tirto.id - Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Dede Rosyada menilai cadar yang digunakan dosen perempuan berinisial "M" saat mengajar dapat mengganggu pola komunikasi dengan mahasiswa. Namun begitu, tidak semua mahasiswa setuju dengan penilaian Dede.
Aul, salah satu mahasiswi menilai cadar merupakan hak berpakaian seseorang. Sepanjang tidak menganggu jalannya proses belajar mengajar Aul merasa cadar tak perlu menjadi persoalan. “Tidak masalah. Itu hak dosennya. Asalkan jelas saja penyampaiannya. Menurut saya, dengan pakai cadar masih bisa seseorang suaranya kenceng,” kata Aul pada tirto (1/8).
Mahasiswi angkatan 2013 ini mengaku cukup dekat dengan "M" yang kemudian diminta Dede untuk memilih apakah akan tetap mengajar atau terus menggunakan cadar. Aul mendengar pada 2014 “M” sempat diisukan mengajar kembali, namun hal itu urung terjadi hingga sekarang.
“Waktu itu sempat mau ngajar lagi katanya. Saya juga sempat ketemu. Memang berbeda sih. Dulu biasa saja, paling jilbabnya saja panjang. Tapi pas ketemu di jalan itu dia sudah bercadar,” kata Aul.
Endang, teman satu jurusan Aul mengaku pada 2013 sempat diajar “M” untuk mata kuliah praktikum. Namun, seingatnya “M” saat itu belum menggunakan cadar. “Oh ada itu Kak M namanya. Orangnya masih muda. Dosen praktikum. Tapi sudah sejak aku semester tiga tahun 2014 dia enggak ngajar lagi. Katanya ikut suaminya kerja gitu, ke Kalimantan atau Malaysia,” kata Endang.
Ia pun mengaku tidak merasa terganggu dengan pengajaran yang diberikan oleh “M” saat itu. “Waktu itu sih enggak pakai cadar. Jadi enggak ada masalah,” katanya.
Endah sendiri berpendapat dirinya akan merasa terganggu bila mendapat pengajaran dari dosen yang memakai cadar. Menurutnya, mata kuliah praktikum butuh penjelasan dan praktik yang rinci. “Pastinya terganggu kalau waktu itu Kak M bercadar. Praktikum itu ribet loh. Kalau dosennya pakai cadar penjelasannya takutnya enggak sampai dengan baik,” kata Enjah.
Sebelumnya Dede mengaku pernah memberikan pilihan kepada seorang dosen perempuan terkait penggunaan cadar saat mengajar. Pilihan itu adalah sang dosen tetap bisa mengajar namun melepas cadar atau mengenakan cadar namun berhenti mengajar. Atas pilihan itu sang dosen mengambil opsi berhenti mengejar. “Pilihan dia mengundurkan diri, bukan saya pecat,” kata Dede kepada tirto di UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (1/8).
Dede tidak ingat persis kapan peristiwa itu terjadi. Namun ia ingat saat itu ada pihak dekanat yang melapor kepadanya tentang seorang dosen perempuan yang mengajar menggunakan cadar. Dari laporan itulah Dede kemudian memberikan dua opsi: bercadar atau berhenti mengajar.
Bagi Dede bercadar saat mengajar akan mengganggu pola komunikasi antara dosen dan mahasiswa. Sebab mahasiswa tidak bisa melihat gerak bibir saat menyampaikan pelajaran. “Waktu itu saya hanya mengatakan bahwa pola komunikasi anda dengan mahasiswa terganggu,” ujar Dede seraya menolak jika dirinya dianggap memecat sang dosen.
Dari hasil penelusuran tirto, "M" merupakan dosen di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. Dekan fakultas Arif Sumantri pun membenarkan hal ini. Menurutnya dosen perempuan berinisial “M” tersebut berhenti mengajar dengan alasan ingin fokus pendidikan dan mengembangkan rohani. “Itu bukan terkait cadarnya, tapi sudah lama mengundurukan dirinya sebelum ada kaitan dengan cadar,” katanya.
Pengamat Pendidikan Budi Trikoryanto menganggap kebijakan UIN Jakarta melalui kode etik tersebut berlebihan. Pasalnya, menurut Budi, cara berpakaian sudah lama merupakan ekspresi keimanan penganut agama. “Saya anggap hal tersebut berlebihan. Apalagi ini di UIN. Cara berpakaian sudah lama merupakan ekspresi keimanan penganut agama. Tidak boleh dilarang-larang sejauh tidak mengganggu orang lain,” kata Budi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar