Menuju konten utama

UGM Bohong Lagi: Rektor Panut Lamban Teken Aturan Kekerasan Seksual

Meski sudah diserahkan sejak Mei 2019, Rektor UGM tak segera meneken regulasi anti kekerasan seksual.

UGM Bohong Lagi: Rektor Panut Lamban Teken Aturan Kekerasan Seksual
Ilustrasi pelecehan seksual di kampus. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dalam minggu ini, Aliansi Mahasiswa UGM mendesak rektor mereka, Panut Mulyono, untuk segera mengesahkan peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Aliansi menuding Rektor UGM ingkar janji, sampai-sampai mereka mengibarkan tagar #UGMBohongLagi di media sosial.

Regulasi anti kekerasan seksual yang seharusnya diadopsi oleh UGM adalah langkah serius rektor merespons kasus Agni, bukan nama sebenarnya, mahasiswi UGM yang dilecehkan saat KKN di Maluku pada Juli 2017. Kasus Agni menjadi sorotan publik setelah lembaga pers Balairung merilis laporan kronologi peristiwa kekerasan seksual itu pada awal November 2018. UGM lamban dan mengabaikan kasus Agni sampai kemudian berujung “kesepakatan non-litigasi” pada awal Februari 2019.

Rancangan peraturan telah disusun oleh sebuah tim yang terdiri dari para akademisi UGM, yang concern pada kajian gender dan kesehatan reproduksi. Ketua tim adalah Muhadjir Darwin, dibantu oleh 10 sejawat termasuk Faturochman dari Fak. Psikologi, Ova Emilia dari Fak. Kedokteran, Sri Wiyanti Eddyono dari Fak. Hukum, dan Aswati Mindaryani dari Fak. Teknik UGM.

Setelah tim bekerja sejak November 2018, draf regulasi itu diserahkan kepada Rektor Panut Mulyono pada 28 Mei 2019. Meski begitu, sampai pengujung 2019—hampir tujuh bulan—draf itu dibiarkan mangkrak oleh rektorat UGM.

Alih-alih mengesahkan rancangan peraturan yang sudah dirumuskan oleh para akademisi, rektorat UGM mengeluarkan instruksi tentang upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan UGM. Memuat sembilan poin, dan tidak sedetail rancangan peraturan, instruksi dua halaman ini ditandatangani oleh Panut Mulyono pada 1 Oktober 2019. (Lihat dokumen instruksi di sini.)

Karena dinilai lamban dan “tak ada jawaban pasti”, mahasiswa-mahasiswa UGM yang tergabung dalam Aliansi menggelar aksi “Menggugat Gadjah Mada” pada 13 November lalu, ujar Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UGM saat itu Atiatul Muqtadir.

Aliansi bertemu pihak rektorat, yakni Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan Djagal Wiseso Warseno, yang menyepakati tujuh poin, salah satunya rektorat berjanji mengesahkan peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebulan kemudian—artinya, pada 13 Desember 2019.

Meski demikian, sampai pekan ini saat perayaan puncak Dies Natalis UGM ke-70, peraturan ini tak kunjung diteken.

Kevin Krissentanu dari Forum Advokasi, juga bagian dari Aliansi, berkata kepada Tirto bahwa Aliansi akan terus melakukan gerakan selama peraturan rektor tentang anti kekerasan seksual di kampus belum disahkan oleh Panut Mulyono.

Gerakan itu salah satunya adalah sosialisasi di media sosial, termasuk tidak menutup kemungkinan melakukan aksi lanjutan demi mendesak peaturan tersebut segera disahkan oleh Rektor Panut Mulyono.

Isi Draf Regulasi Rektor tentang Kekerasan Seksual

Instruksi rektor yang berlaku sekarang di UGM memuat perintah sosialisasi, pendidikan, pengaduan, pendampingan, dan evaluasi demi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan UGM. Instruksi ini berlaku sampai terbit peraturan rektor.

Beda instruksi dan peraturan rektor yakni memuat definisi yang artikulatif sampai perkara teknis, termasuk merinci langkah-langkah penindakan, investigasi, dan hukuman. (Lihat dokumen draf peraturan di sini.)

Setebal 21 halaman, berisi 11 bab dan 36 pasal, peraturan rektor UGM tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang sudah dirumuskan oleh Muhadjir Darwin dan sejawatnya memuat jenis kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan aborsi, dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ia juga memasukkan “ketimpangan relasi kuasa/ relasi gender” sebagai situasi yang melahirkan kekerasan seksual. Ia juga mengatur sistem penanganan terpadu, mengharuskan UGM “mengembangkan kurikulum berbasis pengarusutamaan gender”, melakukan pelayanan darurat dan lanjutan, termasuk konseling, pemulihan, hingga bantuan secara ekonomi kepada korban.

Peraturan juga memuat mekanisme perlindungan dan pelaporan. Ia juga merinci proses penanganan terhadap pelaku secara etik dan hukum, termasuk melakukan langkah-langkah investigasi.

Pelaku kekerasan seksual, dalam dokumen itu, bila terbukti bersalah setelah melalui proses investigasi bakal dijatuhi sanksi teguran sampai pemberhentian tidak hormat. Sebaliknya, bila tidak melakukan pelanggaran, nama baiknya dipulihkan.

Kecewa Tak Segera Disahkan

Muhadjir Darwin berkata kepada Tirto bahwa dia “kecewa" rancangan peraturan yang dirumuskan timnya tidak segera disahkan oleh rektor UGM.

Muhadjir mengingatkan kasus Agni, yang ditangani secara tidak memadai oleh UGM karena, salah satunya, kekosongan peraturan di UGM menangani kasus kekerasan seksual. Meski ada komite etik saat itu yang menangani kasus Agni tetapi belum cukup, menurut Muhadjir.

“Perlu orang yang kompeten dan pedoman untuk menangani kasus kekerasan seksual,” ujarnya.

Harus ada unit penanganan yang preventif atau kuratif di luar litigasi, termasuk pendampingan psikologi dan penyediaan fasilitas kesehatan, ujar Muhadjir. Selain itu, jika terjadi persoalan hukum, harus ada lembaga yang menangani dan melayani advokasi.

"[Selama ini] tidak ada. Lembaga itu yang melakukan tindakan hukum dan penanganan fasilitas terhadap korban. Itu sangat penting," kata Muhadjir, Selasa kemarin (17/12/2019).

Muhadjir berkata betapa pun rancangan peraturan ini telah dirumuskan bersama tim yang ahli dalam kajian gender, psikologi, dan hukum—dan tinggal siap diperasionalkan, nyatanya proses di rektorat sampai senat masih butuh waktu panjang.

Alasannya, rektorat perlu melakukan “review” untuk melihat kesesuaian dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“Padahal sebenarnya ketika kami menyusun draf, kami sudah melakukan itu. Jadi kami sudah mempelajari peraturan sebelumnya. Dan kami sudah mempelajari sistem perundang-undangan nasional tentang masalah kekerasan seksual dan kami jadikan bahan pertimbangan," ujar Muhadjir.

Setelah timnya menyerahkan rancangan peraturan itu kepada rektor pada Mei 2019, sampai sekarang “tidak ada lagi komunikasi formal antara tim penyusun dan pihak rektorat,” kata Muhadjir.

Situasi inilah yang disebut Muhadjir bahwa pengambil kebijakan di kampus tidak menempatkan persoalan kekerasan seksual sebagai prioritas mereka.

“Saya tidak melihat ada sense of urgency (keterdesakan) pada pengambil kebijakan di UGM,” ujarnya. “Sehingga membiarkan terlalu panjang dan terlalu lama.”

Rektor UGM: ‘Hanya Masalah Waktu’

Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan Djagal Wiseso Warseno berkata kepada Tirto bahwa tuntutan Aliansi Mahasiwa UGM tak bisa dipenuhi sesuai janji rektorat karena rancangan peraturan anti kekerasan seksual masih harus dibahas di tingkat Senat Akademik UGM.

Sejak Aliansi berdemontrasi, rektorat telah berupaya secara internal me-review rancangan peraturan tersebut, kata Djagal kepada Tirto, Rabu kemarin (18/12/2019).

“Kemudian, hasil review itu diserahkan ke Senat Akademik untuk dibahas pada rapat pleno,” tambahnya.

“[Janji ditekan] pada 13 Desember tidak terpenuhi karena ada proses-proses internal di Senat Akademik, jadi itu terkesannya lambat,” ujarnya.

Djagal menjelaskan kesepakatan dengan Aliansi bahwa rektor akan menandatangani peraturan pada 13 Desember 2019 itu “karena memang permintaan mahasiswa.” Saat itu ia memperkirakan satu bulan cukup untuk mengesahkan, tapi ternyata ada proses di Senat yang “tidak diperhitungkan” saat itu.

Ia berdalih sejak Mei hingga November 2019, rektorat telah melakukan serangkaian kajian, termasuk menyelenggarakan fora diskusi dengan para pakar dari luar UGM, demi membahas rancangan peraturan tersebut.

Djagal berkata tidak ada perubahan mendasar dari rancangan peraturan yang telah disusun oleh tim.

“Tidak mengubah substansi utama yang diminta atau yang dituliskan di dalam draf itu,” klaimnya.

Rektor UGM Panut Mulyono, saat dikerumuni wartawan selepas satu acara pada Selasa pekan ini, berkata “ada aturan-aturan lain yang berhubungan rancangan peraturan tersebut sehingga memang perlu dilakukan review.”

“Misalnya untuk PNS ketika melakukan pelanggaran etika pelecehan seksual, hukumannya seperti apa sudah diatur jelas di peraturan pemeritah,” kata dia.

Upaya review dan sinkronisasi di tingkat rektorat membutuhkan waktu, menurut Panut, ditambah proses pembahasan di Senat Akademik, lalu ada rapat pleno.

Begitu draf disetujui di tingkat senat, ujar Panut, ia akan langsung menandatanganinya.

“Kami sama sekali tidak ada niat untuk mengolor-ngolor waktu. Tidak ada niat sama sekali untuk tidak memenuhi janji,” katanya. “Ini hanya masalah waktu.”

Ketua Senat Akademik UGM Hardyanto Soebono berkata begitu ada desakan dari Aliansi Mahasiswa UGM, rektorat melakukan langkah cepat membahas rancangan peraturan anti kekerasan seksual

Semula agenda rapat pleno Senat Akademik akan digelar pada Januari 2020. "Tapi, karena ada desakan, ya sudah saya minta teman-teman seadanya nanti rapat pleno khusus tanggal 26 [Desember 2019],” ujarnya kepada Tirto, Rabu kemarin.