tirto.id - Puluhan warga Kebun Sayur, Ciracas, Jakarta Timur berunjuk rasa di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (4/6/2018). Mereka menuntut Komnas HAM melanjutkan penanganan kasus sengketa tanah dengan Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD).
"Mereka dulu sengketa lahan dengan PPD. Warga sudah tinggal sejak tahun 80-an menggarap lahan yang terlantar, dan tahun 2009 PPD mengklaim kepemilikan lahan di sana," kata pengacara warga Charlie Albajili di kantor Komnas HAM, Senin (4/6/2018).
Sengketa tanah tersebut bermula pada Mei 2009 saat Manajer Umum PPD Ni Wayan Metri mengeluarkan surat permohonan pemutusan listrik ke pimpinan PLN cabang Ciracas terhadap warga Kebun Sayur yang sudah meninggali lahan tersebut sejak tahun 1980-an.
PPD mengklaim bahwa tanah yang ditinggali 450 KK itu ialah milik mereka. Klaim tersebut didasari pada PP soal Penyertaan Modal Negara yang mengatakan bahwa negara telah memberikan tanah Kebun Sayur kepada PPD sebagai modal.
"Tapi seperti yang kita tahu PP itu tidak bisa dijadikan dasar kepemilikan apalagi untuk mengusir warga. Yang bisa dijadikan dasar adalah sertifikat," kata Charlie.
Namun, Charlie mengatakan sampai saat ini PPD tidak bisa menunjukkan sertifikat atau bukti kepemilikan atas tanah Kebun Sayur.
Meski begitu, PPD sudah dua kali memberi ultimatum penggusuran kepada warga, yakni pada 10 Agustus 2009 dan 2 minggu selepas Idul Fitri tahun 2010. Bahkan PPD juga tak mau memberi ganti rugi kepada warga.
Warga pun bersikukuh mereka lebih berhak atas tanah karena warga sudah menempati lahan tersebut selama 30 tahun.
Pasal 1963 dan Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan jika warga telah menduduki suatu tanah secara terbuka dan dengan itikad baik selama 20 tahun berturut-turut, maka mereka berhak mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut.
Apabila masa pendudukan telah melampaui 30 tahun, hak atas tanah tersebut mutlak tidak dapat dituntut pihak ketiga.
"Namun kalau kita evaluasi lagi upaya untuk mendaftarkan tanah itu sulit sekali di BPN [Badan Pertanahan Negara]. Banyak sekali punglinya, jadi wajar kalau warga yang ekonominya lemah sulit mendaftarkan tanah walaupun mereka sudah 20 tahun tinggal di sana," jelas Charlie.
Untuk menyelesaikan sengketa, akhirnya warga dan PPD sepakat duduk bersama di Komnas HAM pada Mei 2012. Meski begitu, rupanya upaya mediasi tersebut tak mendapat titik terang. Sempat ada kesepakatan soal status quo tanah sebagai milik warga dan PPD dilarang menggusur sampai bisa menunjukkan bukti kepemilikan tanah.
Walau sudah ada kesepakatan, tapi pada 2017 PPD menjalin kerja sama dengan PT Adhi Karya untuk membangun apartemen LRT City Urban Signature yang merupakan bagian dari proyek Transit Oriented Development di lokasi tanah yang disengketakan. Bahkan PT Adhi Karya sudah membangun kantor pemasaran di sekitar permukiman warga.
"Sekarang sebenarnya belum ada ancaman yang real lagi, cuma warga datang ke sini untuk mencegah ancaman-ancaman itu," terang Charlie.
Sekitar 30 perwakilan warga pun dipersilakan untuk bertemu dengan komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan. Komnas HAM berjanji akan melanjutkan proses mediasi dan mengundang sejumlah lembaga terkait untuk menyelesaikan masalah ini.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dipna Videlia Putsanra