Menuju konten utama

Dalam Pertambangan Sering Ada Kejutan

Timah adalah komoditas andalan Bangka Belitung. Bagaimana provinsi ini mengelola pertambangan Timah, yang menjadi tumpuan bagi sebagian besar produksi di dunia?

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Ir. Suranto Wibowo [Foto/Trawangbelitongnews.com]

tirto.id - Jam sembilan pagi, 29 September 2016, tirto.id tiba di kantor Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Air Itam, Pangkal Pinang. Kantor itu lengang. Di lobinya, dua pegawai berkemeja batik menonton perkelahian buaya dan kudanil di televisi.

“Kalau mau wawancara, harus dengan Pak Kadis (Kepala Dinas), Mas,” ujar salah seorang penonton kanal National Geographic itu dalam bahasa Indonesia yang campur aduk dengan bahasa Melayu Bangka. “Tapi beliau sedang tugas luar, pulangnya jam dua.”

Pukul dua siang, televisi masih menyala di ruangan itu, tapi penontonnya sudah tidak ada. Setelah menunggu sekitar 15 menit, seorang pegawai perempuan mengantarkan tirto.id menemui Ir. Suranto Wibowo, Kepala Dinas tersebut.

“Wah, Anda masih muda, ya,” ujarnya sambil menyalami Tirto.id. Sepanjang 40 menit mengobrol, Suranto memberikan penjelasannya tentang timah dan pertambangan timah di Bangka Belitung. Berikut petikan wawancaranya dengan Dea Anugrah dari tirto.id.

Seorang narasumber mengatakan 80-an persen ekspor Bangka Belitung adalah timah. Apakah itu benar?

Komoditas tambang yang diekspor Bangka Belitung adalah timah, kaolin, dan zircon. Tapi zircon cuma sedikit, jauh kalau dibandingkan dengan timah. Tapi, kalau 80 persen itu data perdagangan, kemungkinan besar valid. Kami belum menghitungnya sediri.

Produksi timah Bangka Belitung kira-kira sampai 50 ribu ton per tahun?

Ya. Dalam RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Belanja) yang kami siapkan, kisarannya di 70 ribu ton. Tapi itu rencana, ya. RKAB itu nanti digunakan untuk mendapatkan persetujuan ekspor.

PT Timah juga sedang mengejar performance RKAB, agar data produksi mereka tidak sampai anjlok lagi. PT Timah menghasilkan sekitar 22 ribu ton dalam bentuk bijih. Sedangkan logam ekspornya sekitar 18,2 ribu metrik ton.

Perusahaan swasta ada yang produksinya sebesar itu?

Yang paling besar itu RBT, Refined Bangka Tin (bagian dari Arta Graha Network milik Tomy Winata). Produksi mereka di angka 12 ribu. Tapi, kan, beberapa waktu lalu mereka sempat vakum. Ke depannya kami akan memantau lagi.

Menurut British Geological Survey, tahun 2014 produksi timah Indonesia adalah 70.200 ton. Kalau lembaga Anda memperkirakan produksi sampai 70 ribu ton, berarti seluruh produksi timah indonesia itu dari Bangka Belitung?

Tidak. Produksi Indonesia memang segitu, tapi di Kundur (Kepulauan Riau) juga ada dua smelter. Satu punya timah, satu lagi punya swasta. Kira-kira hasilnya 25 persen dari produksi Bangka Belitung.

Menurut data lain, produksi timah Indonesia turun. Dari 100 ribu ton menjadi 80 ribu ton dan, pada 2014, jadi 70 ribu-an. Apa sebabnya?

Cadangan timah itu naik-turun. Dalam sumberdaya ada istilah tereka, terkira, dan terukur. Pada saat terukur itu sudah ekonomis, sudah ditentukan dengan harga jual. Barang ini sekarang ekonomis, lima tahun lagi mungkin tidak.

Teknologi, biaya, harga jual, dan permintaan pasar berpengaruh. Kalau harganya cuma 13 ribu dolar Amerika Serikat per ton seperti di awal 2016, siapa yang mau memproduksi?

Sekarang, seiring kenaikan harga, produksi diperbesar. Tapi, setelah 6 bulan membatasi produksi karena harga yang rendah, akhirnya pasti terbatas. Untuk menyamai kinerja produksi tahun 2015 saja susah.

Tapi situasi sekarang ini preseden yang baik. Silakan Anda periksa, sekarang harga seluruh logam turun, cuma timah yang naik.

Betul, saya sempat membaca berita kenaikan harga timah.

Bahkan melejit, ya. Yang tadinya 16 ribu dolar per ton, sekarang sudah 20 ribu. Itu besar sekali efeknya untuk devisa. Tapi ada juga kekhawatiran: jangan-jangan, kalau naiknya secepat ini, nanti jatuhnya juga cepat. Kebanyakan pelaku sekarang menunggu, berhati-hati.

Pada waktu harga timah rendah, mengapa produksi diperkecil? Mengapa tidak disimpan atau ditimbun untuk dijual lagi waktu harga naik?

Mau menyimpan sampai kapan? Waktu harga timah 13 ribu dolar per ton, produksi tidak mungkin berjalan. Kalau turun lagi ke 12 ribu, perusahaan bisa bangkrut. Ada semacam batasan harga jual minimum supaya penambangan, secara ekonomi, aman dilaksanakan.

Bagaimana dengan penambang-penambang kecil?

Kalau harga rendah, mereka lebih susah lagi. Tapi sekarang harga sedang bagus. PT timah memberi peluang besar, mereka mau membeli dari penambang-penambang kecil dengan harga tinggi.

Wah, PT Timah pernah mengeluarkan pernyataan soal itu?

Tidak, mereka tidak bicara apa-apa, tapi tiba-tiba menaikkan harga beli. Kalau dulu, waktu harga beli perusahaan swasta lebih tinggi, PT Timah teriak. Sekarang, ganti swasta yang teriak. Tapi menurut saya, baiknya mereka berkolaborasi saja.

Di Bangka Belitung ada berapa banyak tambang rakyat—skala kecil—yang legal?

Sekarang tambang rakyat itu penuh keterbatasan. Dulu, dengan timah yang terletak di kedalaman 4 sampai 10 meter, mereka bisa bekerja. Sekarang mereka tidak mampu lagi. Untuk menjangkau aluvial yang semakin dalam, perlu mesin yang lebih besar.

Jadi, sekarang jumlahnya jauh berkurang. Tapi datanya kami belum dapat. Nanti saya minta lagi, terutama dari PT Timah. Ada berapa, sih, penambang kecil yang bermitra dengan mereka. Kami juga butuh data ini untuk menentukan rencana reklamasi. Dalam tiga atau empat bulan ini, kami akan mengumpulkan data ini, termasuk dengan mengirim staf ke lapangan.

Reklamasi itu detailnya seperti apa? Misal: wajib dilaksanakan dalam berapa tahun setelah penambangan, harus dijadikan apa?

Rencana reklamasi disampaikan kepada kami setiap lima tahun oleh PT Timah, oleh para pemegang IUP. Itu kewajiban. Mereka juga wajib menyampaikan jaminan reklamasi berupa deposito ataupun garansi bank, atas nama gubernur qq perusahaan tersebut.

Detail pelaksanaannya?

Mengembalikan tanah seperti semula jelas tidak mungkin, tapi kami coba menatanya jadi lebih baik. Kalau revegetasi tak bisa dilakukan karena bekas tambang itu berbentuk kolong (danau buatan), kami akan tata kolong itu. Salah satunya, di awal, kami beri pagar supaya orang tidak tercebur.

Setelah dua-tiga tahun, kalau perusahaan itu masih di sini, kami bisa bilang: tolong kasih ikan. Untuk bekas tambang yang bukan kolong, bisa ditanami dengan tanaman pionir dulu. Begitu humus terbentuk kembali, baru coba dengan tanaman produktif.

Ada contoh reklamasi yang sukses dan lahannya sudah ditanami tanaman produktif?

Ada. Tapi menggunakan tanaman pionir, ya, bukan tanaman produktif. Misalnya akasia. Dalam dua tahun, diameter batang akasia itu 18-25 cm. Itu sudah bisa jadi uang dan dikembalikan ke masyarakat, jadi boleh dibilang produktif juga. Pionir itu sifatnya, artinya tanaman yang daya hidupnya besar.

Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan yang tidak mau melakukan reklamasi? IUP nya dicabut?

Tidak ada yang begitu. Lagi pula perusahaan-perusahaan itu sudah menempatkan jaminan reklamasi. Kalau mereka tidak melakukan reklamasi, uang itu nanti akan kami berikan kepada pihak ketiga yang kami tunjuk untuk melakukannya

Peralihan wewenang penerbitan IUP (dulu oleh kabupaten, sekarang oleh provinsi) membuat kontrol jadi lebih mudah atau sebaliknya?

Itu kebijaksanaan pusat. Efeknya, yang lebih mudah mengontrol adalah pemerintahan pusat. Untuk provinsi, itu jadi gawe baru. Tapi, yang jelas, kami di sini melakukan apa yang tertuang di undang-undang itu saja. Walaupun, terus terang, kami kewalahan, kami tidak berhenti. Kami jamin kami jalan terus.

Masyarakat silakan menilai kinerja kami lambat atau cepat, efektif atau tidak, dan sebagainya. Kalau ada hal-hal yang tertinggal, boleh dikatakan itu wajar sebab keterbatasan sumber daya—baik manusia maupun anggaran. Ada lebih dari seribu pemegang izin yang harus kami awasi. Tentu saja kami pontang-panting.

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi berkunjung ke Bangka Belitung. Apakah ada efek yang signifikan?

Waktu Jokowi ke sini, beliau akhirnya melihat tambang rakyat.

UU dan PP yang mengatur pertambangan rakyat itu sebenarnya menyulitkan kegiatan yang ada di Bangka Belitung. Misalnya begini: dalam tambang rakyat, mesin yang diperbolehkan hanya yang berkekuatan 25 HP. Padahal, kalau kegiatan semprot dan hisap itu ditotal, kekuatan mesinnya di atas 40 HP. Kan ndak masuk, sudah. Itulah yang kami sering minta bantu. Bantulah, jangan sampai kami dikejar-kejar karena soal itu.

Kemudian di laut, tentang TI (tambang inkonvensional/tambang rakyat) rajuk. Cobalah ini disahkan. Apa masalahnya? Wong timahnya sama, nilainya sama, dan rakyat bisa dapat penghasilan. Pak Jokowi lalu memberi rekomendasi teknis bahwa itu boleh. Tapi ada yang terlewat, yaitu administrasi zonasi, sehingga timbul kecemburuan, timbul konflik dengan nelayan. Memang di laut lebih rumit. Dan nelayan, kan, rakyat kita juga. Selain itu ada orang-orang yang berwisata, orang-orang yang memanfaatkan laut untuk transportasi. Situasinya berbeda dari di daratan yang bisa dimiliki secara pribadi. Laut milik semua orang.

Untuk tambang-tambang yang di laut, pengelolaan lingkungannya bagaimana?

Tentang yang di laut, kami tidak punya acuan teknisnya, tidak ada juknis khusus bagaimana melakukan reklamasi di laut. Paling-paling penanaman hutan bakau yang terdegradasi. Kemudain transplantasi karang. Apa lagi? Untuk lihat keberhasilannya juga kan susah.

Berapa banyak kawasan yang tidak boleh ditambang di Bangka Belitung?

Ada sekitar 31 ribu hektar pemukiman dan konservasi yang SK-nya (50 buah) sudah kami siapkan. PT Timah juga sudah mengurangi OP-nya, terutama yang di darat. IB OP PT Timah kan izin keluaran tahun 60an. Sejak tahun 80an konservasi mulai berjalan.

Ada perkiraan timah akan bertahan berapa lama lagi di Bangka Belitung?

Tidak tahu, tidak ada gambaran sama sekali. Dalam pertambangan sering ada kejutan. Dulu, di Bojonegoro, hasil pemeriksaan dengan berbagai alat menyatakan bahwa minyak sudah kering. Lalu ada warga yang menggali lebih dalam dan menemukan minyak. Dan ternyata, di kedalaman itu cadangannya masih sangat besar. Timah juga begitu.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti