Menuju konten utama
Mozaik

Rosihan Anwar dan Historiografi dari Sang Penyintas Revolusi

Historiografi yang dihasilkannya tidak hanya mengikat antara fakta sejarah dengan konteks jiwa zamannya, melainkan juga dengan dirinya sebagai penyintas.

Rosihan Anwar dan Historiografi dari Sang Penyintas Revolusi
Header Mozaik Rosihan Anwar. tirto.id/Tino

tirto.id - Awal Juli 1949, dengan bergonta-ganti moda transportasi: menaiki mobil jip, kereta angin, dan mengayunkan kaki, Letkol Soeharto akhirnya tiba di Ponjong, Yogyakarta.

Perjalanan ini dilakukan untuk menjemput Jenderal Sudirman dan menyampaikan instruksi dari Pemerintah RI bahwa Sang Jenderal tidak perlu bergerilya lagi. Apabila bersikeras, Sudirman berpotensi menghadirkan kesan bahwa terdapat perpecahan pendirian dalam pucuk pimpinan Republik.

Maka itu, Sudirman harus dibawa kembali ke Yogyakarta. Letkol Soeharto dipilih untuk tugas ini karena pengalamannya memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949. Dia tidak asing dengan rute gerilya Sudirman.

Di perjalanan yang memakan waktu sehari, Soeharto tak banyak bicara. Kata-katanya hemat sekali. "Mari minum degan," adalah penggalan dari sedikitnya ucapan yang dia keluarkan hari itu. Salah satu pendiri Indonesia Press Photo Service (IPPHOS), Frans Mendur, menjadi saksi.

Soeharto berhasil membujuk Sudirman untuk kembali ke Yogyakarta. Mereka tiba di ibu kota Republik pada 10 Juli 1949 yang disambut oleh Pasukan Penghormatan di Alun-Alun depan Keraton.

Cerita ini dapat kita baca dalam buku Kisah-Kisah Zaman Revolusi (2015, hal. 177-184)dan Musim Berganti (1985, hal. 173-178)karangan Rosihan Anwar.

Setiap Orang Menera Sejarah

Carl Becker, sejarawan dan profesor di Cornell University, dalam karyanya "Everyman His Own Historian", membawa pengertian sejarah ke dalam definisi yang paling sederhana, yaitu kenangan tentang hal-hal yang pernah dikatakan dan dilakukan orang-orang.

Berdasarkan hal ini, Becker menegaskan bahwa setiap orang mengetahui sedikit banyak tentang sejarah. Ia juga berpendapat sejarah tidaklah bersifat statis atau netral, tetapi sebaliknya, tergantung pada perspektif dan sudut pandang individu yang menyusunnya.

Becker percaya setiap orang membentuk pandangannya sendiri tentang masa lalu berdasarkan pengalaman dan interpretasi pribadi mereka. Perspektif ini membuka pintu bagi semua orang untuk berperan aktif dalam merangkai sejarah.

Sejarah tidak lagi menjadi monopoli mereka yang telah menempuh pendidikan formal sejarah. Tidak ada batasan bagi orang-orang untuk menggali pengetahuan dan pemahaman tentang masa lalu, terlepas dari latar belakang pendidikan masing-masing.

Sejarah menjadi milik setiap individu, dan semua orang dapat memberikan sumbangsih unik mereka dalam memahami peristiwa masa lalu.

Lantas, apa hubungannya konsepsi ini dengan Rosihan Anwar?

Rosihan Anwar berhasil melampaui batasan formal pendidikan dalam menjalani peran sebagai sejarawan. Eksistensinya dalam ranah penulisan sejarah Indonesia merupakan contoh dari pandangan everyman his own historian yang diungkapkan Carl Becker.

Sang Catatan Kaki Sejarah

Rosihan Anwar tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan intelektualitas dan budaya. Sedari remaja, ia memiliki minat mendalam terhadap buku. Ia membaca banyak literatur. Mungkin bagi Rosihan Membaca ergo sum adalah adagium yang membentuk biografinya.

“Dengan membaca buku, saya mendidik diri sendiri. Saya tidak menyandang gelar kesarjanaan. Saya otodidak. Dengan buku, saya menjadi otodidak sepanjang hayat dengan segala keterbatasan saya,” ungkapnya sebagaimana dikutip Bandung Mawardi.

Rosihan barangkali tidak pernah menduga dirinya kelak akan didaulat sebagai anggota kehormatan pada Kongres Masyarakat Sejarawan Indonesia V pada 2002. Perihal dirinya yang menjadi wartawan pun, dikutip dari Historia, dinilainya sebagai "salah jalan".

Dia punya banyak keinginan yang pada akhirnya hanya menjadi sekadar nawaitu. Rosihan sempat ingin menjadi jaksa dan bahkan sudah bersiap mengikuti pendidikannya, namun tidak jadi setelah dr. Abu Hanifah mengabarkan bahwa Asia Raya membuka lowongan wartawan.

Ia juga sempat berniat mencatatkan namanya dalam dunia kesusastraan, namun kemauannya lekas padam dan berakhir seiring berjalannya waktu.

Kariernya sebagai sejarawan dijalani berbarengan dengan kerja-kerja kewartawanan cum penulis. Sepanjang hidupnya, Rosihan menghasilkan kurang lebih 30 judul buku yang terdiri dari empat buku agama, 10 buku jurnalistik dan sastra, serta 16 buku sejarah.

Beberapa judul karya kesejarahan yang ia tulis adalah Sebelum Prahara—Pergolakan Politik Indonesia 1962-1965 (1981); In Memoriam—Mengenang yang Wafat (2002); dan Singa dan Banteng: Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950 (1997). Ia Rosihan adalah orang dengan historical sense yang tinggi.

Menurut Soedjatmoko dalam An Introduction to Indonesian Historiography (1975, hlm. 413–414), historical sense adalah kesadaran akan tidak memadainya pengetahuan sejarah, sifatnya yang sementara serta subjektifitas yang berkaitan dengan sifat multi-dimensi dari realitas sejarah.

Argumentasi ini diperkuat melalui pandangannya terhadap sejarah Indonesia yang dituliskan dalam otobiografinya, Menulis dalam Air (1983). Menurutnya, bangsa Indonesia sering kali melihat sebuah peristiwa sejarah secara terputus-putus dan tidak memiliki sangkut paut antara satu sama lain.

Ini dicontohkan olehnya melalui penceritaan mengenai nasib Tan Malaka yang harus gugur di tangan orang-orang Indonesia yang tidak mengenal ataupun mengetahui sejarahnya.

Menurut Taufik Abdullah dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif (1985), ada tiga jenis sejarah, yakni sejarah ideologis, sejarah pewarisan, dan sejarah akademik. Sejarah ideologis menyelidiki masa lampau dengan tujuan mendapatkan pengetahuan tentang simbol dan lambang yang relevan dalam konteks masa kini.

Sedangkan sejarah pewarisan bertujuan memberi inspirasi dengan menyoroti kisah patriot Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Terakhir, sejarah akademik bertujuan menggambarkan masa lalu dengan berdasarkan kaidah ilmiah.

Merujuk pada klasifikasi ini, karya sejarah yang dihasilkan Rosihan dapat disebut sebagai sejarah pewarisan. Karena sebagian besar karyanya, baik yang bersifat “obituari dan biografis” maupun “peristiwa” menampilkan narasi kepahlawanan perjuangan kemerdekaan, seperti misalnya penggalan cerita penjemputan Jenderal Sudirman di mula artikel ini yang dikutip dari buku Kisah-Kisah Zaman Revolusi (2015).

Juga pada trilogi yang diterbitkannya dalam meneliti masa serba kalang kabut—Revolusi dan Perang Kemerdekaan, yakni Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi,Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash Ke-1, dan Kisah-Kisah Zaman Revolusi, terlihat bahwa tulisan-tulisannya dapat dikelompokkan ke dalam kategori ini.

Karya-karyanya membantu menyajikan perspektif berbeda dari narasi resmi pada masa itu, dan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang perjalanan sejarah Indonesia. Ia memberikan ruang bagi tokoh-tokoh terlibat untuk berbicara melalui tulisannya, sehingga pembaca dapat merasakan ikatan emosional dengan sejarah yang disampaikan.

Sebagai wartawan penulis sejarah, Rosihan memiliki kecakapan dalam membingkai pengalaman individual seseorang sebagai integral dari sejarah arus utama. Atas kecakapannya ini, ia mendapat julukan a Footnote of History.

Penyintas sebagai Sejarawan

Pengangkatan Rosihan Anwar sebagai anggota kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia sebetulnya bukan hal yang baru di dunia kesejarahan Indonesia. Ada beberapa orang yang diberikan gelar anggota kehormatan oleh organisasi ini sebelum Rosihan. Mereka adalah Prof. G.J. Resink, Jenderal (Purnawirawan) A.H. Nasution, Dr. Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, Prof. A. Hasyimi, dan Rusli Amran.

Lima nama di atas, seperti Rosihan Anwar, datang dari bermacam latar belakang. Ada yang pernah menjadi ilmuwan, panglima perang, menteri, dan sebagainya. Mereka tidak pernah menempuh pendidikan formal sejarah, tetapi mengembangkan kajian sejarah dengan objek yang memiliki kedekatan dengan riwayat profesi ataupun pendidikannya.

Berangkat dari pemahaman di atas, kita bisa menyepakati kesejarawanan Rosihan Anwar mendapat pengaruh dari latar belakang profesinya. Sama seperti George Kahin, sejarawan yang juga seorang wartawan, kekuatan Rosihan dalam menulis sejarah adalah metode penggalian fakta yang bertumpu pada observasi lapangan dan wawancara saksi mata—kombinasi teknik investigasi wartawan dan metode sejarah lisan.

Selanjutnya, Rosihan Anwar sebagai sejarawan informal juga membawa ciri khas jurnalistiknya dalam menyajikan sejarah. Gaya berceritanya yang menarik dan mudah dipahami membuat karya-karyanya lebih dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Ia menggunakan bahasa yang sederhana dan lugas, tanpa mengurangi keakuratan dan ketelitian dalam menyajikan fakta-fakta historis.

Infografik Mozaik Rosihan Anwar

Infografik Mozaik Rosihan Anwar. tirto.id/Tino

Sebagian besar karya sejarah yang ia tulis bersumber dari pengalaman pribadinya. Kendati memiliki daya ingat yang kuat, Rosihan Anwar tidak mau menempatkan fakta-fakta historis yang ia miliki hanya sebagai produk jurnalisme, melainkan juga sebuah karya sejarah.

Ia meninjau kembali fakta-fakta yang dikumpulkannya, lalu menuliskannya kembali di kemudian hari sebagaimana modus operandi seorang sejarawan akademis.

“Dalam peredaran waktu ternyata cukup banyak saya menulis karangan yang berkaitan dengan sejarah, baik dalam bentuk tulisan feature untuk surat kabar dan majalah, maupun dalam bentuk narasi skenario film dokumenter atau reportase untuk televisi. Supaya jangan hilang begitu saja, supaya bermanfaat bagi generasi muda, maka saya kumpulkan semua tulisan itu, lalu saya rewrite atau tulis-ulang dalam suatu kemasan yang lebih cocok,” ungkapnya.

Berkaitan dengan perannya sebagai sejarawan informal yang tidak mengandalkan gelar akademis, Rosihan Anwar menjadikan semangat penelusuran, penggalian, dan penyajian sebagai pilar penting dalam karyanya.

Historiografi yang dihasilkannya menjadi unik dengan kemampuannya mengikat tidak hanya antara fakta sejarah dengan konteks jiwa zamannya, melainkan juga dengan dirinya sebagai penyintas.

Lebih dari sekadar menyampaikan sejarah secara kering dan kaku, Rosihan Anwar mampu merangkai narasi yang mengena dan menggugah emosi pembaca. Ia mengambil peran sebagai penghubung memori, menghidupkan kembali cerita-cerita heroik dan momen-momen bersejarah agar tidak terlupakan oleh zaman.

Ia menunjukkan bahwa kecintaan pada sejarah tidak terbatas pada para sarjana, tetapi dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Baca juga artikel terkait WARTAWAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Husni

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhammad Husni
Penulis: Muhammad Husni
Editor: Irfan Teguh Pribadi