Menuju konten utama

Waktu yang Tepat Untuk Mereformasi Mahkamah Konstitusi

Ditangkapnya Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar oleh KPK  membuktikan reformasi lembaga peradilan konstitusi tertinggi di Indonesia itu harus segera dilakukan.  menilai kemunculan peraturan seperti Perppu nomor 1 tahun 2013, yakni masalah rekrutmen dan pengawasan, perlu kembali dikeluarkan agar kejadian yang sama tidak terulang.

Waktu yang Tepat Untuk Mereformasi Mahkamah Konstitusi
FOTO DOKUMENTASI. Ketua Mahkamah Konstitusi RI Arief Hidayat (tengah) didampingi Wakil Ketua MK Anwar Usman (kiri) dan Hakim MK Patrialis Akbar (kanan) memimpin sidang putusan perkara pengujian UU OJK di gedung MK, Jakarta, Selasa, 4 Agustus 2015. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, pada Rabu (25/1/2017) malam. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama/15.

tirto.id - Penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar merupakan kejadian kedua yang mencoreng nama Mahkamah Konstitusi. Kejadian ini menandakan minimnya pengawasan dan pemilihan hakim yang ideal untuk menjaga konstitusi Indonesia sesuai jalur. Tidak tertutup kemungkinan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kembali direvisi demi terciptanya lembaga peradilan konstitusi lebih baik.

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai pemerintah sebelumnya sudah berusaha mengakomodasi perubahan di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2014. Pemerintah mengeluarkan Perppu 1 tahun 2013 tentang perubahan UU MK. Perppu yang dikeluarkan era Presiden SBY untuk pengetatan evaluasi pemilihan hakim MK dan pengawasan MK.

"Celakanya, itu dibatalkan oleh MK sendiri," ujar Erwin kepada Tirto, Kamis (26/1).

Erwin bersama kawan-kawan pemantau peradilan lain sudah jauh-jauh hari menyatakan pembatalan aturan tersebut sebagai langkah menjauhkan MK dari reformasi peradilan. Perppu itu, bagi sekelompok pihak, dinilai justru menghalangi pekerjaan MK. Padahal, Perppu tersebut justru berusaha membuat MK tidak melakukan tindakan negatif.

"Tahun lalu juga terbukti ketika ketua MK memberikan katabelece kepada salah satu jaksa agung untuk meminta keluarganya untuk diangkat sebagai pejabat di kejaksaan," ujar Erwin.

"Dari dulu kita sudah dorong itu tetapi kayaknya MK sendiri tidak mau berubah. Mereka dengan kekuasaannya, kewenangan mereka membatalkan upaya-upaya untuk mereformasi di tubuh MK," lanjut Erwin.

Dirinya bersama LSM pemantau peradilan lain pun sudah berusaha untuk menggugat mekanisme rekrutmen hakim konstitusi. Mereka mengajukan agar hakim konstitusi tidak mempunyai latar belakang politik lima tahun terakhir. Akan tetapi, gugatan tersebut dibatalkan oleh Patrialis Akbar dan Ketua MK saat itu, Hamdan Zoelva.

Pihak yang mencoba mereformasi pun tidak hanya dari masyarakat maupun pemerintah. DPR pun sempat berusaha mereformasi Mahkamah Konstitusi lewat perubahan UU Mahkamah Konstitusi tahun 2009. Pada saat itu, DPR berusaha membuat aturan yang berusaha untuk mengawasi MK. Sayang, niatan tersebut diduga tidak membawa semangat perubahan karena parpol justru ingin mengontrol MK.

"Jadi ada ide namanya dewan pengawas MK yang diisi oleh orang-orang partai. Itu kan tidak sesuai dengan maktub yang kita bayangkan," ujar Erwin.

Menurut Erwin, kemunculan serangkaian kejadian, termasuk ditangkapnya Patrialis Akbar di MK membuktikan reformasi lembaga peradilan konstitusi tertinggi di Indonesia ini perlu dilakukan. Ia menilai kemunculan peraturan seperti Perppu nomor 1 tahun 2013, yakni masalah rekrutmen dan pengawasan, perlu kembali dikeluarkan agar kejadian yang sama tidak terulang.

Selain itu, penegakan pasal 18 dan pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi tentang perekrutan dan transparansi pelaksanaan seleksi hakim MK perlu dioptimalkan kembali. Cara tersebut dapat dilakukan dengan membentuk panitia seleksi hakim konstitusi.

Sampai saat ini, Mahkamah Agung belum sekalipun menerapkan metode rekrutmen hakim konstitusi secara terbuka. Presiden SBY juga secara aklamasi menempatkan Prof Maria dan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Padahal, pemerintah selalu menempatkan pansel. Saat itu, mereka sempat menggugat keputusan Presiden SBY. Akan tetapi tidak diproses karena kalah di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, Erwin berharap pemerintah era Presiden Jokowi segera mengeluarkan perppu tentang pengetatan pola rekrutmen Mahkamah Konstitusi serta pengawasan Mahkamah Konstitusi. Apabila argumentasi ditolak MK, DPR harus merevisi UU MK agar terjadi reformasi MK berjalan. Selain itu, Erwin menilai keterlibatan pengawasan eksternal juga diperlukan

Anggota DPR Komisi III Desmon J. Mahesa mengaku sudah membahas masalah adanya dugaan tindak koruptif di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Politikus Gerindra ini mengatakan, mereka membuat sejumlah kesepakatan dalam proses rekrutmen hakim konstitusi di masa depan.

"Dalam konteks ini Kami tadi sepakat untuk ke depan ini bicara lebih kepada integritas orang," ujar Desmond kepada Tirto.

Desmond selaku Anggota Komisi III mengakui kalau DPR sempat kecolongan saat pemilihan Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi. Setelah munculnya kasus Akil dan Patrialis, DPR akan mencari hakim yang berintegritas untuk mengawal konstitusi. Ia mengaku, karakter integritas terdiri atas negarawan, yang sudah saklek dengan Undang-undang, yang betul-betul mencintai republik.

Secara pribadi, Desmon mempertanyakan tentang kemungkinan hakim lain yang terlibat dalam kasus korupsi. Ia berpendapat, seorang hakim konstitusi tidak mungkin bisa mempengaruhi keputusan tanpa mengajak hakim lain. Oleh karena itu, politikus berkacamata ini memprediksi kasus korupsi Akil melibatkan hakim lain atau "jemaah" dan apakah ada jemaah pula dalam kasus Patrialis.

"Dalam kasus patrialis ada gak jemaahnya? Kalau KPK gak bisa buktikan ada jemaahnya, KPK lemah juga," ujar Desmond.

Desmon mengatakan, DPR akan rapat dengan komisi III untuk membahas kasus ini. Mereka juga mengundang Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat. Komisi yang dipimpin Bambang Soesatyo ini akan mendengarkan dan menanyakan sejumlah poin agar lembaga hukum konstitusi tersebut bisa beroperasi dengan baik. Desmon mengaku, tidak tertutup kemungkinan akan mengusulkan perubahan UU MK dalam waktu dekat. Akan tetapi, mereka akan mendengarkan pembicaraan dengan Mahkamah Konstitusi dan pemerintah sebelum membahas wacana perubahan ini.

Baca juga artikel terkait OTT HAKIM MK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan