Menuju konten utama

Waspada Sekstorsi, Kejahatan Siber yang Mengancam Anak dan Remaja

Orangtua digital yang baik perlu mempelajari modus-modus kejahatan online.

Waspada Sekstorsi, Kejahatan Siber yang Mengancam Anak dan Remaja
Ilustrasi pelecahan seksual anak lewat Facebook. FOTO/Alamy

tirto.id - Mulanya, Ashley dihubungi oleh seseorang yang mengaku bernama “Captain Obvious.” Sang Captain menyatakan bahwa ia mempunyai foto telanjang Ashley. Ashley tidak mempedulikannya. Ia merasa tidak pernah membagikan foto telanjangnya di media apapun dan tidak kepada siapa pun.

Captain mengancam akan menunjukkan foto yang ia maksud kepada teman-teman Ashley. Hingga kemudian, Ashley mulai percaya bahwa Captain selama ini dapat mengakses kamar dan kesehariannya melalui webcam di komputernya. Ashley pun menyerah.

“Awalnya, dia menginginkan foto saya dan mengatakan begitu saya memenuhi permintaannya, ia akan meninggalkan saya,” kata Ashley dalam kesaksiannya untuk Thorn, sebuah organisasi yang bertanggung jawab melindungi anak dari kejahatan online. "Karena saat itu saya begitu naif, saya menyerah dan melakukan apa yang tidak seharusnya saya lakukan, agar orang itu enyah dari hidup saya."

Namun, ternyata teror tersebut tidak berakhir. Captain menambah permintaannya, dari tujuh foto bertambah menjadi 60 foto setiap malamnya. Sialnya, foto-foto tersebut sarat dengan pose sensual Ashley, sesuai yang diminta Captain.

“Dengan berbagai pose dan posisi yang berbeda, sesuai dengan yang dia perintahkan. Kepolosan saya, martabat saya, kehormatan saya, telah benar-benar dicuri dari diri saya. Saya merasa jijik dan malu dengan diri saya sendiri,” kisah Ashley.

Baru setelah sebulan berlalu, kejadian tersebut terungkap oleh orangtua Ashley yang saat itu memeriksa akun MySpace-nya dan menyadari ada yang salah dengan anak perempuannya yang waktu itu masih setingkat SMA.

Orangtuanya kemudian melaporkan kasus tersebut ke FBI. Meskipun Captain terus melecehkan Ashley dengan mengirimkan foto telanjangnya ke teman-temannya, kasus tersebut terus ditindaklanjuti oleh FBI.

Akhirnya, tertangkaplah pelakunya. Captain Obvious adalah Lucas Michael Chandler, laki-laki berasal dari Florida berusia 27 tahun yang telah melakukan hal yang sama pada ratusan gadis lain dan mengaku memiliki lebih dari 80.000 foto mereka di komputernya. Atas serentetan kasus tersebut, Chandler dijatuhi hukuman 105 tahun penjara.

Baca juga:Hukuman Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak Akan Ditambah

Kejahatan yang dilakukan oleh Chandler tersebut termasuk kategori sekstorsi, kejahatan siber eksploitasi online. Intinya, sekstorsi adalah pemerasan, misalnya untuk mendapatkan konten seksual seperti yang Chandler lakukan kepada Ashley dan banyak gadis lain. Aksi ini juga bisa ditujukan untuk memperoleh uang dari korban dan melakukan kekerasan seksual terhadap korban secara langsung.

Pelaku biasanya mengambil foto dan video mesum korban dan mengancam untuk membagikannya kepada teman korban di media sosial, jika mereka tidak membayarkan uang atau melakukan hal-hal seksual yang pelaku minta.

Benjamin Wittes dalam laporannya "Sextortion: Cybersecurity, Teenagers, and Remote Sexual Assault" menyatakan bahwa korban sekstorsi sebagian besar adalah anak-anak di bawah umur. Dalam laporan tersebut, disebut bahwa korban sekstorsi terdiri dari 71 persen anak-anak di bawah umur 18 tahun dan 26 persen orang dewasa. Ia juga menjelaskan bahwa pelaku dapat menipu dan mendapat foto mesum korban melalui dua cara: 91 persen melalui manipulasi sosial media korban dan 43 persen melalui peretasan komputer korban (hacking).

Baca juga: Gunung Es Kekerasan Pada Anak

Berdasarkan laporan The Crimes Against Children Research Center yang telah melakukan survei terhadap 1.631 korban sekstorsi berusia 18-25 tahun diketahui bahwa sebagian besar pelaku telah mengetahui identitas korban sebelumnya.

Pada umumnya, pelaku adalah laki-laki, mulai dari mahasiswa sampai ayah tiri korban sendiri. Menurut laporan itu, sebanyak 60 persen pelaku mengetahui identitas korban sedang 40 persen pelaku bertemu korban secara online saja.

Dengan cara apa saja sekstorsi bisa terjadi?

Laporan itu mencatat bahwa hampir seluruh aplikasi online yang dipakai korban pernah dipakai oleh pelaku sebagai media kejahatan siber ini. Sejumlah 54 persen kejahatan terjadi melalui jaringan sosial korban, 41 persen melalui aplikasi pesan, 23 persen melalui aplikasi video call, 6 persen melalui sharing situs video, 12 persen melalui email, 9 persen melalui aplikasi kencan, 4 persen melalui platform game, dan 3 persen melalui situs imageboard.

Baca juga: Menangkal Kejahatan Siber dengan Literasi

Infografik Sekstorsi

Mencegah Sekstorsi

Untuk menekan terjadinya kejahatan siber seperti sekstorsi ini, orangtua perlu memperhatikan bagaimana dan di mana anak biasanya mengakses internet. Anak-anak di bawah umur yang mengakses internet di balik kamar dan menolak untuk dipantau memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi. Akan lebih baik jika anak-anak mengakses internet di ruang keluarga.

Selain itu, orangtua juga butuh menetapkan batas usia minimum untuk anak mengakses internet. Sue Scheff, penulis buku Shame Nation: The Global Epidemic of Online Hate mengatakan bahwa orangtua sudah seharusnya mempertimbangkan usia anak ketika mereka mengizinkan anak mengakses media sosial.

Menurut Scheff, hal ini penting untuk melindungi anak dari potensi pelecehan seksual online dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

"Apa yang saya catat dalam penelitian saya, banyak sekali korban yang berusia masih muda. Hal ini tentu disebabkan oleh orangtua yang abai terhadap batasan umur dan tidak menentukan situs-situs mana saja yang sebaiknya anak-anak akses. Sampai kemudian anak-anak menemukan caranya sendiri mengakses situs-situs tertentu yang tidak sesuai dengan usia mereka," kata Scheff.

Julie Cordua, CEO Thorn, organisasi yang bertanggungjawab melindungi anak, juga menyarankan agar setiap orangtua terus mendidik dirinya sendiri menjadi ‘orangtua digital yang baik.’

Cordua menyarankan untuk memeriksa situs web Family Online Safety Institute (FOSI) untuk mendapatkan panduan bagaimana menjadi orangtua digital yang baik, termasuk sering melakukan diskusi dengan anak-anak tentang apa yang mereka lihat dan dengar secara online. Hal ini bisa dimulai sejak anak berusia 5 atau 6 tahun, dan berlanjut sepanjang masa kecil dan masa remaja mereka.

Ia juga menyarankan agar orangtua mempelajari media sosial dan perangkat-perangkat teknologi yang anak pakai. Hal ini penting dalam rangka ‘menyelamatkan’ anak-anak kita dari teror-teror teknologi yang terus beragam ini.

“Pahami bagaimana media sosial bekerja, seluk-beluknya. Ini adalah salah satu cara Anda mengenal anak Anda dan terlibat dalam perkembangannya," katanya.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL ANAK atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani