Menuju konten utama

Vera Wang adalah Wujud Keragaman Fesyen Paman Sam Era 1990-an

Wacana keragaman dan inklusivitas dalam fesyen baru muncul sekitar lima tahun belakangan dan posisi desainer perempuan dalam fesyen kerap luput dari perhatian.

Vera Wang adalah Wujud Keragaman Fesyen Paman Sam Era 1990-an
Desainer Vera Wang mengakui tepuk tangan hadirin setelah koleksinya dimodelkan selama Fashion Week di New York. (AP Photo/Richard Drew, File)

tirto.id - Tiba-tiba para penikmat mode dan kecantikan di Indonesia membicarakan dan mengagumi Vera Wang, desainer Asia-Amerika, 71 tahun. Bukan karyanya melainkan karena penampilannya yang seperti sosialita berusia 31 tahun. Selama pandemi, Wang rajin mengunggah foto diri di Instagram mengenakan busana dan aksesori rancangannya dengan konsep foto dan busana yang dibuat seperti potret halaman mode ternama sekelas Vogue edisi Amerika Serikat.

Berbagai potret tersebut berdampak pada pemberitaan soal Wang di sejumlah media lifestyle dalam negeri. Mereka berbagi tips hidup sehat agar seseorang bisa tampil sebugar Wang ketika memasuki usia lanjut.

Sesungguhnya ada sisi lain yang sangat layak dikagumi dari Wang. Ia bisa dibilang sebagai desainer perempuan asal Asia yang menjadi pionir dalam lanskap fesyen AS pada dekade 1990an.

Tidak berlebihan bila keberadaan Wang dipandang sebagai wujud keberagaman dan inklusivitas industri fesyen AS jauh sebelum wacana soal keragaman ramai di ranah fesyen sekitar lima tahun terakhir.

Wang lahir di New York dari orangtua asal Shanghai. Ayah Wang adalah seorang pengusaha farmasi dan ibunya berkarier sebagai penerjemah di Perserikatan Bangsa Bangsa. Salah satu hiburan Wang ketika masih belia adalah datang ke Paris untuk melihat peragaan busana di butik desainer ternama Yves Saint Laurent.

Dalam wawancara dengan Business of Fashion (BoF) pada 2013, Wang mengaku mengenal fesyen dari ibunya yang pecinta mode yang membuatnya "terekspos desainer-desainer fesyen terbaik”.

Jalan hidup Wang dalam mode dimulai dengan bekerja paruh waktu di butik Yves Saint Laurent di Madison Avenue. Di sana ia bertemu dengan editor majalah Vogue edisi Amerika Serikat yang menjanjikan pekerjaan kelak begitu ia lulus. Dua tahun kemudian, tepatnya setelah lulus, Wang kembali menghubungi sang editor. Ia diterima dan akhirnya bekerja di divisi mode majalah Vogue selama 15 tahun. Jabatan awal adalah asisten pengarah gaya, sementara jabatan terakhirnya adalah editor fesyen--yang termuda waktu itu.

Setelah itu Wang bekerja pada label busana asal AS, Ralph Lauren sebagai direktur desain. Saat bekerja di sana ia memantapkan diri untuk mendirikan label fesyen bridal. Alasannya sederhana: ia tidak bisa menemukan busana pengantin yang sesuai selera saat hendak menikah. Baginya, model busana pengantin di AS saat itu biasa-biasa saja dan tak cukup bervariasi.

Wang pun akhirnya memulai profesi baru, desainer bridal fesyen, dengan pendekatan berbeda. Ia menyebut gaya rancangnya modern. Bagi saya, gaya rancang Wang adalah perpaduan unsur punk, eksperimental, sekaligus chic. Ia memberi varian baru dan membuktikan bahwa tidak semua gaun pengantin harus berpotongan rapi layaknya gaun Grace Kelly yang jadi tren dari masa ke masa.

Karya Wang memang menggunakan material satin--yang biasanya dipakai untuk membuat gaun nampak elegan. Namun satin menempati bagian bawahan pada busana pengantin yang bentuknya asimetris dan berbelahan tinggi. Sementara bagian atasnya adalah bustier.

Ada kalanya ia menggunakan tile yang biasanya digunakan sebagai lapisan luar busana yang fungsinya untuk ‘mempermanis’ busana. Namun Wang memakai kain tersebut sebagai material utama untuk membalut bagian badan dengan bentuk lilitan lain yang tidak beraturan.

Dalam koleksi gaun pengantin terbaru, ia menciptakan gaun mini asimetris lengan panjang yang ujungnya lebar. Pada bagian ekor busana bisa dihias dengan kata-kata yang sesuai selera semacam “Love”, “Forever”, atau “I Do”.

Penggunanya adalah orang-orang yang punya kemiripan pandangan dengan Wang soal estetika. Atau mereka yang cukup berani tampil cukup mencolok. Contoh paling mudah adalah Victoria Beckham yang mengenakan karya Vera pada 1999 di hari pernikahannya--kini juga dipandang ikonik. Begitu pula dengan Hailey Bieber yang memakai gaun Wang untuk resepsi pernikahan--dipadu dengan sneakers.

Kepada BoF ia mengaku butuh perjuangan keras untuk bisa bertahan dalam ranah mode AS. Ia tidak punya cukup uang untuk rutin menyelenggarakan peragaan busana di pekan mode. Ia juga belum berencana untuk memasrahkan label busananya kepada label retail besar seperti LVMH atau Kering Group.

Wang mencoba bertahan dengan mengikuti model bisnis Ralph Lauren dengan menambah variasi jenis usaha. Ia mendesain busana siap pakai, aksesori (kaca mata hitam, sepatu, tas), seprei, hingga piranti makanan dan bekerjasama dengan peretail online dalam sisi produksi dan pemasaran. Ia juga mendesain gaun malam dan meng-endorse beberapa selebritas yang sekiranya sesuai dengan karakteristik desainnya.

Cara itu membuat bisnis Wang bertahan, meski pada Maret lalu Wang berkata kepada WWD bahwa dirinya menutup sementara seluruh lini usaha kecuali layanan jasa pembuatan busana pengantin.

Wacana Keragaman dalam Fesyen

Menurut New York Times, Wang adalah satu dari 35 desainer Amerika keturunan Asia yang jadi anggota Asosiasi Perancang Busana Amerika (Council of Fashion Designers America) pada 2010. Kini asosiasi perancang busana tersebut setidaknya memiliki 500 anggota dan desainer perempuan asal Asia Amerika menempati porsi yang sangat kecil.

Selama satu dekade terakhir, pertumbuhan desainer Asia di AS diisi oleh nama-nama seperti Jason Wu, Alexander Wang, Derek Lam, Prabal Gurung, hingga yang terbaru Peter Do. Beberapa diantara mereka yakni Wu dan Alexander Wang pernah mendapatkan penghargaan sebagai desainer busana perempuan dan desainer aksesori terbaik CFDA.

Pada masa itu, kemenangan Wu dan Alexander Wang dianggap sebagai pembaruan dalam ranah fesyen karena untuk pertama kalinya beberapa penghargaan sekaligus diberikan untuk desainer asal Asia. Lima tahun sebelumnya Vera Wang juga pernah mendapat penghargaan sebagai desainer terbaik dari CFDA.

Cara desainer-desainer Asia ini eksis di AS berbeda-beda. Wu eksis lantaran busananya dikenakan Michelle Obama pada malam inagurasi suaminya pada 2009. Misi Michelle dalam berbusana memang mempromosikan desainer baru non kulit putih di AS. Sejak itu nama Wu menjulang sampai hari ini.

Sementara Alexader Wang makin terkenal lewat proyek kolaborasi dengan berbagai lini besar seperti Adidas hingga H&M.

Derek Lam, yang berasal dari keluarga pengusaha fesyen makin dipandang saat sempat jadi direktur kreatif lini busana dan aksesori Tod’s. Ia juga sempat memenangkan penghargaan dari CFDA pada 2007.

Penghargaan-penghargaan yang diberikan pada desainer asal Asia ini tidak membuat citra industri fesyen jadi baik. Permasalahan lain adalah ketimpangan antara perempuan dan laki-laki yang menempati jabatan penting (direktur kreatif dan CEO) dalam rumah mode.

Infografik Vera Wang

Infografik Vera Wang. tirto.id/Quita

Perbincangan soal ketimpangan itu marak pada 2015. Menurut catatan Quartz, pada tahun-tahun sebelumnya sudah muncul suara-suara kritis mempertanyakan sedikitnya perempuan yang menjadi desainer untuk busana perempuan, menduduki posisi penting dalam organisasi mode, dan mendapat penghargaan.

Kritikus fesyen Vanessa Friedman pernah mengkritik hal yang sama. Nampaknya sejumlah petinggi di ranah mode mencoba menjawab tantangan-tantangan tersebut secara perlahan. Misal Dior yang memilih Maria Grazia Chiuri sebagai direktur kreatif.

Beberapa tahun terakhir ini wacana soal keragaman mengarah pada keterwakilan model fesyen non-kulit putih dan keterbukaan terhadap jenis kelamin (model transgender) dengan berbagai bentuk tubuh serta latar belakang (bukan model profesional), pembuatan busana bagi kaum difabel, penciptaan modest wear atau fesyen ramah bagi pemakai jilbab, dan pembuatan busana plus size.

Pemimpin Departemen Fesyen Universitas Ryerson Toronto, Ben Barry menyebut dalam Business of Fashion bahwa transformasi guna mencapai inklusivitas dalam fesyen perlu dilakukan secara sistemik dan disadari oleh setiap pelaku fesyen.

Penunjukan Eddward Enninful, sebagai orang non kulit putih pertama sebagai Pemimpin Redaksi Vogue edisi Inggris pada 2017 adalah langkah awal yang menginspirasi majalah mode papan atas lain untuk melakukan hal serupa.

Langkah kecil lain yang bisa dilakukan adalah menyadari perjalanan desainer-desainer Asia Amerika seperti Vera Wang, memahami perjalanan kariernya, mengamati talenta-talenta baru, mengapresiasi karya mereka, dan menjadikan mereka sebagai inspirasi.

Baca juga artikel terkait FESYEN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf