Menuju konten utama

Tidak Hanya Efek Bahagia, Musik Natal Juga Dapat Membuat Stres

Mendengarkan lagu Natal dapat menenangkan seseorang dan memberikan efek bahagia, namun juga kesedihan.

Tidak Hanya Efek Bahagia, Musik Natal Juga Dapat Membuat Stres
Ilustrasi Lagu Natal. foto/Istockphoto

tirto.id - Memasuki pertengahan Desember, tempat-tempat umum seperti restoran, mal, hotel sudah mulai memasang dekorasi bertema Natal. Untuk melengkapi suasana, lagu-lagu Natal dan Tahun Baru juga ikut diputar.

Menariknya, kebiasaan memutar lagu-lagu dalam menyambut Natal ini, ternyata tidak hanya menciptakan perasaan bahagia dan sentimentil, namun juga perasaan tertekan.

Melodi musik Natal telah tertanam dalam diri kita, menurut Ronald Borczon, Professor of Music Therapy dari Biola University.

"Kenangan terjalin erat dengan musik. Anda mungkin memiliki lagu yang ketika mendengar lagu tersebut, membuat Anda berada dalam keadaan emosional tertentu. Saat masih kecil, Anda mendengar musik Natal terus-menerus di rumah. Jika ingatan masa kecil adalah kenangan yang baik, secara otomatis tubuh mengeluarkan endorfin di otak, yang membantu Anda merasa baik," ujar Borczon.

Menurut Borczon, emosi akibat musik dapat terjadi secara dua arah. Bagi sebagian orang, masa kecil mereka tidak begitu baik, sehingga jenis musik Natal membuat mereka sedih.

"Musik dapat melakukan dua hal: dapat menimbulkan stres karena sekarang Anda sedang memikirkan hal suram terkait dengan musik tersebut, atau justru menjadi pelarian. Terkadang itu adalah keputusan kognitif Anda, ke arah mana Anda ingin mengikuti musik itu," lanjut Borczon.

Melodi Natal, menurut Brian Rabinovitz, PhD, seorang ahli saraf di Universitas William and Mary, Amerika Serikat, yang memiliki spesialisasi di bidang kognisi musik, sebenarnya seringkali disusun agar membuat suasana menyenangkan.

"Saat mendengar lagu untuk pertama kali, melodinya terlacak di korteks prefrontal otak. Otak kemudian selalu mencari melodi itu atau yang serupa, dan ketika mendengarnya lagi, hal itu sangat memuaskan,” ungkap Dr. Rabinovitz.

Menurutnya, dibandingkan dengan genre musik lainnya, musik Natal dan pop cenderung memiliki struktur melodi yang mudah ditebak.

“Mendengar sesuatu yang sudah dihafal, membuat ekspektasi yang kuat. Anda membuat prediksi, mengalami momen ketegangan, dan kemudian menyadari bahwa prediksi itu benar,” katanya.

Inforgafik Lagu Natal

Inforgafik Lagu Natal. tirto.id/Fuad

Nate Sloan, asisten profesor musikologi di Thornton School of Music University of Southern California dan co-host podcast Switched on Pop, mengatakan bahwa meskipun tidak semua musik Natal terdengar sama, ada beberapa isyarat yang memberi tahu otak bahwa lagu yang didengar adalah lagu Natal.

“Jika Anda mendengar lagu-lagu Natal yang baru sekalipun, mereka akan menggunakan beberapa harmoni musik, struktur formal, bahasa yang harmonis, kadang-kadang ritme swing dan instrumentasi musik orkestra,” jelas Sloan.

Kaitannya dengan Stres

Mendengarkan lagu Natal pada beberapa orang memang dapat membangkitkan perasaan positif dan dapat mengeluarkan hormon kegembiraan atau endorphin di otak.

Namun faktor-faktor seperti mendengarkan paparan musik Natal jauh sebelum tanggal 25 Desember, menyebabkan efek psikologis berupa kecemasan dan depresi pada beberapa orang.

Hal lain yang menyebabkan lagu Natal justru memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan adalah volume keras dan ketidaksenangan pada jenis musik Natal yang diperdengarkan.

Consumer Report Survey tahun 2011 menyatakan, dari 1031 responden yang disurvei melalui telepon, 23% orang mengaku cenderung cemas saat mendengar musik-musik Natal.

Psikolog klinis, Linda Blair mengatakan mendengarkan musik Natal terlalu dini di musim liburan dapat memengaruhi kesehatan mental dengan memicu perasaan stres dan kecemasan.

Mendengar lagu Natal dapat memicu pemikiran tentang semua hal yang harus diakukan sebelum liburan, seperti berbelanja, membeli kado untuk keluarga dan kerabat, merencanakan pesta, dan bepergian.

“Saat jam terus berdetak hingga 25 Desember, Anda mungkin merasa kewalahan dengan daftar tugas, dan terus-menerus diingatkan oleh suara lonceng kereta luncur yang berdering,” kata Blair.

Pasca pandemi yang berlangsung lebih dari 2,5 tahun, musik Natal dapat membuat seseorang merasa kehilangan perasaan riang gembira dalam menantikan Natal.

“Jika Anda kehilangan seseorang terdekat karena pandemi Covid, Anda mungkin akan semakin merindukan mereka saat momen-momen seperti ini,” ungkap Blair.

Makan Malam Natal

Makan Malam Natal. foto/IStockphoto

Hal yang sama diakui oleh Scott Dehorty, pekerja sosial dan executive director Maryland House Detox, pusat perawatan di Linthicum Heights, Maryland.

“Lagu-lagu tersebut tidak menimbulkan semangat dan kehangatan keluarga, namun memantik orang untuk konsumtif belanja, berpesta, dan berlibur dan lain sebagainya.”

Musik Natal juga dapat menguras tenaga, terutama pada orang-orang yang lebih terekspos, seperti pegawai yang bekerja di toko dan pusat perbelanjaan.

Ketika kita tidak menyukai sebuah lagu, kita mencoba menghapusnya dari pikiran kita dengan memikirkan hal lain, dan ini menghabiskan banyak energi dan akhirnya kita menderita kelelahan kognitif.

Kate Chapman, yang saat ini bekerja spesialis pengobatan holistik, mengatakan, ia pernah menjadi Mrs. Claus di Radio City Christmas Spectacular setiap musim liburan dari tahun 2001 hingga 2006. “Saya hidup dengan lagu-lagu liburan yang tak kunjung berakhir dan suara Ho Ho Ho mengalir di otak saya,” katanya.

Kate bernyanyi dan menari selama berjam-jam setiap hari, tenggelam dalam dunia Mrs. Claus. Pada saat tanggal 25 Desember tiba, Chapman, seperti banyak pekerja dan seniman yang bekerja saat musim liburan Natal, hanya memiliki sedikit ruang untuk keceriaan liburan yang sebenarnya.

“Sangat melelahkan untuk membuat kegembiraan Natal empat kali sehari. Kegembiraan semacam itu luar biasa jika itu nyata, tetapi jika dibuat-buat, itu bisa menjadi beban berat untuk diangkat,” katanya.

Kurangnya keceriaan Natal yang dialami sebagian orang secara anekdot disebut sindrom "bah humbug". Sama seperti keceriaan Natal, “bah humbug” bisa dilihat sebagai emosi. Fenomena ini dilontarkan pertama kali oleh peneliti Denmark yang menelitinya menggunakan fMRI. Lewat penelitian ini, ia menemukan bahwa semangat Natal sebenarnya ada di otak manusia namun beberapa orang kurang memilikinya.

Paparan lagu-lagu Natal di berbagai sudut tempat, tidak terhindarkan setiap bulan Desember.

Oleh karena itu, Dehorty menyarankan, “Sulit untuk tidak mendengarkan musik Natal saat Anda bepergian. Anda tidak harus menikmatinya. Jadikan liburan seperti yang diinginkan, dan nikmati.”

Sloan juga pernah merasa tidak nyaman dan terganggu dengan lagu-lagu Natal yang diputar berulang-ulang sepanjang hari, di tempat belanja, apotek dan lain sebagainya.

Namun pengalaman Sloan berubah. Ia yang seorang Yahudi, yang awalnya takut akan musim liburan, kini menyukai Natal sejak bertemu istrinya. Hal ini terjadi saat ia mulai mengasosiasikan musik Natal dengan saat-saat bahagia bersama orang terdekat.

“Saya akhirnya mengerti mengapa orang-orang menyukai musik Natal. Ini mengingatkan mereka akan waktu unik yang menyenangkan dan suasana hangat yang Anda habiskan bersama keluarga dan teman,” katanya.

Alih-alih bereaksi terhadap dunia, otak menjalankan model internal yang dibangun berdasarkan pola pengalaman sebelumnya. Semakin sering otak memiliki pengalaman positif yang berkaitan dengan Natal, semakin mudah bagi otak untuk membuat keceriaan Natal.

Sehingga pada akhirnya, keputusan kita sendiri yang menentukan, apakah lagu Natal akan menjadi lagu yang membahagiakan atau justru traumatis, saat bulan Desember tiba.

Baca juga artikel terkait HARI NATAL 2022 atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi