Menuju konten utama

Timothy dan Gagalnya Kampus Mewujudkan Ruang Inklusif

Budaya kekerasan di kampus salah satunya terjadi karena struktur sosial yang menormalisasi dominasi.

Timothy dan Gagalnya Kampus Mewujudkan Ruang Inklusif
Timothy Anugerah Saputra, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan IImu Politik Universitas Udayana. Instagram/univ.udayana

tirto.id - Peringatan: Artikel ini memuat informasi terkait bunuh diri. Informasi dalam artikel ini tidak bertujuan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika Anda, teman, kerabat, atau keluarga memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi bantuan profesional melalui psikolog, psikiater, atau dokter kesehatan jiwa di puskesmas atau rumah sakit terdekat.

“Gerakan kami telah kehilangan seorang pejuang yang tulus. Kamerad Timothy berpulang pada Rabu pagi, 15 Oktober 2025, setelah berjuang panjang melawan penyakit mental,” tulis unggahan akun Instagram Front Muda Revolusioner dalam obituari dalam mengenang mendiang Timothy Anugerah Saputra.

Timothy Anugerah Saputra adalah mahasiswa Universitas Udayana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Program Studi Sosiologi. Timothy adalah seorang mahasiswa yang kritis. Potongan video pendek yang menampilkan mahasiswa Universitas Udayana angkatan 2022 itu saat berorasi dan pidato terkait isu militerisme, kapitalisme, hingga gerakan sosial tiba-tiba bermunculan dan mendapat tanggapan hangat dari pengguna medsos.

Namun, Timothy berpulang begitu cepat. Rabu (15/10/2025) Timothy tewas setelah diduga mengakhiri hidup dengan cara melompat dari lantai empat Gedung FISIP Unud di Denpasar, Bali, Rabu (15/10/2025). Setelahnya, masalah lama dalam dunia pendidikan Indonesia turut mencuat ke permukaan: dugaan kasus perundungan berujung kematian.

Karangan bunga di FISIP Universitas Udayana

Karangan bunga di depan Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana untuk mengenang Timothy Anugerah Saputra, Senin (20/10/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Isu perundungan di sekitar kematian Timothy muncul setelah sebuah tangkapan layar grup percakapan WhatsApp tersebar luas di media sosial. Percakapan yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa UNUD itu berisi ujaran dan pernyataan-pernyataan nirempatik dalam merespons kabar tewasnya Timothy. Dalam potongan percakapan yang tersebar itu, peristiwa tewasnya Timothy justru dijadikan mereka bahan candaan.

Rupanya mereka memang mahasiswa UNUD yang tergabung di dalam sejumlah organisasi kemahasiswaan. Setelah isi percakapan grup WhatsApp itu viral, enam mahasiswa UNUD membuat video permintaan maaf kepada publik atas tindakan tak pantas mereka merespons peristiwa tewasnya Timothy.

Dicatat Tirto, setidaknya ada enam mahasiswa yang dipecat dari organisasi kemahasiswaan di lingkup sivitas akademika UNUD usai kasus percakapan tak etis yang bocor ini. Informasi nama-nama mahasiswa yang diberhentikan dari organisasi kemahasiswaan itu diunggah oleh beberapa akun Instagram, meliputi akun @himapolfisipunud (Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UNUD Kabinet Cakra); @dpmfisipunud (Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FISIP UNUD); serta akun @bemfkp_unud (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan UNUD).

Selain enam mahasiswa dari lingkup organisasi kemahasiswaan UNUD yang diberhentikan secara tidak hormat oleh organisasi masing-masing, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Dr IGNG Ngoerah juga menempuh tindakan serupa terhadap sejumlah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNUD yang sedang menjalani koas atau ko-asisten.

Sejumlah dokter koas diduga ikut pula melontarkan ucapan tidak etis dalam perbincangan di medsos dalam merespons peristiwa kematian Timothy. Karena menimbulkan citra buruk terhadap RSUP Prof Dr IGNG Ngoerah dan Universitas Udayana, mereka dikembalikan oleh pihak rumah sakit tersebut ke Fakultas Kedokteran UNUD untuk menerima pendalaman dan investigasi.

Usai sejumlah mahasiswa dan sivitas akademika UNUD ketahuan melontarkan tanggapan tidak etis di hari kematian Timothy, publik jadi mencurigai bahwa ada dugaan perundungan di balik kejadian nahas yang menimpa Timothy. Namun, dugaan itu tengah didalami kampus dan pihak kepolisian untuk saat ini.

Teranyar, Senin (20/10/2025), Kepolisian Sektor (Polsek) Denpasar Barat telah memeriksa 19 orang saksi terkait kasus meninggalnya Timothy. Saksi-saksi tersebut terdiri atas teman korban, dosen, dan orang tua korban.

Dari hasil pemeriksaan saksi, polisi menyimpulkan korban jatuh dari lantai empat Gedung FISIP UNUD. Terdapat tiga orang saksi yang melihat korban keluar dari lift di lantai empat, lalu duduk di lokasi ditemukannya tas dan sepatu milik korban.

"Dari saksi-saksi yang kami sudah minta keterangan, baik itu pihak dosen, teman-teman satu angkatan dan satu kelas dengan korban, serta sahabat-sahabat dari korban, tidak ada yang menyampaikan atau menyebutkan bahwa selama ini mengetahui adanya perundungan yang dialami oleh korban," ungkap Kapolsek Denpasar Barat, Kompol Laksmi Trisnadewi, di Polsek Denpasar Barat.

Bukan Karena Skripsi

Pihak kampus alias UNUD juga sudah buka suara terkait kematian Timothy. Pihak kampus memastikan Timothy tidak bunuh diri karena tekanan dalam penyusunan skripsi. Ketua Unit Ketua Unit Komunikasi Publik Universitas Udayana, Ni Nyoman Dewi Pascarani, mengeklaim sudah memeriksa dosen pembimbing skripsi Timothy.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh, proses bimbingan skripsi secara formal baru berjalan sekitar 20 hari dengan total bimbingan sebanyak dua kali.

“Tidak ada catatan atau keluhan almarhum selama proses pembimbingan kepada pembimbing skripsinya," ungkap Dewi dalam konferensi pers di Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, Senin (20/10/2025).

Pihak kampus mengenal Timothy sebagai sosok berprestasi dan memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) baik, sebesar 3,91. Berdasarkan keterangan dari teman-teman dan tenaga pendidik, Timothy memiliki sifat yang baik dan aktif berdiskusi.

Dewi menyebut, bahwa pihak UNUD telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) pada Jumat (17/10/2025) lalu untuk menyelidiki kasus ini.

Bullying

Ilustrasi perundungan. Getty Images/iStockphoto

Tim tersebut juga akan segera menyusun rekomendasi mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku ucapan nirempatik terhadap kejadian kematian Timothy. Dewi mengungkap, pihak FISIP sudah memanggil mahasiswa pelaku tindakan ucapan tidak etis tersebut serta merekomendasikan memberikan nilai tidak baik (D) bagi kemampuan soft skill mereka.

Pimpinan UNUD menargetkan Satgas PPKPT untuk menuntaskan pemeriksaan dalam waktu dua minggu. Dewi mengungkap, meskipun para pelaku ucapan nirempatik di hari tewasnya Timothy sudah meminta maaf kepada pihak keluarga, tapi investigasi dan pendalaman tetap dilanjutkan UNUD.

"Satgas PPKPT akan menghadirkan ahli bahasa untuk mengidentifikasi tindakan dari pelaku, apakah itu termasuk kategori perundungan atau bahkan lebih. Kita lihat nanti hasilnya seperti apa. Hukuman maksimal ketika ada kasus perundungan dan juga pelanggaran etika itu adalah bisa dikeluarkan dari universitas,” ucap Dewi.

Perundungan, Masalah Laten Institusi Pendidikan

Kasus tewasnya Timothy yang diduga mengakhiri hidupnya sendiri serta isu perundungan di sekelilingnya menegaskan bahwa masalah lama di dunia pendidikan Indonesia belum juga selesai. Kasus perundungan di institusi pendidikan, terutama lingkungan sivitas akademika perguruan tinggi, menandakan bahwa tempat untuk mencetak anak-anak terdidik ini belum sepenuhnya menjadi lingkungan yang inklusif dan ruang yang aman.

Sebelumnya, kasus perundungan hingga menyebabkan korban meninggal pernah terjadi di Universitas Lampung (Unila), diduga korban mengalami kekerasan saat ikut kegiatan organisasi mahasiswa pecinta alam. Tahun lalu, mahasiswa dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) juga diduga mengakhiri hidupnya usai mengalami perundungan dan beban kerja berat dari senior-seniornya.

Sosiolog sekaligus pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai lembaga pendidikan—baik universitas, sekolah, maupun pesantren—belum menjadi ruang netral yang bebas dari praktik kekerasan. Ia menilai praktik perundungan, kekerasan verbal, psikologis, hingga seksual masih subur di dunia pendidikan.

Fenomena ini berakar dari relasi kekuasaan yang timpang, baik sesama mahasiswa, junior dengan senior, mahasiswa dengan dosen, atau sivitas akademika lain. Tradisi seperti ospek atau perpeloncoan meski dikemas ulang, tetap menyisakan praktik dominasi dan senioritas yang rawan memicu kekerasan.

“Itu mendegradasikan nilai-nilai kebebasan akademik, nilai produksi pengetahuan di kampus yang justru mencoreng dan membuat kampus pada titik nadir terendah. Bayangkan almarhum TAS, ingin kuliah untuk mencapai masa depannya, membanggakan orang tuanya, keluarganya, tapi kemudian mati konyol oleh senior-senior atau temannya karena dugaan perundungan,” kata Rakhmat kepada wartawan Tirto, Senin (20/10/2025).

Menurutnya, budaya kekerasan di kampus terjadi karena struktur sosial yang menormalisasi dominasi. Senior, kelompok mayoritas, bahkan dosen, merasa punya superioritas sehingga memanfaatkan posisi menekan atau mengeksploitasi pihak lain.

Pola macam ini, ungkap Rakhmat, tampak pula dalam kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa, seperti kelompok pecinta alam atau organisasi kesenian, yang terkadang menjadi arena reproduksi kekuasaan. Mulanya praktik perundungan itu dianggap ‘guyonan’, tetapi berujung fatal hingga merenggut nyawa.

Karenanya, Rakhmat mengkritik Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi alias Satgas PPKPT, yang ada di kampus, diduga sebatas formalitas administratif. Ia menilai Satgas PPKPT sering kali bergerak setelah ada laporan masuk dan jarang melakukan sosialisasi, kampanye, atau monitoring yang aktif.

Padahal, menurutnya, satgas harus menjadi garda terdepan dalam membangun kampus yang aman dan responsif terhadap kekerasan, bukan sekadar memenuhi kewajiban dari kementerian.

“Karena mereka punya tanggung jawab. Melakukan pencegahan, koordinasi, monitoring dengan fakultas, dengan universitas, dengan program-program studi. Sehingga menjadi lebih masif dan paling enggak anak-anak mahasiswa merasa nyaman terlindungi,” ujar Rakhmat.

Ilustrasi Cyberbullying

Ilustrasi Cyberbullying. foto/istockphoto

Amanat pembentukan Satgas PPKPT di perguruan tinggi merupakan amanat Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024. Regulasi ini sebetulnya dibentuk untuk menjadi langkah strategis pemerintah menciptakan perguruan tinggi sebagai ruang aman, inklusif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

Dalam aturan ini definisi kekerasan juga diperluas cakupannya: fisik, psikis, seksual, perundungan, diskriminasi, intoleransi, hingga kekerasan berbasis kebijakan.

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menegaskan efek perundungan tidak bisa diremehkan, karena dampaknya sangat serius dalam jangka pendek atau jangka panjang. Dalam jangka pendek, korban biasanya mengalami perasaan tidak pantas (insecure) serta kehilangan rasa percaya diri.

Dalam jangka panjang, kata Diyah, kondisi demikian bisa berkembang menjadi kondisi stres, depresi, hingga tindakan menyakiti diri sendiri atau bunuh diri. Terkait fenomena bullying di lingkungan pendidikan, ia juga memperhatikan terjadi temuan yang unik.

Pada Generasi Z, kata dia, korban bullying cenderung melukai diri sendiri. Sedangkan pada Generasi Alpha atau usia lebih muda lagi, beberapa korban perundungan justru melawan balik hingga mencelakai pelaku, meski tanpa rencana atau sekadar spontanitas. Ia menilai fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita belum sepenuhnya menjadi ruang aman dan inklusif bagi siswa maupun mahasiswa.

“Kita juga harus mengevaluasi bahwa selama ini jangan-jangan masyarakat kita masih abai, dan masih nirempati dengan adanya bullying dan juga tindakan-tindakan yang mencederai ataupun juga mendiskriminasi ataupun mendominasi, sehingga pelaku bullying dan perilaku bullying seolah diwajarkan atau dinormalisasi,” ungkap Diyah kepada wartawan Tirto, Senin (20/10).

Sementara itu, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, memandang norma sosial masyarakat terlalu fokus terhadap konsep ‘normal’ yang secara tidak langsung membentuk kita untuk melihat hal selalu seragam. Ketika ada kondisi yang berbeda pada diri seseorang dan dengan kurangnya kepekaan, kemungkinan terjadi praktik perundungan menjadi lebih tinggi.

Ilustrasi Cyberbullying

Ilustrasi Cyberbullying. foto/istockphoto

Wawan juga menyoroti kampus belum sepenuhnya menjalankan fungsi dari Satgas PPKPT dan pemerintah juga belum melakukan evaluasi yang ketat terhadap situasi ini. Ia berharap kasus Timothy, bisa menjadi pemantik untuk lebih perhatian dan mulai memikirkan peranan satgas di tiap kampus.

“⁠Setiap orang perlu lebih terbuka dan empati terhadap sesama. Kepekaan ini bisa hadir dengan upaya sadar yang dilakukan berbagai pihak. Misal sejak dini, anak perlu menghargai perbedaan, dan orangtua berperan penting. Di tiap level, upaya itu perlu disiapkan matang,” terang Wawan kepada wartawan Tirto, Senin (20/10).

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, sebelumnya sudah menginstruksikan Rektor Universitas Udayana, Made Suyadnya, membentuk tim investigasi kasus kematian Timothy. Ia berharap tim investigasi dapat menelisik penyebab kematian Timothy dan melakukan pendampingan terhadap keluarga yang ditinggalkan.

Brian berharap tim investigasi tersebut juga memastikan bahwa Universitas Udayana akan bebas dari segala bentuk perundungan terhadap mahasiswanya, sehingga kejadian serupa tak terulang lagi di masa depan. Brian mengungkap bahwa kejadian yang menimpa Timothy dapat menjadi pelajaran tidak hanya bagi Universitas Udayana, tetapi juga bagi kampus dan elemen pendidikan lainnya di Indonesia.

“Jadi, intinya adalah kita ingin kampus menjadi ruang yang bebas dari bullying, dan sudah ada aturan serta ketentuan. Kami mendukung dan mendorong agar seluruh proses bisa dilakukan dengan baik sesuai ketentuan yang ada,” tegas Brian di kediaman Presiden Prabowo Subianto, Jakarta Selatan, Minggu (19/10/2025).

Baca juga artikel terkait PERUNDUNGAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty