Menuju konten utama

Setetes Keringat Penambang Timah Babel di Ponsel Kita

Pernahkah terpikirkan tentang bagaimana komponen-komponen kecil dalam piranti telepon cerdas kita bisa dihadirkan? Ponsel kita mungkin didatangkan dari luar negeri, tetapi ternyata ada secuil bagian yang bisa jadi merupakan hasil keringat dari para penambang di tanah air kita.

Setetes Keringat Penambang Timah Babel di Ponsel Kita
Pekerja menyemprotkan air untuk pencucian timah di kawasan tambang terbuka Pemali, Bangka, Sabtu (7/11). Berdasarkan data International Technologi Research Institute, total produksi timah Indonesia pada tahun 2008-2013 mencapai 593.304 ton dan 352.000 ton diantaranya merupakan hasil dari penambangan ilegal. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/15

tirto.id - Anda menggunakan ponsel pintar untuk memesan makanan, membeli tiket pesawat, menghubungi teman dan kerabat dan rekan kerja, menonton klip-klip kucing lucu, mengunggah foto tempat-tempat yang Anda kunjungi di akhir pekan, memainkan video game, dan berdebat dengan orang-orang asing di media sosial tentang perkataan calon Gubernur yang Anda bahkan tak punya hak untuk memilihnya. Barangkali, Anda juga menggunakannya untuk membaca tulisan ini.

Tapi, seberapa jauh Anda mengenal benda tersebut?

Rata-rata, setiap ponsel mengandung 62 jenis logam dan beberapa di antaranya tergolong langka. Neodymium, terbium and dysprosium, misalnya, adalah logam-logam langka yang memungkinkan ponsel Anda bergetar. Terbium dan dysprosium juga berfungsi menciptakan warna-warna elok pada layar.

Menurut sebuah penelitian dari Yale School of Forestry & Environmental Studies (F&ES), langka atau tidak, tak satu pun logam dalam ponsel mempunyai ganti yang lebih baik dalam konteks industri, dan 12 di antaranya mustahil digantikan sama sekali.

“Semua orang menyukai ponsel pintar mereka. Tapi dalam 20 atau 30 tahun, apakah kita akan tetap mempunyai akses terhadap bahan-bahan yang membuat ponsel pintar begitu hebat?” tulis Barbara Reck, anggota tim penelitian tersebut. “Berdasarkan temuan kami, kecil kemungkinan subtitusi sanggup mengatasi keterbatasan suplai logam-logam tersebut.”

Dan tiap-tiap logam itu menyimpan cerita.

Tembaga, yang digunakan dalam sistem listrik ponsel, kini diproduksi secara terbatas. Akibatnya, suplai logam itu tertinggal dibandingkan kebutuhan atasnya. Kualitas bijih tembaga di tambang-tambang besar dunia juga telah menurun drastis, tapi perusahaan-perusahaan tambang tak kunjung membuka situs-situs baru karena harga jual logam itu kelewat rendah—di bawah 3 dolar Amerika Serikat per pon.

Di belakang kobalt, salah satu bahan baterai litium, ada kemiskinan di Republik Demokratik Kongo. Menurut laporan Amnesty International dan Washington Post, di sana 100 hingga 150 ribu orang, termasuk anak-anak, menggali kobalt di lubang-lubang sempit dan berbahaya dengan perkakas tangan hanya demi upah senilai satu atau dua dolar Amerika Serikat.

Dua tahun lalu, 16 penambang di Kawama mati tertimpa tanah. Beberapa bulan kemudian 15 orang terbunuh karena kebakaran bawah tanah di Kolwezi. Dan pada September 2015, sebuah terowongan di Mabaya mengubur 13 orang penambang kobalt.

Dan dalam sekitar 7 gram timah yang mengikat pelbagai komponen pada mainboard ponsel pintar, menurut laporan The Guardian pada 23 November 2012, boleh jadi ada keringat dan penderitaan penambang timah di Bangka Belitung, Indonesia. Hasil kerja mereka menjadi bagian dari produk-produk Samsung, Apple, Sony, dan LG lewat perantaraan PT Timah dan pabrik-pabrik patri seperti Chernan dan Shenmao.

Sebagaimana di Kongo, para penambang timah di Bangka Belitung juga akrab dengan maut. Sepanjang 2011 kepolisian mencatat 41 orang penambang meninggal dunia, terutama karena tertimbun tanah longsor. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sedikitnya ada 83 buruh yang mati di tambang-tambang timah di Bangka Belitung pada 2013.

Tapi Anda membutuhkan ponsel pintar untuk banyak urusan penting, bukan? Anda bahkan membutuhkannya untuk membaca tulisan ini.

Lagi pula, memangnya apa yang Anda bisa lakukan? Bagaimana mungkin Anda tak mengganti ponsel pintar yang kinerjanya melambat, spesifikasinya tak memadai untuk memainkan Pokemon Go, atau kameranya telah ketinggalan zaman dengan yang baru?

Kepada teman sebangkunya semasa SMA yang kini menetap di Jawa, seorang penambang timah bernama Romuza, 26 tahun, mengaku harus ke warnet setiapkali ia hendak menggunakan Facebook.

Suge, 44 tahun, yang mengalami patah kaki dan kehilangan tiga orang teman akibat tanah longsor di tambang timah tempatnya bekerja pada 2011, berkata kepada Kate Hodal dari The Guardian yang mewawancarainya: “Kecelakaanku adalah pengorbanan kecil untuk membahagiakan orang-orang di seluruh dunia, untuk memberi mereka ponsel dan alat-alat elektronik.”

Baca juga artikel terkait TIMAH atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti