tirto.id - Salah satu kisah legendaris sebelum Muhammad menjadi nabi adalah tentang terobosannya dalam mengelola sengketa antarklan. Bagi para sejarawan Islam, cerita ini menjadi contoh kualitas moral, integritas, dan visi keadilan Muhammad.
Kisahnya bermula ketika suatu hari Kakbah diterjang banjir dan mengalami kerusakan parah. Apalagi dinding Kakbah sudah rapuh dimakan usia.
Hal yang menjadi ganjalan adalah orang-orang Quraisy takut terkena bencana yang ditimpakan dewa-dewa penghuni Kakbah. Mitos yang berkembang di masyarakat Makkah saat itu menyatakan jika Kakbah dipugar, para berhala akan murka dan melemparkan azab yang menakutkan. Tapi akhirnya para pembesar Quraisy sepakat untuk merenovasi bangunan itu secara besar-besaran.
Orang pertama yang berani mengajukan diri sebagai pengayun martil pemugaran adalah Walid bin Mughirah. Ia sendiri sejatinya takut. Dengan gemetaran, ia lalu menghancurkan pelan-pelan dinding Kakbah. Anggota suku Quraisy lain menanti hingga esok hari adakah kesialan yang menimpa Walid. Namun ternyata Walid baik-baik saja. Dengan kata lain, dewa-dewa mengizinkan mereka memugar kubus besar itu.
Menurut beberapa sumber tradisional, di waktu bersamaan sebuah kapal dagang dari Romawi berlabuh di Jeddah. Kapal itu mengalami kerusakan parah dan rupanya mustahil diperbaiki. Walid mendengar kabar tersebut kemudian segera berangkat ke Jeddah untuk menawar kayu-kayu kapal. Pemiliknya tidak keberatan.
Si juragan kapal, seseorang bernama Baqum, rupanya mahir juga dalam konstruksi bangunan. Ia pun diajak Walid ke Makkah untuk membantu renovasi Kakbah. Untuk hal ini, Baqum juga tidak keberatan.
Kakbah lalu dipugar atas petunjuk Baqum dengan bantuan dari seorang tukang kayu beragama Kristen Koptik yang tinggal di Makkah. Setelah pemugaran hampir selesai, para pembesar Quraisy sepakat untuk mendirikan ulang tembok Kakbah dari empat pojokan. Masing-masing penjuru dibangun perwakilan bani-bani di Makkah.
Menurut cendekiawan Mesir Muhammad Husain Haekal, Nabi Muhammad turut serta dalam pemugaran Kakbah sebagai salah satu perwakilan bani Hasyim. Ia juga ikut memindahkan batu-batu dindingnya.
“Semua dinding bangunan Ka’bah dirobohkan dan batu-batunya diangkut ke tempat lain. Namun, mereka tidak berhasil mengangkat batu-batu hijau yang tertanam di bagian bawah bangunan sehingga mereka membiarkannya sebagai fondasi,” catat Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (2015: 152).
Permasalahan besar muncul kala orang-orang harus menentukan siapa atau perwakilan klan mana yang akan memasang kembali Hajar Aswad (batu hitam yang terpacak di dinding Kakbah dan dipercaya sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim). Ini menjadi problem pelik lantaran betapa pentingnya status Hajar Aswad. Tiap perwakilan menginginkan baninya lah yang hendak memasang batu hitam itu. Sengketa pun muncul di antara mereka.
Selama berhari-hari, tidak ada kesepakatan bulat. Masing-masing klan juga berhati-hati mengambil langkah atau keputusan. Salah sedikit, bisa-bisa terjadi perang antarklan—yang sudah tidak terjadi lagi selama puluhan tahun.
Dua klan besar, yaitu bani Abduddar dan bani Adi, lantas bersepakat tidak akan meloloskan satu bani pun untuk memasang Hajar Aswad. Mereka juga berunding tentang solusi terbaik agar tak ada klan yang memonopoli tugas terhormat itu. Semua masih kebingungan hingga kemudian seseorang mengajukan usul.
“Abu Umayyah bin Mughirah dari Bani Makhzum bangkit berdiri dan mengusulkan kepada para pemuka Quraisy agar membiarkan keputusan mengenai pemindahan Hajar Aswad kepada orang yang paling pertama memasuki Ka’bah dari arah Shafa,” tutur Haekal (hlm. 153).
Mereka akur dengan usulan Abu Umayyah. Dan esok harinya mereka semua menanti.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun sampai. Pada pagi hari seseorang tiba-tiba memasuki Kakbah dari arah Shafa. Orang itu adalah Muhammad.
Mereka senang dengan peristiwa kebetulan itu. Muhammad punya reputasi yang baik sebagai orang jujur dan bisa dipercaya (al-amin). Karena reputasi tersebut, orang-orang tidak khawatir Muhammad akan bertindak lancung. Saat itu ia sudah beberapa tahun menikah dengan Khadijah; umurnya sekitar awal 30-an.
Maka demikianlah kisah legendaris itu kemudian terjadi.
Muhammad meminta sehelai kain, lalu ia hamparkan di atas tanah. Tanpa menoleh kanan-kiri, ia mengambil sendiri Hajar Aswad dan menaruhnya di atas kain. Orang-orang bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang akan dilakukan cucu Abdul Mutalib ini.
Tak lama kemudian, sebagaimana dikutip Haekal, Muhammad berkata:
“Aku persilakan pemimpin tiap-tiap kabilah untuk maju dan masing-masing memegang ujung kain ini, lalu bersama-sama mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya semula.”
Setelah kain diangkat, Muhammad memasang sendiri Hajar Aswad ke tempatnya semula, yaitu pojokan Kakbah bagian timur laut.
Semua orang bersorak-sorai kegirangan. Para tetua kabilah pun lega.
Sejak itu reputasi dan integritas Muhammad kian melonjak di kalangan suku Quraisy. Kelak, hanya beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, reputasi dan integritasnya dipertaruhkan. Banyak orang Makkah menganggap apa yang diklaim Muhammad sebagai wahyu Tuhan adalah kebohongan belaka.
==========
Pada Ramadan tahun ini redaksi menampilkan sajian khusus bernama "Tarikh" yang ditayangkan setiap menjelang sahur. Rubrik ini mengambil tema besar tentang sosok Nabi Muhammad sebagai manusia historis dalam gejolak sejarah dunia. Selama sebulan penuh, seluruh artikel ditulis oleh Ivan Aulia Ahsan (Redaktur Utama Tirto.id dan pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta).
Editor: Irfan Teguh