tirto.id - Saat diminta merangkum segenap ajaran Buddha dalam satu kalimat, biksu Zen Suzuki Roshi menjawab hanya dengan dua kata: “Segalanya berubah.”
Enam tahun lalu, saban tengah malam di kota-kota kecil di Kepulauan Bangka Belitung, mobil-mobil bobrok yang tangkinya telah dipergembung berbaris di luar stasiun-stasiun pengisian bahan bakar. Menjelang siang mereka berpencar dan mulai mengangkut solar ke pelbagai tempat.
Bahan bakar diesel itu kemudian berpindah ke tambang-tambang timah kecil yang dikelola oleh rakyat kebanyakan. Maka, saat mobil-mobil butut itu tak lagi terlihat seperti sekarang, orang patut bertanya: apa yang terjadi pada tambang-tambang timah rakyat di kawasan tersebut?
Menurut sejumlah survei geologis tahun 2015, cadangan bijih timah terukur di Indonesia adalah yang terbanyak kedua di dunia, 800 ribu ton, dan pada 2014 hasil penambangannya setara 19,77 persen dari produksi global.
Pemilik cadangan dan penghasil timah terbesar saat ini, Cina, lebih banyak memanfaatkan hasil tambang itu untuk kebutuhan industri dalam negerinya. Maka, Indonesia yang berjualan timah batangan, timah patri atau solder, dan olahan dasar lainnya (misal: pelat dan pembuluh), kebagian peran penting di pasar dunia.
Timah Indonesia juga diyakini “tidak berlumuran darah”, berbeda dari produk Kongo dan negara-negara lain yang sedang dilanda perang. Jurnalis Cam Simpson, dalam laporannya yang diterbitkan Bloomberg pada 2012, mengutip pernyataan sebuah perusahaan penghasil patri: “Membeli timah indonesia adalah rute yang tepat menuju jaminan bebas konflik.”
Pengguna timah yang terbesar ialah pabrik alat-alat elektronik. Patri yang menghubungkan komponen-komponen dalam gawai dan komputer dan televisi dan pendingin udara hampir seutuhnya terbuat dari timah.
“Timah di ponsel bisa saja diganti dengan emas atau perak. Tapi, siapa yang mau membeli? Bisa juga diganti dengan timbel. Tapi, siapa yang mau memakai?” ujar Ir. Suranto Wibowo, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Bangka Belitung pada 29 September di kantornya. Saat bicara tentang timbel, ia menjauhkan ponsel dari wajahnya.
Lembaga yang dipimpin Suranto mencanangkan produksi timah sebesar 70 ribu ton dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) tahun ini, sedangkan produksi riil timah Indonesia pada 2013 dan 2014, menurut British Geological Survey, adalah 88,4 dan 70,2 ribu ton. Artinya, sebagian besar timah Indonesia berasal dari Provinsi Bangka Belitung.
Menurut Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Bachrul Chairi yang dikutip Kontan pada 19 September, Indonesia memasok 70 hingga 80 persen kebutuhan timah dunia.
Cadangan terukur relatif banyak, produksi tinggi, dan permintaan senantiasa pasang. Dengan demikian, absennya salah satu penanda utama pertambangan timah rakyat berarti kini penambangan memang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan besar belaka.
“Belakangan, pertambangan memang diatur secara lebih ketat,” kata Fandi Firmansyah, manajer pabrik peleburan (smelter) timah PT Tinindo Internusa pada 28 September 2016.
Berkebalikan dengan cerita yang ia sampaikan, cara bicara Fandi terkesan riang dan bahasa tubuhnya penuh warna. “Kamu tahu sendiri, sepuluh tahun lalu semua orang bisa gali sana, gali sini,” ujarnya sambil menciduk udara di kiri dan kanan tubuhnya, seperti dalam tarian pengiring lagu Potong Bebek Angsa.
Lalu mimiknya sekonyong-konyong jadi serius. “Tidak ada aturan, seperti wild, wild, west,” katanya.
Wild West atau Barat Liar adalah perumpamaan yang ciamik. Di Barat Liar, kita tahu, orang bukan hanya bisa cepat kaya dan petantang-petenteng memunggungi hukum yang loyo, tapi juga mati dengan gampang. Sepanjang 2011 kepolisian mencatat 41 orang, atau nyaris satu orang setiap pekan, mati di tambang timah, terutama karena tertimbun tanah longsor.
Aturan baru yang dimaksud Fandi ialah moratorium penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dan pemindahan wewenang pemberi izin tersebut. Seturut Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kuasa kabupaten untuk menerbitkan IUP telah diambil alih oleh provinsi (modal dalam negeri) dan pemerintah pusat (modal asing).
Menurut dia, meski penting, aturan bisa berbalik memicu masalah andai sumber penghasilan pengganti timah tak disiapkan dengan baik. “Dulu penambang ilegal kabur kalau ada penggerebekan,” katanya. “Sekarang, kalau TI (tambang inkonvensional/tambang rakyat) dibakar petugas, pemiliknya bisa balik mengamuk.”
“Saat krisis moneter pemerintah mungkin melakukan pembiaran. Ketimbang orang ribut, tidak bisa makan, lebih baik mereka cari timah walaupun banyak yang liar dan caranya serampangan. Tetapi situasi itu berlangsung kelewat lama. Sampai 2010, ada lebih dari 10 ribu tambang di provinsi ini,” kata Fandi. Ia mengucapkan kalimat terakhir sambil bergidik.
Fandi menyatakan pemerintah pusat terkejut saat mengetahui ada lebih dari tiga ribu IUP yang telah diterbitkan di Bangka Belitung sejak kawasan itu mekar jadi provinsi baru pada tahun 2000—padahal pendataan belum selesai. Kalau tambang yang sah saja sebanyak itu, berapa jumlah yang ilegal?
Simpson memperkirakan ada 15 hingga 50 ribu buruh yang bekerja dan hidup dari tambang-tambang timah di Bangka Belitung. “Satu tambang kecil dikelola oleh 3 hingga 5 pekerja,” tulisnya, “dan setiap hari masing-masing memperoleh sekitar 65 ribu rupiah saja.”
“Tapi kita tidak bisa bilang itu kebablasan,” ujar Suranto tentang penerbitan IUP oleh para bupati sebelum UU Nomor 23 tahun 2014 berlaku. “Itu sah, dan bagi mereka, 'kan, yang penting tambang-tambang itu menyumbang untuk pendapatan daerah,” katanya.
Namun, tentang sebab utama penyurutan aktivitas tambang rakyat, Fandi dan Suranto sepakat. Hambatan terbesar bagi para penambang kecil bukan peraturan, melainkan keberadaan bijih timah itu sendiri. Meski jumlahnya masih banyak, mineral itu kini tidak lagi berada di permukaan.
“Untuk mengupas top soil sampai kedalaman 25 meter itu perlu peralatan canggih dan biayanya bukan main,” ujar Fandi. Sedangkan tambang rakyat umumnya hanya dilengkapi peralatan sederhana. “Dengan satu mesin dan tiga pekerja, dengan modal 20 juta saja, orang sudah bisa membuka tambang,” kata Suranto.
Fandi dan Suranto memikirkan jalan keluar yang berlainan untuk situasi sulit itu. Di luar kedudukannya selaku pegawai perusahaan timah besar, Fandi mengaku berusaha mengajak orang-orang Bangka Belitung “kembali” menjadi petani sahang atau lada putih. Perkebunan lada pernah menjadi mata pencarian utama rakyat, katanya, dan terbukti dapat menghidupi.
Ia menunjukkan serangkaian hitung-hitungan sederhana untuk membuktikan bahwa lada bisa menjadi tulang punggung ekonomi yang lebih baik ketimbang timah. “Dari 1,2 triliun ekspor Bangka Belitung per bulan, sekitar 1 triliun-nya itu uang timah,” ujarnya.
Pernyataan itu sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS): 83,6 persen dari keseluruhan ekspor Provinsi Bangka Belitung pada Agustus 2016 adalah timah, dengan nilai (freight on board) 77,6 juta dolar Amerika Serikat atau 1,009 triliun rupiah.
“Kalau ada apa-apa dengan timah, provinsi ini pasti guncang,” ujar Fandi. Sudah saatnya Bangka Belitung mencari produk pokok yang dapat menggantikan timah dan, menurut Fandi, sahang adalah pilihan yang bagus.
Satu hektare kebun dapat menampung seribu pohon dan dalam kondisi baik, satu pohon bisa menghasilkan dua kilogram sahang setiap kali panen. Kini harga jual sahang (dari petani) sekitar 160 ribu per kilogram. Dan yang paling penting, rempah itu terbarui.
Tapi, ekspor sahang dan hasil pertanian lain dalam kategori "teh, kopi, dan rempah-rempah" Bangka Belitung pada Agustus 2016 hanya 96,3 miliar, kurang dari 10 persen nilai ekspor timah. Artinya, mempersiapkan sahang sebagai pengganti timah ialah kerja yang sangat berat.
Dalam dokumen Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2016, pemerintah Provinsi Bangka Belitung menetapkan ancar-ancar pengeluaran sebesar 50,2 miliar rupiah untuk urusan pertanian, perkebunan, dan peternakan—termasuk untuk pengembangan bibit, penyuluhan, dan lain-lain. Jumlah itu bahkan lebih kecil dibandingkan dengan anggaran untuk rumah sakit jiwa, 56 miliar, dan rumah sakit umum provinsi, 63,5 miliar.
Di sisi lain, Suranto secara spesifik membicarakan perbaikan di bidang pertambangan timah. Ia berpandangan penambang-penambang alit semestinya disokong dan dididik—untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja dan mengelola lahan bekas tambang secara benar, misalnya—oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Selain itu, ia berpendapat aturan-aturan yang memudahkan pertambangan rakyat juga perlu disusun.
Suranto mengaku sudah menyampaikan masukannya kepada pemerintah republik, juga ketika Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri berkunjung ke Bangka Belitung pada pertengahan 2015.
“Definisi tambang rakyat itu masih terlalu sempit,” ujarnya. “Misalnya ia menyatakan dalam tambang rakyat, mesin yang digunakan maksimum berkekuatan 25 tenaga kuda (horsepower/hp) saja. Itu 'kan, itu tidak tepat. Tambang timah, walaupun kecil, bisa saja pakai mesin 40 tenaga kuda, sebab mesin itu dipakai untuk menyemprot tanah dan mengisap lumpur sekaligus.”
Belum lagi soal pembagian wilayah di laut, antara TI apung dan kapal isap, yang juga mendesak minta ditangani. “Dan itu perkara rumit,” katanya setelah jeda sebentar. “Di laut, kepentingan tambang bisa bertabrakan dengan nelayan. Dan nelayan, 'kan, rakyat kita juga.”
Namun, kerumitan itu sama sekali tak tercermin dalam pernyataan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di situs resminya: “Tahun 2016, tema pembangunan adalah memantapkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, infrastruktur, dan pengelolaan lingkungan hidup.”
Sampai April lalu, menurut Bangka Pos, telah ada 173 ribu hektar kebun kelapa sawit di Bangka Belitung. Para pemilik potongan terbesarnya tentu bukan rakyat, melainkan, antara lain, Oriental Holdings (Malaysia), seluas 20 ribu hektar, atas nama PT. Bumi Sawit Sukses Pratama; Anglo-Eastern Plantations (Inggris), 8,7 ribu hektar, atas nama PT. Bangka Malindo Lestari; Kencana Agri Ltd. (Singapura), 6,7 ribu hektar, atas nama PT. Sawindo Kencana; dan lain-lain.
Dilihat dari sisi mana pun, jika cita-cita mulia “pengembangan ekonomi kerakyatan” dan “pengelolaan lingkungan hidup” ibarat buah-buah di tangkai pohon yang tinggi, pemberian izin perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari sepertiga Pulau Belitung itu tak ubahnya menjolokkan galah ke mata sendiri.
Menurut Siti Latifah dalam “Keragaan Pertumbuhan Acacia mangium pada Lahan Bekas Tambang Timah” (tesis pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2000), PT Timah telah berhasil melakukan revegetasi pada bekas tambang menggunakan tumbuhan perintis akasia dalam tempo enam tahun.
Lahan yang rusak akibat tambang-tambang timah bisa dihijaukan, kolong atau danau buatan yang telanjur jadi bisa dijadikan sumber air atau tambak. Tapi, bisakah perusahaan-perusahaan sawit dan para pendukungnya—termasuk pihak yang memberikan izin usaha perkebunan kepada mereka—membuktikan hal yang sama, menjanjikan hal yang lebih penting ketimbang apa pun kepada rakyat: bahwa tanah yang dilanda kelapa sawit takkan serta-merta berubah menjadi padang pasir buat selama-lamanya?
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti