Menuju konten utama

Pengikut HTI dalam Bayang-Bayang Pengawasan

Usai badan hukumnya dicabut, organisasi politik HTI sangat mungkin dalam pengawasan ketat setelah beredar dokumen yang dituding memuat pengurus, anggota, dan simpatisan HTI.

Pengikut HTI dalam Bayang-Bayang Pengawasan
Massa dari Hizbut Tahrir Indonesia dan umat muslim dari ormas Islam lain usai mengikuti Aksi 313 di Kawasan Patung Kuda Jakarta. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sekretariat Dewan Pengurus Daerah II Hizbut Tahrir Indonesia Kota Bogor terlihat sepi. Kantor empat lantai itu belum rampung dibangun, tetapi sudah dipakai. Tiga pekerja bangunan di lantai tiga masih terlihat sibuk memotong besi dan aluminium dengan gergaji mesin. Di hari ketika HTI resmi dibekukan, Rabu lalu, tak tampak ada kegiatan organisasi di kantor tersebut.

Tidak ada papan nama HTI di gedung yang terletak di bilangan KS Tubun tersebut. Satu-satunya petunjuk gedung itu milik properti HTI adalah papan nama yang dipasang di depan gang. Namun ia kalah mencolok dengan atribut perusahaan pengembang perumahan syariah di alamat yang sama.

Di lantai satu, Muhammad Irfan tengah selonjoran di atas sebuah karpet, dengan segelas kopi di dekatnya, dan sibuk membalas pesan singkat. Irfan adalah ketua HTI Kota Bogor, setidaknya sampai saat badan hukum HTI dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM

“Aktivitas di sini biasa saja, biasanya juga seperti ini,” kata Irfan menanggapi kabar pembubaran HTI.

Irfan mengatakan kegiatan HTI di Bogor selama ini memang tidak terfokus di sekretariat. Pengajian dan diskusi yang mereka gelar biasanya di tempat umum atau di masjid dan kampus. Sejak berembus isu pembubaran HTI pada Mei lalu, katanya, tidak ada dampak yang besar atas kegiatan mereka.

Sampai Perppu Ormas dirilis pemerintahan Joko Widodo, Rabu pekan lalu (12/07), Irfan dan para simpatisan HTI di Bogor tetap menggelar kegiatan rutin. Irfan masih sering diundang sebagai penceramah dan pembicara pada diskusi yang dibuat oleh simpatisan HTI ataupun kelompok pengajian.

Baca:

Dakwah Tanpa Bendera HTI

Semangat awal Hizbut Tahrir (HT) ketika dikenalkan di Indonesia adalah sebuah gerakan pemikiran dan dakwah. Ia masuk ke Indonesia sekitar tahun 1983 lewat Abdurrahman al-Baghdadi, aktivis Hizbut Tahrir yang berbasis di Australia. Al-Baghdadi menyebarkan ideologi Hizbut Tahrir melalui kajian dan diskusi di kampus bersama mahasiswa di Bogor.

Salah satu orang yang berperan dalam penyebaran Hizbut Tahrir adalah Gatot Saptono atau yang kini dikenal sebagai Muhammad Al Khaththath, salah satu pendiri HTI tetapi belakangan keluar dan membentuk Forum Umat Islam—salah satu sosok yang naik pentas di tengah gelanggang Pilkada Jakarta lalu yang mempropagandakan anti-Ahok. Gatot aktif menyebarkan dakwah Hizbut Tahrir melalui jaringan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus sebelum akhirnya HTI dideklarasikan.

Irfan mengenal Hizbut Tahrir saat ia kuliah di Institut Pertanian Bogor pada 1986. Ia mengenal ajaran HT melalui dakwah di masjid kampus. Sejak saat itu ia aktif dalam kegiatan Hizbut Tahrir meski belum memiliki organisasi yang terstruktur seperti HTI.

Secara organik, penyebaran ideologi Hizbut Tahrir dilakukan tanpa ada badan hukum dan struktur. Cara ini pula yang sampai saat ini masih terus dilakukan. Individu-individu pengikut HTI tetap bergerak seperti biasa.

Pada Senin lalu, misalnya, Irfan masih menjadi penceramah kajian di salah satu masjid di kota Bogor. “Saya secara individu tetap berdakwah, teman-teman yang lain juga begitu. Tidak ada masalah, karena dakwah ini memang kewajiban umat Islam,” katanya. Bagi Irfan, pembubaran HTI bukan berarti dakwah dihentikan.

Sementara itu, pergerakan HTI di kampus yang merawat sel di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) tetap berjalan meski tanpa bendera HTI. HTI sendiri tidak secara langsung masuk ke kampus dan melakukan rekrutmen, meski membuat kegiatan kajian dan diskusi untuk menyebarkan gagasannya.

Ketua Badan Kerohanian Islam Mahasiswa IPB, Muhammad Afifuddin Al-Fakkar, mengatakan selama ini HTI “tidak banyak” membuat kegiatan di kampus. Namun, banyak simpatisan dan anggota HTI yang aktif di LDK, kliamnya.

“Saya pernah ikut kegiatannya HTI, enggak ada masalah dengan itu. Di kampus memang banyak organisasi ekstra yang berafiliasi dengan individu di LDK. Itu boleh-boleh saja,” kata Afifuddin.

Dalam beberapa kegiatan, HTI bahkan tidak membawa bendera organisasinya, tetapi menyisipkan tema kegiatan yang sesuai ideologi HTI. Contohnya adalah Simposium Nasional (Simnas) Lembaga Dakwah Kampus 2016 yang diselenggarakan pada 25-27 Maret 2016 oleh Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus. Dalam acara itu para mahasiswa diajak untuk mengucap janji terhadap kekhilafahan Islam.

Baca:

Infografik HL Indepth HTI

Nasib Aparatur Negara Pengikut HTI

Sebagai sebuah gerakan pemikiran, HTI bisa lentur memasuki banyak ruang publik. Lewat kajian dan diskusi, HTI masuk ke masjid dan kampus dan menarik perhatian orang. Lewat diskusi itu, gagasan HTI bisa diterima oleh banyak kalangan. Termasuk para pendidik, mahasiswa, hingga Aparatur Sipil Negara (ASN).

Usai Perppu 2/2017 dirilis, beredar daftar nama pengurus dan simpatisan HTI dari kalangan pegawai negeri sipil. Dokumen setebal 73 halaman ini, dengan font Aria, menyebar lewat pesan elektronik ke sejumlah kalangan, termasuk ke grup-grup wartawan. Sebagian orang yang dikonfirmasi nama-namanya oleh redaksi Tirto mengakui memiliki kedekatan dengan HTI.

Salah satu nama dalam daftar itu adalah Dr. Ir. Andang Widi Harto M.T. (Dalam dokumen ditulis “Widhi”), dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dari Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika. Dalam daftar itu, Andang ditulis sebagai “anggota fungsional” HTI Yogyakarta.

Saat dikonfirmasi, Andang berkata “beberapa kali” diundang sebagai pembicara dalam diskusi yang digelar HTI tetapi bukan bagian dari HTI.

“Saya, nganu, apa namanya, cuma pernah ngisi sebagai dosen UGM, mengisi soal energi nuklir dan energi, menjadi pembicara. Itu sudah lama,” kata Andang, Kamis kemarin.

“Materi yang saya sampaikan (di forum HTI) juga sama dengan forum-forum lainnya (selain HTI),” tambahnya, berkata bahwa ia lupa terakhir kali berbicara di forum HTI.

Andang bilang “tidak tahu” mengapa namanya bisa masuk dalam daftar itu. “Saya enggak tahu, memang saya kenal dengan mereka, namanya kenal kan ya biasa saja,” ujarnya. “Saya juga tidak tahu aktivitas HTI di UGM sekarang bagaimana.”

Sementara Deni Junaedi, dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang dalam dokumen itu disebut “anggota HTI” menolak untuk diwawancarai. “Kalau tentang itu, monggo hubungi Jubir HTI,” katanya lewat pesan singkat.

ISI, yang notabene kampus para seniman, dalam dua tahun bersuara lantang menolak HTI di kampus. Pada 17 Juni 2016, ratusan mahasiswa dan alumni kampus menggelar aksi anti-HTI. Aksi di depan Rektorat ISI ini didukung oleh petinggi kampus.

Aksi serupa muncul pada 22 Mei 2017. Kelompok atas nama Kesatuan Aksi Alumni, Mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta mendeklarasikan petisi yang mendesak pemecatan dosen, karyawan, dan mahasiswa ISI yang menjadi simpatisan, anggota, dan pengurus HTI. Aksi ini juga mendukung rencana pemerintah membubarkan HTI.

Meski demikian, Pembantu Rektor ISI Bidang Kemahasiswaan, Anusapati, mengatakan tipis kemungkinan Rektorat ISI menuruti desakan tersebut. Langkah itu, menurutnya, terlalu jauh.

“Mereka juga, kan, teman-teman kita sendiri. Kalau statusnya PNS juga jadi urusan pemerintah pusat,” katanya di Gedung Rektorat ISI, Kamis kemarin.

Anusapati menegaskan Rektorat ISI lebih berfokus membatasi kegiatan HTI agar pengaruh pahamnya tidak meluas di kalangan mahasiswa.

“Sebenarnya, setelah ada keputusan pemerintah, langkah kami di 2016 mendapatkan dasar lebih kuat. Tapi, sampai sekarang kami belum membahas rencana baru terkait HTI di ISI,” kata Anusapati.

Anusapati membenarkan sejumlah dosen ISI menjadi anggota HTI, sebagian menjadi pengurus lembaga seni bernama Khilafah Arts Network (KHAT) yang berdiri di Yogyakarta pada medio 2016. Deni Junaedi, yang menolak diwawancara, adalah ketua Khilafah Arts Network. Dalam satu tulisan yang membahas retrospeksi karyanya lewat KHAT, Deni bilang aktif dalam organisasi politik HTI sejak 2008.

Anusapati menjelaskan, sebelum ada aksi penolakan HTI pada 2016, Rektorat ISI telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Rektor tentang larangan organisasi masyarakat “berpaham radikal” dan partai politik masuk ke kampus. SK Rektor itu terbit pada 16 Juni 2017.

“Kami tidak secara khusus menyebut melarang HTI, sebab tak ada dasarnya. SK Rektor itu secara umum melarang semua ormas berpaham radikal masuk ke kampus kami,” kata Anusapati.

Namun, Anusapati membenarkan sasaran SK Rektor itu mengarah ke HTI. Aturan itu muncul sebab pimpinan kampus ISI menerima banyak laporan yang mengeluhkan aktivitas HTI.

“Mereka menjaring banyak mahasiswa baru. Kami tak mau mahasiswa baru terkena brain wash paham mereka,” ujarnya.

Baca laporan khusus Tirto ketika pemerintahan Jokowi pada Mei lalu berencana membubarkan HTI: Pilkada DKI Jakarta Berujung Pembubaran HTI

Ancaman 'Pengawasan' terhadap Pengikut HTI

Keterlibatan para ASN ini menjadi perhatian dari Kementerian Dalam Negeri. Dirjen Politik dan Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, mengatakan saat ini ia sudah menginstruksikan agar masing-masing daerah untuk “mengawasi” orang-orang yang terlibat dalam organisasi HTI.

“Ada pembinaan dan pengawasan. Kayak mantan eks-Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), diarahkan dibina. Supaya kembali ke jalan yang benar. Kan, orang kalau sudah salah tidak harus dijerumuskan tapi disadarkan,” kata Soedarmo.

Apa yang dimaksud Soedarmo soal “pembinaan” dampaknya bisa menjelaskan stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap HTI. Langkah ini dialami oleh Gafatar ketika gelombang propaganda anti-Gafatar menyebar pada awal tahun 2016.

Lebih dari 7.000 anggota komunitas Gafatar diusir dari Pulau Kalimantan, dan hampir 1.000 orang yang ditahan di Boyolali, Jawa Tengah, dilarang meninggalkan lokasi untuk menjalani “pembinaan agama”, “penyuluhan deradikalisasi”, dan terkena ancamana “penodaan agama.”

Maret lalu, tiga anggota Gafatar, termasuk Ahmad Mussaddeq, divonis 3 sampai 5 tahun penjara karena dianggap melakukan penodaan agama.

Salah satu pasal dalam Perppu Ormas mengatur “setiap orang” dari organisasi yang melakukan penodaan agama bisa dihukum pidana. Ancamannya pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun penjara.

Wahyudi Djafar dari Elsam mengatakan dampak dari Perppu Ormas bisa menyerang siapa saja.

“Sangat besar peluang Perppu ini menjadi 'bola liar' yang menyasar kelompok apa pun, karena batasan 'anti-Pancasila' juga luas,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN HTI atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Addi M Idhom & Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam