tirto.id - Anggota DPRD Kabupaten Bantul Yogyakarta Supriyono menyebut ada pasien di-Covid-kan dan dikubukan seperti mengubur anjing. Pernyataan itu dinilai membahayakan penanganan pandemi dan berpotensi melanggar hukum.
Tudingan kader Partai Bulan Bintang (PBB) itu dilontarkan saat berceramah di sebuah acara hajatan pernikahan di Kabupaten Kulon Progo, Sabtu (20/2/2021)
“Sekarang ini apa-apa di-Covid-kan. Baru operasi kanker payudara, penyakit gula, di-Covid-kan. Lalu pemakamannya seperti pemakaman anjing, digelontorkan begitu saja. Yang mengubur dari dinas kesehatan dapat proyek pada seenaknya sendiri,” katanya tanpa menyertakan bukti apa pun.
Tak berhenti sampai di situ, Supriyono juga menyebut impor vaksin dari Cina menguntungkan sejumlah pejabat. “Ketika beli dari sana, presiden dan menterinya apa ya tidak mendapatkan fee miliaran, tidak hanya ratusan juta?”
Pernyataan tersebut, yang dilontarkan saat pandemi sudah hampir satu tahun menerjang, membunuh banyak sekali orang, dan melelahkan secara fisik dan mental para petugas kesehatan, mendapatkan respons keras dari sejumlah relawan yang selama ini memakamkan jenazah pasien COVID-19 dengan protokol kesehatan di Bantul dan Yogyakarta. Para relawan yang selama ini bernaung dalam Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (TRC BPBD) berdemonstrasi langsung ke Kantor DPRD Bantul pada Senin (22/2/2021) pagi. Mereka kebanyakan berasal dari Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Bantul.
Komandan TRC BPBD DIY yang memimpin Posko Induk Dukungan Operasi Penanganan COVID-19 Pristiawan Buntoro mengatakan pernyataan Supriyono sebagai fitnah dan provokasi. “Jelas itu fitnah dan provokasi nyata yang... bahaya karena sebagai bentuk penghalangan terhadap penanganan COVID-19,” kata Pristiawan melalui sambungan telepon, Senin (22/2/2021).
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan hal serupa. Menurutnya pernyataan tersebut sangat kontraproduktif. “Ini sangat bahaya, membuat situasi tidak kondusif, membuat masyarakat menjadi kehilangan kepercayaan,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Selasa (23/2/2021). “Itu yang menyebabkan pandemi kita jadi seperti ini. Sinergi sulit dan fokus kesehatan juga sulit,” tambahnya.
Pejabat-pejabat seperti ini menurut Dicky selayaknya mendapatkan sanksi yang tegas, tak cukup hanya ditegur atau dituntut meminta maaf.
Sanksi
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus sepakat harus ada hal lebih selain teguran kepada Supriyono. “Tuntutan terhadapnya tak bisa hanya melalui mekanisme permintaan maaf saja. DPRD Bantul mesti memproses secara etis anggotanya agar tak merusak citra lembaga,” kata Lucius Karus kepada reporter Tirto, Selasa.
“Kepolisian juga bisa memproses beliau ini khusus untuk tuduhannya yang menyesatkan informasi terkait Covid yang dianggap sebagai bancakan proyek pemerintah,” tambahnya.
Menurut Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra, pernyataan bahwa “dinas kesehatan dapat proyek” termasuk fitnah dan tuduhan tanpa bukti. “Jka tidak dapat dibuktikan, ini artinya sama dengan fitnah dan dikualifikasi sebagai tindak pidana dan mesti dipertanggungjawabkan,” kata Azmi kepada reporter Tirto, Selasa.
Menurut Azmi, Supriyono berpotensi melanggar Pasal 311 KUHP yang berbunyi “barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
Oleh karena itu menurutnya pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan ke polisi.
Sebelum ada yang melapor pun, menurut Kapolres Bantul Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Wachyu Tri Budi Sulistiyono, polisi telah menyelidiki video Supriyono yang ia sebut berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. “Setelah kami melakukan penyelidikan, diketahui tempat kejadian ada di Lendah, Kabupaten Kulon Progo,” kata Wachyu kepada reporter Tirto, Selasa.
Karena lokasi kejadian di Kulon Progo, dia bilang saat ini penanganannya dilakukan oleh Polres Kulon Progo bersama dengan Polda DIY. Keduanya yang menentukan “apakah ada pelanggaran dalam kalimat yang disampaikan dalam video itu.”
Pembelaan Supriyono
Supriyono membela diri setelah dikecam beramai-ramai. Ia mengatakan apa yang dikatakannya itu berdasarkan laporan dari warga. Contohnya, seorang warga di Kecamatan Srandakan Bantul dilaporkan meninggal dan dikubur hanya dengan dibungkus kain dan plastik lalu langsung dimasukkan begitu saja ke liang lahat tanpa diberikan peti jenazah.
“Itu kan kasihan. Itu ada masyarakat langsung yang menyaksikan. Mau dikubur warga tidak boleh tapi karena ada dari petugas langsung dimasukkan [ke] kubur, langsung diuruk,” kata Supriyono kepada reporter Tirto, Selasa pagi. “Itu ada buktinya.”
Pun demikian dengan pernyataan bahwa dinas kesehatan mendapatkan proyek dalam penanganan pandemi. “Proyek dinas kesehatan itu memang ada. Kalau tidak ada, tidak mungkin. Anggaran fokus untuk COVID-19 itu Rp115 miliar. FPRB [relawan] tidak tahu, saya yang ikut membahas anggarannya dan mengawasi.”
Menurutnya, semua yang dikatakannya itu sesuai dengan fungsinya sebagai legislatif, yaitu melakukan pengawasan. Ia merupakan anggota Komisi D yang mengurusi soal kesehatan, selain sosial dan agama. “Ketika ada kasus seperti itu, apakah saya selaku pengawas baik itu pengawasan kematian dan kesehatan [tidak boleh menyampaikan]? Kan, tupoksi saya,” tambahnya.
Oleh karena itu menurutnya tak seharusnya para relawan tersinggung dan marah. Lagipula saat ceramah Supriyono bilang tak menyebut secara langsung mengenai mereka. “Itu bukan provokatif, biar membangkitkan semangat dan psikologi agar tidak digebyah uyah COVID-19 yang seolah-olah menakutkan. Kan kalau sudah meninggal ya virusnya meninggal. Apa iya sudah meninggal lalu virusnya menular sampai mana-mana?” ujarnya.
Pada Selasa siang Supriyono melakukan audiensi bersama dengan sejumlah relawan. Meski membela diri, lewat keterangan resmi, ia menyatakan permohonan maaf.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino