tirto.id - Rosul Siregar masih ingat betul melihat tetangganya mengais tong sampah milik penghuni rumah lain demi sesuap makan. Dia juga ingat betul, baru tiga tahun tetangganya itu pensiun dari pekerjaan. Momen yang disaksikan dua tahun lalu itu membuat Rosul resah akan nasib dirinya saat pensiun kelak.
Bagaimana kekuatan finansial saat nanti pensiun membayangi pikiran Rosul. Berkaca pada tetangganya, masa pensiun yang semestinya masa tenang kehidupan hari tua, bisa berubah menjadi momok. Belakangan, tetangganya itu ditemukan meninggal dunia.
“Pada umumnya saya melihat orang setelah pensiun itu kehidupannya drastis berubah, jadi susah,” kata Rosul kepada Tirto, Kamis (9/10/2025).
Pria berusia kepala lima ini belum bisa membayangkan bakal melanjutkan kehidupan seperti apa setelah pensiun kerja. Rosul merasa bekerja di pabrik multinasional sebagai manajer bukan jadi jaminan dia dan keluarganya bakal hidup tenang dan berkecukupan di masa pensiun.
Kekhawatiran akan masa pensiun makin menjadi-jadi setelah Rosul mendengar soal potongan pajak uang pensiun dan pesangon. Singkat cerita akhirnya Rosul dan seorang pegawai swasta lain, Maksum Harahap mengajukan gugatan terhadap sejumlah Undang-Undang (UU) terkait perpajakan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perundangan yang Menjadi Persoalan
Beleid yang dia maksud adalah UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Seturut itu, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menjadi pengganti beleid soal PPh, juga dipersoalkan. Rosul tak habis pikir Pasal 4 UU PPh memasukkan uang pensiun sebagai wajib pajak.
Rosul yang pada mulanya mendapat informasi soal potongan pajak dari dana pensiun dan pesangon dari sejwatnya yang belum lama pensiun, makin gusar. Dari apa yang dia temukan, sedikitnya uang pesangon bakal terpotong pajak sebesar 25 persen. Tentu jumlah yang tak kecil untuk masa depan keluarganya, seorang istri dan tiga anak.
Dia tidak bisa terima begitu saja, dan kegusaran ini dia sampaikan ke kolega kerjanya. Semua sepakat bahwa ketentuan potongan uang hak pensiun dan pesangon mencederai hak pekerja yang telah pontang-panting bekerja seumur hidup.
“Padahal uang itu yang akan saya pakai untuk kehidupan ke depannya. Saya merasa negara ini memperlakukan rakyatnya seperti sapi perah. Dari situ saya berpikir Undang-Undang tidak berpihak pada yang lemah,” tutur Rosul.
Tak butuh waktu lama dia datang ke kantor hukum milik Ali Mukmin di bilangan Tambun, Bekasi. Selepas mengutarakan unek-unek soal janggal dua Undang-undang itu, dia diberi saran ajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.

Pada 25 September lalu, Rosul dan Maksum mengajukan gugatan. Bukan cuma Pasal 4 UU PPh, tapi juga Pasal 17 UU HPP yang digugat. Pasal yang terakhir disebut menyoal ketentuan besaran pajak penghasilan, yang dianggap para pemohon berdampak pada jumlah uang pensiun dan pesangon yang mereka terima.
Dalam petitumnya Rosul dan Maksum memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2). Seturut itu, petitum mereka mendesak pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas pensiun, pesangon sampai dana jaminan hari tua bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai pemerintah maupun pegawai swasta.
Dalam argumentasi hukum pemohon, Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945 telah jelas menyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, setiap kebijakan fiskal dan perpajakan semestinya diarahkan untuk memperkuat perlindungan sosial tersebut, bukan justru melemahkan.
Namun, yang terjadi adalah pengenaan pajak atas pesangon dan pensiun. Dalam kacamata pemohon, pengenaan pajak ini justru kontradiktif. Negara yang seharusnya berperan sebagai pelindung rakyat yang lemah, justru tampil sebagai pemungut yang mengurangi hak konstitusional warga negara di masa tua.
Sejalan itu, Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 juga menjamin setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Pemohon lantas berpikir pengenaan pajak uang pensiun dan pesangon bakal berdampak pada ekonomi pensiunan. Kerentanan hidup bisa kapan saja mengancam.
Menurut pemohon, beban fiskal tak sepatutnya dikenakan kepada mereka yang sudah pensiun. Hak konstitusional warga yang tercantum pada dasar negara lantas dianggap tercerabut. Sepatutnya, beban fiskal berupa pengenaan pajak cukup berlaku bagi warga semasa bekerja saja.
Pendapatan Warga Sudah Dipotong Pajak, saat Pensiun Kembali Dipotong Lagi
Advokat Themis Indonesia Dudy Agung Trisna sepakat bahwa gugatan ini berdasar karena ada hak konstitusional warga yang dilanggar. Dia memaknai pengenaan pajak pada uang pesangon dan pensiun sebagai bukti negara tidak terlampau kreatif mencari sumber-sumber pendapatan.
Agung menekankan gugatan ini mesti dipertimbangkan secara bijaksana oleh majelis hakim MK. Karena mau tak mau kepentingan gugatan ini menyangkut hajat orang banyak pula. “Harus dipahami ini ada norma dan hak konstitusional warga yang dilanggar. Kenapa dilanggar kan semasa aktif sudah dipotong pajak. Lalu kenapa harus dipotong lagi uang pensiunnya setelah sudah pensiun,” ujar Agung kepada Tirto, Kamis (9/10).
Kata Agung, muatan argumentasi hukum pemohon mesti diperkuat lagi dengan membandingkan keistimewaan para pejabat DPR yang bebas pajak PPh 21 sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan Dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
“Kan PPh 21 anggota DPR itu diberikan tunjangan administrasi pajak dalam nominal tertentu dan negara yang membayarkannya. Nah, itu yang menarik untuk dijadikan sebagai salah satu dalil juga. Karena dengan sejumlah keistimewaan dan fasilitas tunjangan semasa aktif menjabat, anggota DPR pajaknya tidak perlu lagi ditanggung negara,” ucap Agung.
Sementara itu, bagi Rosul, masa pensiun sudah di depan mata. Per 9 Oktober 2025 adalah hari terakhir dia bekerja. Selepas diangkat menjadi karyawan tetap pada 2002 silam, dia berharap sekali uang pesangon dan pensiun bisa mencukupi hari tua. Dia telah berhitung, setelah uang pensiun dan pesangon kena potong pajak, setidaknya uang jerih payahnya itu hanya bisa menambal kehidupan 4-5 tahun ke depan.
Estimasi itu dengan mempertimbangkan pengeluaran per bulannya, utamanya membiayai kelulusan anak kuliah. Dia juga berharap bisa membantu kembali perekonomian kerabatnya yang juga mulai kendur selepas pensiun.
Sembari itu, dia juga mesti menghitung pengeluaran dadakan semacam membiayai pernikahan anak sampai operasi tumor jinak yang akan segera dijalani.
“Saya harus cari cara untuk memperpanjang hidup. Kalau Tuhan masih kasih saya umur 10-20 tahun lagi kan enggak akan cukup pensiunan saya, apalagi dipotong negara pula,” ujar dia.
“Harapannya ya berhasil [gugatan di MK]. Saya tahu saya sudah pensiun. Kalau pun berhasil saya mungkin tidak akan menikmati tapi paling tidak rakyat ke depannya sudah tidak diperlakukan negara seperti itu,” imbuhnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































