Menuju konten utama

Ada Penambang Anak di Balik Baterai Alat Elektronik Kita

Laporan dan investigasi Amnesty International mengungkapkan derita penambang anak di Kongo. Namun, hingga kini puluhan ribu anak masih terus bekerja sebagai penambang kobalt di Kongo yang merupakan bahan baku untuk baterai pada smartphone, laptop, atau mobil.

Ada Penambang Anak di Balik Baterai Alat Elektronik Kita
Tambang terbuka dekat kota Mongbwalu, di Republik Demokratik Kongo. [Foto/npr.org]

tirto.id - “Aku menghabiskan waktu 24 jam di dalam terowongan. Aku tiba di pagi hari dan akan meninggalkan terowongan keesokan harinya. Aku harus menuruni terowongan dengan sangat berhati-hati. Ibu angkatku merencanakan untuk mengirimku ke sekolah, tapi ayah angkatku malah menentangnya, dia mengeksploitasiku untuk terus bekerja di tambang.”

Curhat itu datang dari Paulus, seorang anak yatim piatu berusia 14 tahun yang mulai menjadi penambangan kobalt pada usia 12 tahun. Ia bercerita kepada para peneliti dari Amnesty International tentang bahaya yang dihadapi oleh penambang kobalt di Republik Demokratik Kongo.

Ada juga Delphin Mutela, salah seorang anak di Kongo yang harus bekerja keras di tambang kobalt setelah pulang dari sekolah. Sejak berusia 8 tahun, ibunya mulai membawa Delphin ke sungai untuk membersihkan kobalt. Membersihkan biji kobalt adalah pekerjaan populer bagi kaum perempuan di tempat Delphin.

Delphin ditugaskan untuk mengawasi saudara-saudaranya. Sembari mengawasi, ia belajar membedakan potongan tembaga dengan kobalt. Jika tembaga, warnanya sedikit hijau. Potongan kobalt akan berwarna coklat gelap. Ia pun sudah pandai membedakannya.

Setelah pandai membedakan kobalt, ia kemudian mulai mencari kobalt dari tambang-tambang rakyat. Jika ia dapat mengumpulkan banyak kobalt, maka ia akan dibayar $1. “Uang yang saya dapatkan tersebut, saya gunakan untuk membeli buku dan untuk membayar biaya sekolah,” ujar Delphin.

Ibunya, Omba Kabwiza mengungkapkan jika pekerjaan Delphin adalah pekerjaan normal di tempat tersebut. “Ada banyak anak-anak disana. Begitulah cara kita hidup.”

Paulus dan Delpin adalah dua dari ribuan penambang anak di Kongo yang mempertaruhkan nyawanya demi mendapatkan kobalt. UNICEF pada 2012 memperkirakan sekitar 40 ribu anak laki-laki dan perempuan bekerja sebagai penambang kobalt di Kongo. Ada juga yang menyebutkan sekitar 20 persen dari pekerja tambang di Kongo.

Dalam laporan Amnesty International yang berjudul "This is What We Die For" menyebutkan jika terdapat sekitar 100-150 ribu orang bekerja di tambang kobalt. Jumlah tersebut sudah termasuk anak-anak di dalamnya.

Kobalt adalah bahan baku paling mahal untuk baterai litium yang digunakan digunakan pada smartphone, laptop serta kendaraan listrik. Untuk mendapatkan kobalt, tak sedikit penduduk Kongo termasuk anak-anak harus menggali ke dalam tanah hingga puluhan kaki. Hal itu terjadi jika bekerja di tambang rakyat.

Tambang rakyat biasanya minim sistem pengaman. Peralatan yang digunakan pun sangatlah sederhana. Bahkan jika ingin menambang, mereka harus masuk dalam terowongan yang gelap serta tak ada tangga atau pun tali pengaman.

Ada juga yang bekerja untuk tambang kobalt milik perusahaan. Namun anak-anak yang bekerja di tambang milik perusahaan hanya menerima upah $1 hingga $2 dengan jam kerja mencapai 12 jam per hari. Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan bahaya yang harus dihadapi anak-anak tersebut saat bekerja di bawah terik matahari tanpa masker dan sarung tangan. Padahal harga kobalt terbilang mahal, $20.000 hingga $26.000 per ton.

Mereka juga harus memikul hasil tambang dan berjalan berkilo-kilo jauhnya setiap hari. Tak jarang, anak-anak tersebut dipukuli oleh para penjaga keamanan yang dipekerjakan oleh perusahaan tambang. Belum lagi penyakit yang mereka derita akibat sering bersentuhan dengan barang tambang tersebut.

Kobalt-kobalt yang dihasilkan tersebut biasanya di salurkan ke perusahaan Cina yakni Congo DongFang International Mining (CDM) yang merupakan bagian dari raksasa tambang dunia yakni Zhejiang Huayou Cobalt. Perusahaan Cina memang menguasai hasil tambang dari Kongo tersebut.

Dari CDM, kobalt akan didistribusikan kepada perusahaan pembuat komponen baterai seperti Toda Hunan Shanshan New Materian Co, Tianjin Bamo Technology Co. dan L&F Material Co. Dari ketiga perusahaan tersebut baru disalurkan ke perusahaan baterai seperti Samsung SDI, Tianjin Lishen Battery Co., Coslight dan LG Chem.

Perusahaan baterai itulah yang kemudian menyalurkan kepada Apple, LG, Samsung, Huawei, Lenovo, Motorola dan ZTE.

Semua Menutup Mata dan Telinga

Laporan dan investigasi yang mengungkapkan derita dari anak-anak Kongo sudah banyak dipublikasikan. Misalnya pada 2012, UNICEF pernah melaporkan penderitaan pekerja anak di Kongo. Bahkan berusaha untuk membawa anak-anak tersebut ke sekolah dan bukan ke tambang.

Pada 2016, Amnesty International juga mengeluarkan laporan "This is What We Die For". Ada juga hasil investigasi Amnesty International bersama African Resources Watch (Afrewatch) terkait penambang anak di Kongo.

Media massa pun banyak yang kemudian memberitakan kondisi anak Kongo. Namun sepertinya itu tak cukup karena pihak perusahaan seperti tak mau tahu kondisi tersebut.

Seperti perusahaan beterai Samsung SDI yang memasok komponen baterai dari Toda Hunan Shanshan New Materian Co, menyebutkan jika dalam investigasi yang mereka lakukan tak ditemui “tersangka kobalt” karena mereka tak menggunakan kobalt dari Kongo. Padahal, Toda Hunan memasok bahan baku komponen baterai dari Zhejiang Huayou Cobalt yang memperoleh kobalt dari Kongo.

Pihak Samsung juga seperti mencuci tangan dengan mengungkapkan jika memang perlu menyelesaikan persoalan pada rantai penyaluran bahan baku baterai, namun mereka hanya akan lebih berfokus pada distributor tempat mereka terima yakni Samsung SDI.

Pihak Huayou Cobalt yang merupakan smelter kobalt mengaku belum tahu bahwa suplainya melibatkan perburuhan anak. “Perusahaan kami belum menyadari bahwa salah satu pemasok kami mempekerjakan anak-anak di lokasi tambang atau bekerja dalam kondisi yang tidak aman... CDM telah menyeleksi secara ketat pemasok kobalt untuk pengadaan bahan baku melalui jalur yang sah,” demikian pernyataan Hoayou pada Amnesty seperti dipetik The Guardian.

Ditambah lagi dengan pemerintah Kongo yang pasrah dengan keadaan. “kami memiliki tantangan besar dengan anak-anak kami, karena sulit membawa mereka keluar dari tambang jika tak ada sekolah untuk anak-anak.” ujar Mujey selaku pemerintah lokal, seperti dikutip The Washington Post.

Adapun Apple bersikap lebih responsif. Seperti diwartakan The Washington Post, perusahaan ini menyatakan bertekad bersama Huayou untuk membersihkan rantai suplai. Mulai 2017, Apple akan memperlakukan kobalt sebagai bahan mineral konflik, sehingga akan mewajibkan semua penyuling kobalt menyetujui untuk melampaui audit rantai-pasokan dan penilaian risiko. Pendeknya, mereka akan memeriksa suplai bahan kobalt yang digunakan secara lebih ketat.

Masyarakat dunia? Kita, para pemakai smartphone, menggenggam barang itu seharian tanpa peduli bagaimana ia bisa sampai di tangan. Tak heran jika penghasil kobalt dunia dengan 63.000 metrik ton per tahun ini terus membiarkan anak-anak ada di dalam bahaya karena bekerja di terowongan-terowongan tambang kobalt demi membiayai hidup.

Baca juga artikel terkait EKSPLOITASI ANAK atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Bisnis
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani