. Menghakimi," kata Veronica.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi kebiasaan menghakimi orang lain?
Menurut Veronica, salah satu nilai penting yang perlu ditanamkan pada diri sendiri dan anak-anak kita adalah menghargai perbedaan.
Kita perlu memahami bahwa sesuatu yang berbeda dari kita bukanlah suatu kesalahan, bahkan sekadar perbedaan gaya berpakaian.
Selain itu, kata Veronica, penting untuk memahami bahwa karakter, latar belakang, dan perjalanan hidup orang lain juga tidak sama dengan kita.
Setiap orang memiliki cerita hidup masing-masing dan kita tidak bisa menilai orang lain hanya dari apa yang kita lihat.
Menurut Veronica, kita tidak bisa menghakimi orang lain dari apa yang terlihat hanya dalam satu jam, satu minggu, satu bulan, bahkan satu tahun.
"Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang panjang lamanya. Siapa kita untuk bisa menghakimi dia?" tegasnya.
Selanjutnya, Veronica menjelaskan pentingnya melakukan refleksi diri dan membayangkan jika kita berada di posisi orang yang dihakimi.
"Kalau kita tidak mau dihakimi orang lain, janganlah menghakimi orang lain. Kalau kita merasa tidak adil dihakimi oleh orang lain atas pilihan diri kita sendiri, tentu orang lain juga merasa begitu."
Mari dari itu, selain menahan lapar, haus, hawa nafsu, dan amarah, alangkah baiknya di bulan suci ini kita belajar merenungi kembali kebiasaan kita menilai orang lain selama ini. Setuju?
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih