Menuju konten utama

Wajah Buram Pelayaran di Balik Insiden KMP Tunu Pratama Jaya

Hasil investigasi KNKT pada insiden tenggelamnya kapal di Selat Bali menunjukkan faktor manusia dan teknis paling berperan terhadap terjadinya kecelakaan.

Wajah Buram Pelayaran di Balik Insiden KMP Tunu Pratama Jaya
Kerabat korban tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya sembahyang di Dermaga Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (5/7/2025). Sembahyang tersebut untuk mendoakan agar para korban segera diketemukan. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc.

tirto.id - Karamnya kapal motor penumpang (KMP) Tunu Putra Jaya di Selat Bali pada Rabu malam lalu, setidaknya menebalkan masih adanya rumpang dalam tata kelola pelayaran Tanah Air. Berjuluk negara maritim, sepantasnya Indonesia memiliki sistem transportasi laut jempolan. Namun berulangnya kecelakaan kapal penumpang seolah menunjukkan porak-pariknya pengelolaan lalu lintas perairan negeri ini.

Data menunjukkan bahwa kecelakaan kapal di Indonesia lebih banyak disebabkan faktor kelalaian. Dewan Maritim Indonesia (DMI) pernah melaporkan bahwa 72 persen dari kasus kecelakaan kapal disebabkan oleh kesalahan manusia (human error). Hal ini semestinya menjadi pelajaran penting bagi regulator, administrator, hingga operator pelayaran bahwa keselamatan bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar.

Lagi-lagi penumpang sebagai konsumen yang paling dirugikan. Belum bicara nyawa yang hilang imbas insiden di perairan ini. Berulangnya kecelakaan kapal penumpang mestinya tak sekadar mencuri perhatian.

Ketua Forum Transportasi Maritim Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Hafida Fahmiasari, menilai efektivitas sistem inspeksi dan sertifikasi kelaikan kapal penumpang di Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan, terutama pada jalur padat seperti di Selat Bali. Meskipun regulasi telah tersedia dan secara formal cukup komprehensif, pelaksanaannya kerap kali tidak konsisten.

“Pengawasan seringkali bersifat administratif—terpusat pada dokumen, bukan inspeksi fisik secara rutin,” kata Hafida kepada wartawan Tirto, Jumat (5/7/2025).

Alhasil, kapal yang beroperasi melebihi usia teknis ideal pun masih saja ditemukan. Tidak jarang pula proses sertifikasi berjalan tanpa verifikasi menyeluruh terhadap kondisi kapal dan kelayakan awak.

Keluarga korban KMP Tunu Pratama Jaya bertahan di Pos SAR

Sejumlah keluarga korban tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya menunggu Informasi di Posko Operasi SAR di Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (4/7/2025). Memasuki hari ketiga setelah tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, sejumlah kerabat dari korban yang belum ditemukan masih bertahan di posko untuk menanti kabar pencarian Tim SAR. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/rwa.

Selain itu, kata Hafida, kurangnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) teknis di Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) maupun Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di pelabuhan kelas kecil dan menengah, membuat sistem pengawasan menjadi lemah.

Terutama ketika volume kapal meningkat saat musim puncak seperti Lebaran atau Natal. Terlebih, Selat Bali dikenal sebagai salah satu jalur tersibuk antarpulau yang semestinya memerlukan sistem inspeksi berbasis risiko (risk-based inspection).

“Di mana kapal-kapal dengan potensi risiko tinggi mendapat prioritas pengawasan,” ucap Hafida.

Menurut Hafida, terdapat tiga tantangan utama dalam memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan pelayaran oleh operator pelayaran. Pertama yakni asimetri insentif dan biaya. Banyak operator pelayaran–terutama perusahaan swasta kecil–menghadapi tekanan biaya operasional tinggi.

Sementara tarif angkutan penumpang ditetapkan rendah atau stagnan. Hal ini menciptakan insentif untuk mengurangi biaya pemeliharaan dan keselamatan.

Tantangan berikutnya, terjadi fragmentasi pengawasan. Pengawasan di lapangan dilakukan berbagai instansi seperti Kementerian Perhubungan, Syahbandar, atau Otoritas Pelabuhan– namun sayangnya tak selalu terkoordinasi. Tidak ada sistem terpadu yang secara real-time memantau pelanggaran operator atau riwayat keselamatan kapal.

Tantangan terakhir adalah minimnya sanksi yang menimbulkan efek jera kepada pelanggar. Hafida melihat, ketika terjadi pelanggaran, sanksi administratif tidak selalu diikuti investigasi menyeluruh atau konsekuensi hukum serius terhadap operator atau individu bertanggung jawab.

Diperlukan peningkatan standarisasi keselamatan berbasis demand dan tarif yang rasional. Sistem tarif saat ini belum mempertimbangkan kebutuhan untuk investasi keselamatan dari operator pelayaran. Penyesuaian tarif berbasis musim atau demand mestinya diikuti dengan syarat kepatuhan standar keselamatan.

Digitalisasi pengawasan dan audit keselamatan juga belum berjalan terkoordinasi.

“Lintas lembaga (Kemenhub, KNKT, Otoritas Pelabuhan) perlu berbagi data secara digital terkait hasil inspeksi, pelanggaran, dan insiden,” terang Hafida.

Pencarian hari ke 2 korban KMP Tunu Pratama Jaya

Sejumlah personel Tim SAR gabungan melaksanakan pencarian korban tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Perairan Selat Bali, Jembrana, Bali, Jumat (4/7/2025). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc.

Diberitakan Tirto sebelumnya, Kapal motor penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya dengan rute Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi dalam posisi berlayar menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali, tenggelam di Selat Bali pada Rabu (02/7/2025), pukul 22.56 WIB atau sekitar 25 menit setelah lepas jangkar. Berdasarkan manifes, kapal jenis roll-on roll-off (RoRo) buatan tahun 2010 yang memiliki panjang 63 meter dan lebar 12 meter itu membawa 65 penumpang yang terdiri atas 53 orang penumpang dan 12 orang kru kapal.

Terdapat 22 kendaraan di dalam kapal tersebut, termasuk 14 truk tronton. Kapal tersebut diduga tenggelam akibat mengalami kebocoran di ruang mesin pada pukul 00.16 WITA.

Berdasarkan hasil penyelidikan awal oleh pihak kepolisian, petugas mendengar informasi dari kanal 17 bahwa KMP Tunu Pratama Jaya meminta tolong sebab ada kebocoran mesin. Sekitar pukul 00.19 WITA, kapal mengalami black out (mati listrik total).

Pada pukul 00.22 WITA, KMP Tunu Pratama Jaya 388 yang berada dalam posisi mengejar dan membantu KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam, menginformasikan bahwa kapal sudah terbalik dan hanyut ke arah selatan dengan koordinat -08°09.371', 114°25, 1569.

Hingga Jumat (4/7/2025) petang, total korban yang berhasil ditemukan mencapai 36 orang dengan rincian enam orang meninggal dunia dan 30 lainnya selamat. Sesuai manifes, masih ada 29 orang korban lain yang dinyatakan hilang.

Upaya Tim SAR gabungan sampai Jumat (4/7/2025) pukul 16.00 WIB, tidak hanya menyisir laut, pencarian juga dilakukan melalui udara dan darat. Pencarian di laut dilakukan di wilayah perairan Selat Bali, dari utara hingga selatan. Pada saat yang bersamaan, tim udara juga melaksanakan pencarian dari arah utara ke selatan.

Sedangkan tim darat melakukan pemantauan seluruh wilayah pesisir selat Bali, baik dari sisi Ketapang maupun dari sisi Gilimanuk.

Deputi Operasi dan Kesiapsiagaan BASARNAS, R. Eko Suyatno, mengatakan bahwa upaya pencarian yang dilakukan tim SAR gabungan pada H+2 ini dimulai sejak pukul 07.00 WIB, namun belum menemukan tanda-tanda keberadaan korban.

Eko menjelaskan, kendala yang dihadapi oleh tim gabungan dalam proses pencarian Jumat itu adalah kondisi cuaca di perairan selat Bali yang tidak bersahabat.

“Kondisi cuaca hujan ringan, kecepatan angin berkisar di antara 4 – 14 knots dari arah selatan ke barat daya, ketinggian gelombang berkisar di antara 0,4 – 1,25 meter, serta kecepatan arus 0,86 – 2,06 m/s dominan ke arah selatan,” kata Eko dalam keterangan tertulis, Jumat malam.

Peristiwa Berulang

Selat Bali memang terkenal sebagai wilayah ‘angker’ bagi para pelaut. Dilansir oleh Harian Kompas pada 2021 silam ketika insiden tenggelamnya kapal penumpang motor Yunicee di Selat Bali, seorang pelaut bahkan bersaksi bahwa kapal dalam kondisi black out bisa hanyut sejauh 300 meter dalam hitungan 10 menit di perairan Selat Bali.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, tercatat 4 peristiwa kapal tenggelam dan satu kapal kandas di Selat Bali. Sebelum insiden KMP Tunu Pratama Jaya, pada 2023 lalu KM Sanjaya 86 juga dilaporkan hilang kontak di perairan Selat Bali. Saat itu, mereka mengirim pesan singkat mengalami kebocoran. Kapal yang ditumpangi 16 orang itu sampai sekarang tak ditemukan.

Di sisi lain, Hasil investigasi KNKT pada insiden tenggelamnya kapal di Selat Bali sejauh ini menunjukkan bahwa faktor manusia dan teknis menjadi paling berperan terhadap terjadinya kecelakaan. Misal pada investigasi KNKT atas kecelakaan KMP Rafelia II di Selat Bali pada 2016 silam.

KNKT menemukan bahwa distribusi muatan kendaraan secara total di mana rata-rata adalah truk tronton berbak angkut tinggi pada kapal Kapal Feri Rafelia 2, tidak terletak pada COG [Course Over Ground] kapal yang seharusnya sehingga menyebabkan kemiringan kapal. Ini menyebabkan kemiringan kapal terus bertambah secara bertahap sering dengan terjadinya pergerakan kapal sehingga pada suatu titik mencapai kemiringan 35 derajat.

Beberapa faktor lain di antaranya, pintu rampa haluan baru kapal tak tertutup rapat sehingga menyebabkan air laut masuk ke dalam geladak kendaraan. Ditambah, awak kapal ternyata tidak memeriksa sarat kapal saat akan berangkat setelah pemuatan akhir selesai.

Evakuasi Jenazah Korban KMP Tunu Pratama Jaya

Prajurit TNI AL memindahkan jenazah dari atas KRI Tongkol-813 ke ambulans di Pelabuhan Pusri Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (6/7/2025). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/agr

Faktor manusia turut ditemukan KNKT dalam hasil investigasi kecelakaan KMP Yunicee di Selat Bali pada 2021. KNKT menduga kuat Yunicee sudah mengalami kelebihan muatan ketika berangkat dari Pelabuhan Ketapang. Perhitungan ulang stabilitas kapal menunjukkan terjadi permasalahan. Selanjutnya, air laut yang berkumpul di geladak memicu penurunan stabilitas kapal secara signifikan. Hal itu merupakan kontribusi utama yang mengakibatkan kapal terbalik dan tenggelam.

Dihimpun dari data di laman KNKT, rentang waktu 2020-2025 tercatat 63 kasus kecelakaan di sektor transportasi pelayaran. Pada periode yang sama, terjadi 19 kasus kapal tenggelam yang menjadi jenis kecelakaan pelayaran terbesar kedua, di bawah insiden kapal terbakar.

Sayangnya, rekomendasi yang dirilis KNKT dalam pengusutan kecelakaan pelayaran tidak semuanya dilaksanakan. Masih banyak pihak-pihak yang belum menjalankan/menanggapi rekomendasi yang diberikan KNKT. Hal ini mencerminkan bahwa kepatuhan akan prinsip keselamatan pelayaran masih terus diabaikan meskipun insiden terus terjadi berulang.

Kembali ke tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, menilai perlu ada yang bertanggung jawab secara penuh atas terjadinya kecelakaan itu. Siswanto menilai, berulangnya insiden sektor pelayaran Indonesia disebabkan masih terjadinya ‘main mata’ antara regulator, administrator, hingga operator.

Ia mencontohkan, sudah jamak diketahui kapal yang tidak bisa berlayar karena tak diberikan surat persetujuan berlayar (SPB) sering kali ‘menyogok’ pihak administrator agar diberikan SPB meskipun kapal tidak layak berlayar. Praktik kotor ini, menurut Rusdi, sering terjadi di berbagai lini sektor pelayaran sehingga membuat keselamatan penumpang dikorbankan.

Selain itu, terjadi karena biaya peremajaan kapal terbilang mahal. Alhasil, operator menekan pengeluaran dengan mengurangi aspek keselamatan dan tetap diloloskan karena menyuap administrator.

“Apa yang paling gampang? Ya mengurangi alat keselamatan. Sekoci misalnya, standar kapal sekian, dikurangi sekian. Jaket pelampungnya sekian, dikurangi sekian. Implikasinya nomor dua, gaji karyawan, gaji pelautnya yang dikorbankan. Akhirnya pelaut bekerja dengan spirit yang asal-asalan,” ucap Rusdi kepada wartawan Tirto, Jumat (4/7/2025).

Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi menginstruksikan KNKT melakukan investigasi penyebab kecelakaan KMP Tunu Pratama Jaya. Terkait penumpang kapal yang tidak terdaftar dalam manifes, Dudy mengatakan pihaknya akan melakukan konfirmasi dan verifikasi ulang untuk memastikan kebenarannya. Ia turut meminta operator penyeberangan dan masyarakat untuk bersama-sama memperkuat budaya keselamatan di sektor penyeberangan.

Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim sekaligus dosen dari Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim, mengingatkan langkah konkret yang dilakukan Kemenhub dan operator pelayaran tidak cukup dilakukan dari aspek teknis semata dalam meningkatkan keselamatan dan akuntabilitas pelayaran.

Diperlukan komitmen politik semua stakeholder kelembagaan negara terkait menghilangkan ego sektoral yang menjadi biang kerok lemahnya koordinasi. Selain itu, partisipasi publik dalam hal pengawasan diperlukan untuk meminimalisir kongkalingkong antara operator dan pengawas yang berimbas pada kecelakaan dalam pelayaran akibat pengabaian kelaikan kapal.

Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya menjadi gejala dari penyakit struktural tata kelola transportasi perairan nasional. Alhasil, insiden ini tak bisa dipandang sekadar imbas teknis individual semata, namun disebabkan juga problem sistemik yang berulang di negara ini.

“Seringnya kejadian ini menggambarkan bahwa adanya kegagalan dalam tata kelola pelayaran nasional (national shipping governance), khususnya menyangkut keselamatan pelayaran, pengawasan, dan penegakan aturan,” tegas Karim kepada wartawan Tirto, Jumat (4/7/2025).

Baca juga artikel terkait KAPAL TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky