Menuju konten utama

Warga Kampung Gunung Bulu Bantul Yogya Tolak Pendirian Gereja

Warga RT 34 Kampung Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta menolak berdirinya gereja yang semula diperuntukkan sebagai rumah tinggal atau rumah pribadi.

Warga Kampung Gunung Bulu Bantul Yogya Tolak Pendirian Gereja
Warga Kampung Gunung Bulu, Sunardi (tengah) Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta dan Kepala RT 34 Samsuri (kanan) Kampung Gunung Bulu memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019). Tirto.id/Irwan A. Syambudi.

tirto.id - Warga RT 34 Kampung Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta menolak berdirinya gereja yang semula diperuntukkan sebagai rumah tinggal atau rumah pribadi.

Ketua RT 34 Samsuri (52) mengatakan yang menjadi alasan warga menolak pendirian gereja itu karena pemilik tanah yakni Tigor Yunus Sitorus (49) telah menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa tanah itu hanya akan didirikan rumah tinggal bukan rumah ibadah.

"Ini cukup meresahkan karena Bapak Sitorus menjadikan itu rumah ibadah tanpa sepengetahuan kami," kata Samsuri saat mediasi di Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019).

Ia menjelaskan bahwa sejak 2003 Sitorus telah menandatangani surat yang menyatakan bahwa "rumah yang saya bangun di wilayah RT 35 Gunung Bulu, Badut Lor, Argorejo, Sedayu, Bantul 'hanya untuk tempat tinggal'," seperti dikutip dari salinan surat pernyataan yang ditunjukkan Samsuri.

Kedua, ia menyatakan "pembangunan akan saya lanjutkan setelah IMB selesai." Kemudian dalam penutup surat itu terdapat kalimat "apabila ada penyimpangan di kemudian hari dari pernyataan saya ini, saya bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku."

Surat pernyataan yang ditunjukkan Samsuri tersebut ditandatangani Sitorus pada 10 April 2003. Selain itu, ada juga tanda tangan Ketua RT 34, Kepala Dukuh, Kepala Desa, Camat, Kapolsek, Danramil yang saat itu menjabat, lengkap dengan stempel dari instansi masing-masing.

Surat itulah yang menjadi dasar penolakan terhadap aktivitas ibadah yang beberapa bulan terakhir, kata Samsuri, intens dilakukan di rumah Sitorus. "Menurut kami, Bapak Sitorus mengkhianati perjanjian yang telah disepakati," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Samsuri, warga ingin agar Sitorus kembali menaati surat pernyataan yang telah ia tanda tangani. Saat rapat RT, kata dia, warga ingin rumah milik Sitorus tidak lagi digunakan sebagai tempat ibadah.

"Keinginan warga agar tempat tinggal Pak Sitorus tetap menjadi tempat tinggal. Itu yang diminta oleh masyarakat kami," ujarnya.

Salah seorang warga Kampung Gunung Bulu Sunardi (59) mengatakan bahwa warga merasa dikhianati karena Sitorus telah melanggar surat pernyataan yang telah ia tanda tangani.

"Kami tidak pernah melarang Pak Sitorus melaksanakan ibadah tapi kalau melakukannya di lingkungan Gunung Bulu, kami masyarakat menolak," kata Sunardi.

Sitorus sebagai seorang pendeta mengatakan bahwa pada 2003 saat pertama kali membeli tanah seluas 335 meter persegi di Kampung Gunung Bulu itu memang hendak ia dirikan sebagai gereja. Namun, niatnya itu mendapatkan penolakan warga.

"Tiba-tiba saat kami bangun itu [bangunan setengah jadi] dirobohkan. Saya tidak tahu siapa yang merobohkan. Kemudian saya mendapatkan panggilan dari kelurahan untuk pertemuan mediasi," kata dia.

Saat mediasi itulah, kata Sitorus, ia terpaksa menandatangani surat pernyataan yang berisi bahwa tanah miliknya tersebut tidak akan didirikan tempat ibadah.

"Kami berada dalam tekanan dan disuruh membuat pernyataan yang sebenarnya bukan saya yang membuat," kata dia.

Saat pertemuan itu, kata Sitorus, ia hanya diwawancarai tetapi tidak menyusun redaksi surat secara langsung. Baru beberapa hari setelahnya ia didatangi kepala dukuh untuk menandatangani surat pernyataan itu.

"Setelah tanda tangan saya tidak pernah mendapatkan salinan surat itu," kata Sitorus.

Seiring berjalannya waktu, Sitorus kemudian mendirikan bangunan untuk rumah tinggal. Namun, setelah adanya kebijakan pemutihan izin mendirikan bangunan (IMB) tempat ibadah ia mencoba mengajukan izin ke Pemerintah Kabupaten Bantul.

Pengajuan izin pada 2017 itu didasari Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul Nomor 98 Tahun 2016 tentang pedoman pendirian tempat ibadat.

Gayung bersambut, pengajuan Sitorus diterima pemerintah, ia kemudian mengantongi IMB per 15 Januari 2019. Sejak awal April 2019 lalu, ia kemudian resmi menggunakan rumahnya menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu untuk ibadah umat.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri