tirto.id - Fraksi PDIP meminta agar kebijakan defisit fiskal di 2025 atau di awal pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mengarah pada keseimbangan alias 0 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Permintaan itu dilantangkan dalam Rapat Paripurna DPR RI tentang penyampaian pandangan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun Anggaran 2025, Selasa (28/5/2024).
“Kebijakan defisit di APBN 2025 [harus] diarahkan pada surplus anggaran atau defisit 0 persen,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP, Edy Wuryanto.
Eddy menuturkan, APBN pada masa transisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo ke pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto, tidak sepantasnya diberikan beban defisit atas program-program yang belum tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah baru.
Karena itu, agar defisit 0 persen dapat tercapai, belanja negara harus dioptimalkan untuk belanja rutin. Sebaliknya, belanja modal yang berisi proyek-proyek yang belum tercantum dalam RKP atau RPJMN baru tidak seharusnya dimasukkan.
Mendengar permintaan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku akan mempertimbangkan dan bakal membahas usulan surplus anggaran atau defisit 0 persen dalam RAPBN 2025 pada rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selanjutnya. Agenda rapat dijadwalkan pada Selasa (4/6/2024).
“Nanti kita bahas di dalam jawaban, nanti ya minggu depan. Kan tadi banyak pandangan (dari fraksi-fraksi),” tutur Sri Mulyani, di Komplek Parlemen, usai Rapat Paripurna, Selasa (28/5/2024).
Namun, rasanya tidak mungkin APBN bisa surplus jika menengok pelbagai program ambisius Prabowo seperti makan siang gratis dan isu penambahan kementerian baru di masa pemerintahan akan datang. Maka, wajar sekiranya Sri Mulyani, mematok defisit APBN dalam KEM PPKF pada 2025 di kisaran 2,45 – 2,82 persen.
Defisit 2,45 – 2,82 persen tersebut cukup realistis dengan mempertimbangkan pendapatan negara yang diperkirakan mencapai kisaran 12,14 persen hingga 12,36 persen dari PDB. Sementara belanja negara berada kisaran 14,59 persen sampai dengan 15,18 persen PDB.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, mengatakan, defisit fiskal merupakan sebuah konsekuensi dari keterbatasan penerimaan negara. Sementara di sisi lain masih begitu banyak program yang harus dibiayai oleh negara melalui APBN.
Toh, jika menengok ke belakang selama ini belum ada mampu berhasil membuat APBN tahunan surplus. Dalam lima tahun ke belakang pemerintahan Jokowi saja, APBN Kita selalu defisit meski trennya mengalami penurunan.
Misal pada 2023 defisit anggaran mencapai Rp347,6 triliun atau 1,65 persen dari PDB. Kemudian di 2022 defisit APBN sebesar Rp460,4 triliun atau 2,35 persen dari PDB, defisit APBN 2021 sebesar Rp775,06 triliun 4,57 persen dari PDB, defisit APBN 2020 sebesar Rp956,3 triliun atau 6,09 persen terhadap PDB, dan defisit APBN 2019 sebesar Rp296,0 triliun atau sebesar 1,84 persen terhadap PDB.
“Keinginan untuk membuat APBN surplus saya kira baik, tapi pertanyaannya adalah apa tujuan dari membuatnya surplus, bagaimana membuatnya surplus?” ujar Piter mempertanyakan, kepada Tirto Rabu (29/5/2024).
Masalahnya, lanjut Piter, pemerintah tidak bisa mendadak membuat penerimaan negara melonjak tinggi. Sebaliknya, banyak belanja-belanja negara yang dibutuhkan dan beririsan dengan masyarakat, sehingga jika belanja negara yang dikorbankan bisa berdampak luas.
“Kita juga tidak bisa serta merta mengurangi banyak pengeluaran seperti mengurangi subsidi,” ujar dia.
Menurut Piter, yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan efisiensi. Itu pun, kata dia, juga bisa berdampak negatif mengerem perekonomian yang pada ujungnya tidak terciptanya lapangan kerja baru.
“Pada akhirnya justru masyarakat yang akan semakin menderita, pengangguran dan kemiskinan meningkat,” ujar dia.
Mencapai Defisit Fiskal 0 Persen Memungkinkan?
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai untuk mencapai defisit fiskal 0 persen tidak mudah dan membutuhkan waktu dan bersifat gradual. Menurut dia, tahun ketiga pemerintahan lebih memungkinkan untuk mencapai target ini.
“Untuk menjaga defisit fiskal menjadi 0 persen, hanya ada dua langkah utama dan strategis dari pemerintah,” ujar Ajib kepada Tirto, Rabu (29/5/2024).
Pertama, kata Ajib, pemerintah harus mengurangi belanja kementerian/lembaga. Hal ini menjadi tantangan tidak mudah, karena pemerintahan baru, pada 2025 nanti juga akan melakukan program-program populis yang menjadi cost center di APBN, misalnya program makan siang gratis. Juga komitmen melanjutkan pembangunan IKN, yang tentunya akan mempunyai porsi pengeluaran di struktur keuangan negara.
“Justru tahun 2025 ini pengeluaran akan cenderung naik dibandingkan tahun 2024. Artinya, kisaran angka defisit fiskal potensial di atas Rp500 triliun,” ujar dia.
Kedua, adalah menambah potensi penerimaan. Pemerintah selain melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, harus lebih fokus pada dua sumber pendapatan negara lainnya, yaitu penerimaan negara bukan pajak dan deviden atas BUMN.
Namun secara teknis, Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan indikator defisit atau surplus APBN hanya merupakan satu di antara sekian banyak hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam menyusun APBN. Baik sifatnya di tahun berjalan ataupun di tahun berikutnya.
Yusuf menyebut, salah satu indikator lain tidak kalah penting masuk dalam faktor konsiderasi menyusun APBN adalah outcome yang ingin dicapai dari kebijakan penerimaan dan belanja yang dilakukan di APBN. Sebab ini akan dilihat sebagai output jangka panjangnya ingin disasar pemerintah dalam menyusun kebijakan APBN.
“Jadi, ketika pemerintah misalnya ingin menyasar outcome penurunan tingkat kemiskinan dalam jangka menengah katakanlah 5 tahun, maka APBN harus disusun secara bertahap dan berkelanjutan untuk menyasar program tersebut,” ujar dia kepada Tirto.
Apabila dalam rancangannya ternyata APBN harus didesain defisit untuk menyasar target-target tersebut, pemerintah memang harus menjalankan kebijakan defisit APBN. Umumnya, kata dia, ketika pemerintah ingin melakukan ekspansi fiskal untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan belanja harus diikuti dengan peningkatan defisit anggaran.
“Poin krusialnya, sebenarnya ada pada memastikan evaluasi dari setiap belanja itu dilakukan setiap tahunnya dan apakah program suatu belanja itu memenuhi output jangka pendek yang sebelumnya telah disusun oleh pemerintah,” ujar dia.
Di sisi lain, kata Yusuf, sebelum menentukan outcome yang ingin dicapai, tentu sebuah kebijakan perlu melewati tahapan analisis biaya dan manfaat, dari suatu program. Sederhananya ketika sebuah program itu punya analisis biaya dan manfaat lebih baik dibandingkan program yang mirip, maka pemerintah dan legislatif harus sepakat untuk kemudian menjalankan program ini dengan tahapan APBN yang disepakati.
Dalam tahapan analisis biaya dan manfaat ini, lanjut dia, segala kekurangan dan kelebihan dari tujuan sebuah program harus diidentifikasi. Proses identifikasi ini, sedikit banyak akan mempengaruhi keberhasilan program tersebut.
Misalnya, jika ada sebuah program secara biaya itu relatif lebih mahal karena membutuhkan data terbaru yang harus di-update, namun dalam konteks memastikan program itu berjalan dengan baik tetap perlu penambahan biaya. Karena itu akan menjadi suatu hal yang bisa atau harus diakomodasi oleh otoritas terkait.
“Jadi ini juga akan berkaitan dengan apakah kemudian program tersebut akan berhasil dan memenuhi sasaran output dan outcome pemerintah di program tersebut,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz