Menuju konten utama

Upaya Negara Belum Cukup, Sumber Keracunan MBG di Hulu-Hilir

Temuan Salmonella dan Bacillus cereus menunjukkan masalah sistemik, yang bukan hanya terletak di bahan baku, tetapi juga operasi dapur dan distribusi.

Upaya Negara Belum Cukup, Sumber Keracunan MBG di Hulu-Hilir
Siswa korban keracunan usai menyantap menu makan bergizi gratis (MBG) mendapat perwatan di dalam mobil ambulans di Posko Penanganan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura/nym.

tirto.id - Sudah ada ribuan anak-anak yang tercatat mengalami gejala keracunan akibat program “unggulan” Makan Bergizi Gratis (MBG). Kasus itu tersebar di berbagai daerah, mulai dari Pulau Sumatra hingga Papua.

Meski data di lapangan berbeda-beda, perkara MBG dan keracunan menyangkut nyawa dan tentu tak bisa dianggap sekadar statistik atau angka.

Jika menilik data Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) per Januari sampai 19 September 2025, jumlah korban keracunan MBG mencapai 5.626 kasus. CISDI menyatakan, selain keracunan, makanan MBG yang basi atau tak layak konsumsi juga marak ditemukan.

Sementara temuan Deputi Bidang Pemantauan Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat, per 22 September 2025, ada sebanyak 4.711 anak-anak yang terdampak keracunan, agak lebih sedikit ketimbang data CISDI. Berdasarkan dokumen BGN yang diterima Tirto, sebagian kasus keracunan terbukti diakibatkan adanya bakteri Escherichia coli alias E. coli, atau Salmonella.

Pada kasus di Kulonprogo, DIY, Juli lalu misalnya, hasil uji laboratorium menunjukkan adanya tiga bakteri pada sampel makanan, salah satunya bakteri yang umum ditemukan di makanan, yaitu bakteri E. Coli. Kasus di Kulon Progo itu telah menyebabkan sedikitnya 305 orang mengalami keracunan.

“Pada kloter pertama ditemukan bakteri pada tahu, pada kloter kedua ditemukan bakteri pada ayam, sayur, dan buah. Pada kloter ketiga terdapat bakteri pada nasi dan sayur,” tulis BGN dalam keterangannya.

Hal yang sama juga ditemukan dalam kasus-kasus keracunan di Jawa Barat. Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat mencatat, sepanjang Januari hingga September 2025 ada 163 sampel kasus keracunan MBG yang diperiksa.

Hasil uji mikrobiologi menunjukkan, ada 72 persen sampel negatif, sementara 23 persen positif mengandung bakteri, antara lain Vibrio cholera, Staphylococcus aureus, E. coli, dan Bacillus cereus. Sementara itu, uji kimia menemukan 8 persen sampel positif mengandung nitrit.

Penanganan korban keracunan MBG di Bandung Barat

Siswa korban keracunan usai menyantap menu makan bergizi gratis (MBG) menjalani perawatan medis di Posko Penanganan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura/nym.

Pada kasus 24 siswa SDN 12 Benua Kayong di Ketapang, Kalimantan Barat, bulan September ini, penyebabnya agak lain. Mereka dilaporkan mengalami keracunan usai menyantap MBG bermenu daging ikan hiu.

Meski ikan hiu barangkali tak tabu dihidangkan di sejumlah daerah, ikan itu merupakan predator teratas dalam rantai pasok makanan di ekosistem laut, yang sejak lama tercemar logam berat. Dengan demikian, terjadi bioakumulasi merkuri dan zat beracun lainnya di dalam tubuh ikan hiu lantaran memangsa seluruh ikan dan fauna laut lainnya.

Pemerintah Tak Bisa Hanya Fokus ke SPPG

Kejadian keracunan MBG yang berulang ini sudah menyedot perhatian berbagai kalangan dan beberapa mendesak pemerintah untuk melakukan moratarium atau penghentian program sementara.

Namun begitu, negara belum ada tanda-tanda mengambil langkah tersebut. Dalam rapat koordinasi lintas kementerian, Minggu (28/9/2025), pemerintah menyepakati untuk menutup satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang bermasalah sembari melakukan evaluasi dan investigasi.

Realisasi anggaran program MBG September

Sejumlah murid menikmati makan bergizi gratis (MBG) di SDN 35 Padang Sarai, Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat, Selasa (23/9/2025). Kementerian Keuangan mencatat, hingga 8 September 2025 telah menyalurkan anggaran sebesar Rp13 triliun untuk mendanai program MBG bagi 22,7 juta penerima di seluruh Indonesia, realisasi itu setara 18,3 persen dari pagu APBN 2025 yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp71 triliun. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/nz

Pemerintah juga mengaku bakal mengevaluasi kedisiplinan, kualitas, dan kemampuan juru masak di seluruh SPPG. Seluruh SPPG yang menyediakan program MBG juga disebut diwajibkan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Ke depannya, pemerintah pun akan melibatkan Puskesmas dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) untuk memantau SPPG secara berkala.

Kendati demikian, pengamat kebijakan kesehatan sekaligus peneliti Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan rencana pemerintah belum cukup, mengingat kasus keracunan MBG terjadi dari hulu ke hilir.

Itu artinya, vendornya harus terverifikasi, kemudian masalah distribusi alias penyimpanan, seperti suhu dan waktu, juga krusial. Sebab, menurut Dicky, temuan bakteri-bakteri seperti Salmonella, Vibrio cholera, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus mengindikasikan adanya pengabaian, ketidakpatuhan atau pelanggaran terhadap pola waktu dan suhu penyimpanan terhadap makanan.

“Dan juga memperlihatkan atau mengindikasikan pendinginan atau pemanasan ulang yang tidak memadai. Selain ada juga mengarah pada kontaminasi silang, air yang tidak aman dan juga higiene penjamah. Ini kalau melihat dari etiologi dan itu tidak bisa dibantah kalau bicara laboratorium,” kata dr. Dicky kepada Tirto, Senin (29/9/2025).

Singkatnya, gabungan Salmonella dan Bacillus cereus menunjukkan masalah sistemik, yang bukan hanya terletak di bahan baku, tetapi juga operasi dapur dan distribusi. Sedangkan dalam konteks temuan nitrit, Dicky menjelaskan, penggunaan senyawa itu secara berlebihan bakal berisiko. Nitrit memang dipakai secara legal di industri pangan, misalnya pengawet daging olahan, tapi pemakaiannya dibatasi.

“Kalau berlebih dia mengganggu transport oksigen, jadi bisa berbahaya untuk anak ya. Methemoglobinemia namanya, dan bereaksi dengan amina membentuk nitrosamin. Ini yang bisa berpotensi karsinogenik jangka panjang. Temuan 8 persen sampel positif nitrit ini mengindikasikan ada potensi penggunaan aditif pengawet yang tidak sesuai standar, atau juga bisa dari air yang terkontaminasi, atau bahan baku sayuran yang tinggi nitrat, lalu berubah jadi nitrit,” lanjut Dicky.

Kercunan MBG Subang

Kadinkes Subang dr Maxi saat menjenguk anak yang mengalami keracunan di Puskesmas Rwawalele Kecamatan Dawuan Subang. Subang Info / Ahya Nurdin

Itu mengapa perbaikan tata kelola menjadi krusial. Dicky bilang, tata kelola sendiri bukan hanya bicara proses pembuatan makanan dan dikonsumsi tapi termasuk anggaran, SDM, dan strategi komunikasi risiko. Jangan sampai program yang strategis ini dikelola dengan komunikasi risiko yang asal-asalan.

“Semua di pemerintahan, kantor presiden pengen bicara, BGN bicara, BPOM bicara, tapi datanya berbeda-beda. Kan ini membingungkan. Artinya, berarti tidak ada koordinasi dan bagaimana kita akan bisa merespon satu kejadian dengan baik kalau datanya saja berbeda-beda. Dan itu sekali lagi juga membuat trust dan kebingungan di publik,” kata dr. Dicky.

Apalagi, wacana SLHS di kalangan SPPG juga tak lepas dari problem. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Nasdem, Irma Suryani Chaniago, mengungkap keraguan rencana tersebut bisa efektif mengurangi kasus keracunan, lantaran sertifikasi masih bisa jadi ajang jual beli dengan mudah, sehingga belum terjamin keasliannya.

“Soal misalnya kemarin Pak Qodari (Kepala Staf Kepresidenan) bilang soal sertifikasi higienis dan lain sebagainya, kenapa saya kemarin mengatakan saya tidak terlalu respek? Karena sertifikasi-sertifikasi seperti ini itu bisa diperjualbelikan,” kata Irma saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (29/9/2025).

Pasalnya, dia menyebut terdapat temuan SLHS yang masih diperjualbelikan oleh pihak tak bertanggung jawab. Maka dari itu, dia semakin tak yakin kalau solusi SLHS bisa menekan jumlah kasus keracunan.

MBG Harus Zero Tolerance terhadap Kasus Keracunan

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menekankan program MBG seharusnya zero tolerance atau tidak ada toleransi terhadap kasus keracunan. Menurutnya, tujuan anak-anak sekolah adalah untuk belajar dan meningkatkan kompetensi, bukan untuk memakan racun

Terlebih kasus keracunan pun tak hanya memakan korban siswa, melainkan guru yang terpaksa mencicip makanan MBG. Sementara guru dan sekolah tak punya tugas dan fungsi mencicipi MBG.

“Mencicipi MBG itu sebetulnya adalah tugas dari SPPG itu sendiri, dari produksi dan distribusi mereka sebelum sampai ke sekolah. Jadi kami kira itu banyak sekali persoalan yang harus dibenahi sehingga evaluasi ini tidak cukup, tapi juga pemerintah harus menyadari bahwa program yang sangat besar, massal dengan anggaran yang sangat besar ini akan menimbulkan dan terus menimbulkan persoalan karena sejak awal sekolah-sekolah kita tidak didesain untuk semacam program MBG,” kata Iman, saat dihubungi jurnalis Tirto, Senin (29/9/2025).

Ia mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa guru dan sekolah tidak terganggu dengan adanya MBG, bahkan dilimpahi tanggung jawab yang terlalu besar. Sebab, menurut laporan yang diterima P2G, para guru mengaku merasa kerepotan karena untuk mendistribusikan MBG di sekolah memakan waktu hampir satu jam pelajaran.

“Ini bukan sebuah kerugian yang sedikit ya, ini bisa diisi dengan pembelajaran-pembelajaran yang mereka butuhkan, malah terpakai karena guru-gurunya harus menalikan tali, membagikan MBG, mendistribusikan, mempersiapkan, bahkan setelah selesai mereka merapikannya,” tegas Iman.

Dia bilang, pemerintah sebaiknya memikirkan saran guru untuk sejak awal menghidupkan sektor perekonomian terdekat, alias menghidupkan dapur sekolah. Para guru tak semestinya menjadi korban atas kebijakan yang tidak menyertakan mereka.

“Jadi kesalahan terbesar dari MBG ini memang secara mendasar dan juga tadi ya, kami sanksi bahwa kebijakan ini ada kajiannya, karena berdasarkan apa yang terjadi, pemerintah sepertinya tidak terlalu peduli ya apakah MBG ini akan mendapatkan masalah. Apalagi kita lihat bahwa angka 5.000 sampai 7.000 siswa keracunan itu bukan angka yang sedikit, karena bagi kami pada prinsipnya satu anak tetaplah berharga,” kata Iman.

Harus digarisbawahi, kebijakan MBG tidak bisa diukur keberhasilannya secara statistik, karena makanan yang beracun bakal membahayakan kesehatan anak dan menghilangkan nyawa.

Baca juga artikel terkait MAKAN BERGIZI GRATIS atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty